***
Aku menjabat tangannya di depan toko bunga, disamping toko tua yang menjajakan pernak-pernik imlek setahun lalu. Di sebuah tempat yang tidak terjaga dari orang semacam aku, yang hanya bisa menawar dengan harga paling rendah. Tapi nampaknya ia menyukai suasana. Riuh dengan orang-orang menawar harga.
Sengak oleh oplosan keringat dan aneka parfum menusuk hidung.
Ia mengambilnya satu. Hanya sekali tawar dan gagal. Ia tak banyak bicara, melolos beberapa lembar ribuan dan menyerahkannya dengan senyum pada tuan toko yang berkaca mata tebal, bertangan keriput, gemetar menyentuh biji-biji sempoa.
Lalu ia menyibak kerumunan itu, orang-orang yang masih sibuk menawar. Tangan kananya menenteng lampion kertas. Langkahnya kecil melenggang santai di atas trotoar yang disampingnya berderet toko-toko tua.
Tapi mataku sebenarnya lebih tertegun pada selembar kertas dengan huruf-huruf yang tak kukenali. Mungkin catatan menu, resep masakan atau sobekan nota tagihan. Aku melihatnya terjatuh ringan ketika ia mengeluarkan dompet dari dalam tasnya. Itu detail yang bisa kutangkap.
Oleh karenanya aku harus bertanggung jawab untuk memungutnya dan memberikannya kepada yang punya. Siapa lagi kalau bukan dia: perempuan dengan mata garis, yang tangan-tangan halusnya menyembul dari jaket blue jeans dengan bulu-bulu wol di seputar kerahnya.
Aku menepuk pundaknya dan berharap ia tak marah, bahkan jika yang kulakukan ini dianggap kurang sopan.
"Maaf, punyamu ketinggalan,"kataku berlagak sangat sopan.
Ia menoleh dengan kernyitan dahi. Matanya menatap tipis-tipis ke arahku. Tanpa maskara, tanpa saputan warna tipis magenta di seputarnya. Alisnya yang bukan made in salon sedikit terangkat waktu berbicara.
Lalu tersenyum dengan bibir yang terjaga oleh pelembab.
"Yup! Benar, itu punyaku. Keasyikan belanja tadi. Thank, ya…."
Ia menjabat tanganku. Hanya sebentar. Selepasnya adalah biji-biji hujan yang mulai berloncatan. Membuatnya berlari-lari kecil seraya melambai ke arah taksi. Detik berlalu, biji-biji hujan itu membesar. Melenyapkan orang-orang di jalanan. Menghilangkan ia dalam sebuah taksi warna biru tua.
***
Ini tahun Naga Air yang dimeriahkan oleh hujan, setahun kemudian. Aku kembali berbaur dengan mereka. Orang-orang berteduh di sepanjang emper toko, menggumamkan hujan yang sebentar turun sebentar berhenti. Sementara, di pihakku justru menikmati.
Siang seperti ini, dengan hujan yang rajin menjaga intensitasnya, biasanya aku duduk menikmati kopi. Berjam-jam menimbun kafein dalam tubuh. Menabung nikotin dalam rongga paru-paru. Dalam setiap rokok yang kuhisap, sepertinya aku sedang menemukan paku-paku karatan yang suatu saat nanti akan melobangi jantungku.
Dan bayanganku tentang seseorang yang berjubah putih, menggenggam jarum suntik, dengan senyum menenangkan mencocok hidungku dengan selang-selang infus, rasanya kian dekat.
Tapi aku merasa beruntung pagi tadi. Ada potongan langit disepuh keemasan dari balik jendela kaca. Matahari menyeringai. Meski sebentar, setidaknya itu bisa memungkinkanku menghirup udara segar pagi ini. Menyusuri pasar yang tumpah di jalanan.
Menyambangi toko-toko kelontong tua. Beberapa dilabur dengan cat merah menyala mencitrakan pesona oriental. Bayanganku kembali terusik oleh burung-burung, kupu-kupu, naga, potongan awan, aneka macam pemandangan. Biasanya kutemukan di guci-guci, piring, gelas, cangkir mini atau aneka busana dengan sentuhan kerah cheongsam. Entahlah, aku mungkin sedang memasuki sebuah situasi nostalgic dalam sebuah tempat yang aku sendiri sudah lupa di mana.
Betapapun, melihat semua ini aku menjadi ingin terus bertahan hidup. Menjauhkan diriku dari seseorang yang berjubah putih, bersenjatakan jarum suntik, dengan senyum menenangkan mencocok hidungku dengan selang-selang infus.
Aku terus berjalan. Kali ini di pasar buah yang mendadak ramai. Mataku tertumbuk pada aneka warna. Lebih banyak didominasi oleh warna kuning. Mungkin karena bayanganku sendiri atau mataku yang tengah tertumpu pada jeruk kuning segar berdaun-yang di dekatnya berdiri sesosok usia belasan dengan seenaknya memadukakan blues kerah cheongsam warna merah menyala dengan celana blue jeans butut, lebih santai sambil menenteng tas kresek berwarna kuning.
Semua itu menyatu dalam nuansa oriental. Sebuah kombinasi yang membuatku mengingat deretan kata yang belakangan menghiasi lembaran koran harian "gong xi fa cai".
Di sebuah lorong dengan pasar yang tumpah di emperan toko milik warga keturunan itu, aku mencium aroma hio, dupa pengantar doa dan membayangkan lilin besar menyala 24 jam di dekat patung-patung dewa yang siap dimandikan, yang menatap penuh kedamaian aneka persembahan di depannya.
Aku juga masih menatap sosok yang seenaknya memadukakan blues kerah cheongsam warna merah menyala dengan celana blue jeans butut itu. Tangannya yang kuning gading merengkuh setangkup jeruk kuning berdaun segar. Untuk persembahan sebentar malam.
Untuk sebuah harapan di awal tahun ini : kesejahteraan yang terus tumbuh.
Tapi aku tak lagi menangkap detail seperti tahun lalu: secuil kertas yang melayang jatuh dari dalam tasnya. Seraya menepuk pundaknya kuberikan cuilan kertas itu padanya.
Lalu ia berterimakasih, menjabat tanganku dengan tangannya yang kuning gading tanpa mengucapkan namanya. Aku tidak akan bertanya siapa namanya. Aku takut ia bernama Veronica. Seperti tokoh perempuan hasil penciptaan Paulo Coelho yang memutuskan untuk bunuh diri dalam novelnya itu.
Aku hanya menatapnya, di sebuah siang dengan nuansa oriental yang sebentar lagi disaput oleh hujan. Dan dengan sugesti jeruk kuning berdaun segar, berpadupadan dengan aneka persembahan lainnya, aku bergegas meninggalkan tempat itu.
Mendung semakin ranum. Sebentar lagi jatuh. Tentu setelah menghilangkan potongan langit berwarna kuning seperti tadi pagi. Duh, semoga malam nanti hujan berhenti. [Tjak Lan]