Ketika sudah menyelesaikan kuliah S-1 Hukum pun, tidak pernah terbesit untuk buru-buru mengikuti penyesuaian ijazah agar segera bisa naik Golongan III seperti hampir semua teman-teman seangkatan saya. Singkatnya, saya senang ini semua berjalan lancar tanpa perlu pusing-pusing pikir tingkat tinggi.
Hingga hampir tujuh tahun menjadi pegawai, dengan perencanaan yang santai dan mengalir dengan sendirinya, ternyata semua yang saya impikan telah terpenuhi. Menikah, punya anak, punya rumah dan kelengkapannya sama seperti kebanyakan orang.
Di lain sisi saya justru melihat kebanyakan teman-teman saya yang memegang tanggung jawab dan punya obsesi karier di kemudian hari justru tidak bisa menikmati hal seperti yang saya rasakan. Terkekang dengan aksinya untuk mengejar tingkatan yang lebih tinggi. Terkekang dengan tanggung jawab yang mungkin tiba belum saatnya.
Ini membuat saya berpikir, kenapa kita harus bersusah payah memaksakan hati dan pikiran menggapai kesempatan padahal belum waktunya? Mengapa harus memasang obsesi yang terlalu berlebihan jika saat yang tepat akan datang dengan sendirinya?
Lalu saya ingat bahwa menjalani sesuatu dengan jeruji yang kita ciptakan sendiri lebih banyak menimbulkan risiko kecewa di belakang hari. Coba Anda bayangkan saat sedang mengejar mimpi dan obsesi namun tidak bisa menikmati waktu bersama keluarga. Juga ketika Anda bergelut dengan rencana-rencana besar di setiap menitnya namun lupa bagaimana menikmati anugerah dari Tuhan di menit yang sama. Tidakkah kita menyesal melewatkan detik-detik yang seharusnya menjadi milik kita saat masih tepat pada waktunya?
Maka saya pun berpikir, ada benarnya juga nasihat orang tua yang pernah saya kenal dulu. "Jalanilah kehidupan ini seperti air mengalir. Tenang, tapi punya kekuatan. Ada saatnya bergelombang, ada saatnya riak kecil, tapi tetap saja mengalir pada muaranya." [Veronica Lim / Bogor]