Belakangan mulai jadi perdebatan, bahwa mencetak anak yang berhasil ternyata lebih tepat dengan gaya mendidik ala Tionghoa. Benarkah demikian?
Perdebatan ini mencuat setelah muncul buku ‘Battle Hymn of the Tiger Mother’ karangan Amy Chua, seorang profesor sekolah hukum dari Yale Law School.
Tulisan ini menceritakan bagaimana ibu-ibu di Tionghoa atau keturunan Tionghoa dengan didikan kerasnya mampu membuat anaknya berhasil.
Anak-anak dilarang main game dan nonton TV, menginap di rumah teman, harus mendapat nilai A, harus les biola atau piano. Di negara AS misalnya, anak-anak yang didik orangtua keturunan Tionghoa jago matematika, pintar main piano dan sering jadi juara di kelasnya.
Mendidik dengan disiplin dan kontrol orangtua yang besar juga dilakukan orangtua keturunan Korea, India, Jamaika, Irlandia dan Ghana.
Dalam salah satu penelitian terhadap 50 ibu di Amerika dan 48 ibu-ibu imigran Tionghoa, hampir 70 persen ibu-ibu barat mengatakan bahwa ‘menekankan keberhasilan akademis tidak baik untuk anak-anak, karena yang terpenting orang tua perlu mendorong ide bahwa belajar adalah hal yang menyenangkan’.
Sebaliknya, sebagian besar ibu keturunan Tionghoa mengatakan bahwa mereka percaya anak-anaknya dapat menjadi siswa ‘yang terbaik’ karena ‘prestasi akademik mencerminkan orangtua yang sukses mendidik’ dan ‘jika anak-anak tidak unggul di sekolah itu artinya ada masalah pada orangtua kenapa anak tidak mengerjakan’.
Studi lain menunjukkan bahwa dibandingkan dengan orangtua Barat, orangtua Tionghoa menghabiskan 10 kali lebih lama waktunya untuk terlibat dan memantau aktivitas akademik anak-anaknya. Sebaliknya, anak-anak Barat lebih banyak berpartisipasi dalam kegiatan dan tim olahraga ketimbang prestasi akademik.
Amy juga mengatakan ketika orangtua Tionghoa menerapkan disiplin dan pola didik yang terkontrol, anak-anak Tionghoa juga akan menolak. Namun kuncinya, kesabaran orangtua untuk mendampingi anak karena memang akan sulit dijalani di masa-masa awal. Hal yang berbeda dengan tipikal orangtua barat yang cenderung menyerah pada kemauan anak ketika anak menolak.
Orangtua Tionghoa bisa berkata ‘Hei gendut, turunkan berat badanmu’. Sebaliknya orangtua Barat akan menjelaskan ke anak dari sisi kesehatan tidak pernah mengejek anaknya gendut tapi lebih memilih memberikan anak terapi makan yang benar.
Contoh lain, orangtua Tionghoa bisa minta anaknya dapat nilai A dan akan bilang, ‘Kamu malas, semua temanmu dapat yang terbaik’. Orangtua Tionghoa merasa anaknya cukup kuat menghadapi tekanan dan mereka akan berhasil kalau bisa bekerja lebih keras lagi.
Sebaiknya orangtua Barat hanya meminta anaknya mencoba melakukan yang terbaik. Mereka akan berhati-hati untuk tidak membuat anak mereka merasa tidak mampu dan tidak akan pernah memanggil anaknya dengan sebutan ‘kamu bodoh’, ‘tidak berguna’ atau ‘memalukan’.
Orangtua Tionghoa bisa melakukan seperti itu karena tradisi Tionghoa men-stigma anak-anak berutang ke orangtuanya yang telah berkorban banyak sehingga mereka harus membayarnya dengan prestasi dan kebanggaan serta rasa hormat kepada orangtua.
Sebaliknya, orangtua di Barat tidak berpikir demikian. Anak-anak merasa tidak memilih orangtuanya dan bahkan mereka tidak memilih untuk dilahirkan sehingga anak-anak tidak berutang apa-apa. Tugas mereka adalah membuat anak-anak menjadi diri mereka sendiri.
Orangtua Barat mencoba untuk menghormati individua anak-anaknya, mendorong mereka untuk mengejar keinginan mereka, mendukung pilihan mereka, dan memberikan dukungan dan lingkungan yang positif.
Sebaliknya, orangtua Tionghoa percaya bahwa cara terbaik untuk melindungi anak-anak mereka adalah dengan mempersiapkan masa depan mereka, membekali anak dengan keterampilan, kebiasaan kerja yang tekun dan disiplin, dan keyakinan batin yang tinggi sehingga tidak ada seorang pun yang bisa mengambilnya. [Ai Ling / Jakarta / Tionghoanews]