Banyak yang tak berubah darinya. Matanya masih menawan seperti bulan sabit yang bersembunyi malu-malu di balik awan. Rambutnya hitam pekat berkilauan dibiarkan jatuh menutupi pundaknya. Kulit putihnya menawan. Tingginya semampai. Ia tetap elok bagai keindahan aliran sungai Huang He. Lilian, perempuan dari kampung China.
"Masih ingat tempat ini?" Sapa Hen saat menyambutnya. Ia tak menggubris. Matanya tetap melihat sudut demi sudut ruangan di ketinggian ini. Tempat mereka pernah menghabiskan malam untuk melarikan diri dari kenyataan yang susah untuk ditolak. Tempat di mana malam menjadi atap dan bintang adalah saksinya.
Lian mendekati tepi pagar pembatas. Membiarkan badan dan rambutnya diterpa angin malam. Ia menatap ke bawah. Dari atas lantai sepuluh, terlihat ratusan lampion merah yang berjejer bagai naga yang merayap. Keramaian lalu-lalang manusia di gang kecil Kampung China bagai semut yang sibuk mencari makanan.
"Kenapa harus tempat ini?" ia membalikan badannya dan menatap Hen. Sedikit cahaya rembulan menyapu pipinya yang halus.
"Tempat ini tentang kita Lian. Masih ingat kan? Kita pernah membuat janji pada Fei Xing (bintang terbang) beberapa tahun yang lalu. Ayo, duduklah di sini." Lilian berjalan menghampiri Hen. mereka duduk menyandarkan tubuh pada tembok. Menatap langit penuh bintang.
"Tapi…,"
"Tapi apa?" kata Hen sambil membelai rambut Lian yang halus
"Keadaan tak seperti dulu lagi Hen. Aku..,"
"Ya aku tahu. Makanya aku mengajakmu kemari. Dulu aku berjanji pada Fei Xing, kalau boleh bertemu denganmu sekali lagi. Di tempat ini."
"Kamu tetap yakin pada janjimu itu Hen?"
"Ya. Aku selalu menghitung waktu di setiap pagi dan malamku. Aku tak pernah lelah mengejar matahari, menari bersama hujan dan tertawa bersama angin. Aku tak pernah letih untukmu Lian."
"Kau masih mengingat puisi dari buku itu ya Hen?". Hen menyambut dengan senyum.
"Hen…," suara lirih Lian . Hen meremas tangan halus Lian. Lian menyandarkan kepalanya di pundak Hen. Lalu mereka menyerahkan tubuh mereka pada malam berharap ada Fei Xing.
***
"Xiaolian…..Xiaolian… ," Ibu memanggil nama kecilku yang berarti Teratai Kecil. Tangannya masih menggenggam pisau. Peluh menghiasi sekujur tubuhnya yang tambun dari kepala hingga lengannya. Ibu terlihat sangat sibuk sendirian di dapur untuk memasak makan siang kami.
"Kau ngapain di situ? Kemarilah bantu ibu." Suaranya makin keras. Bersahut-sahutan dengan suara daging babi yang dicincangnya. Aku berjalan ke pintu dapur. Menjulurkan kepala di antara gorden tua yang menjuntai dari kepala pintu. Aku menatap punggungnya.
"Kalau kerjamu baca-baca buku, mau jadi apa hah? Dari dulu, Popo-mu itu ngajarin kita ngga boleh malas-malasan. Kalau kau ngga kerja, beriaslah yang cantik jangan keluar lagi. Esok keluarganya si Kong mau datang."
Wajahku memerah. Kupingku panas. Aku langsung menuju kamar dan membanting pintu sekeras-kerasnya. Apa-apaan ini? Ternyata rencana perjodohan dengan anak laki-laki tante Yen akan berjalan mulus.
Teryata uang bisa menghalalkan segala-galanya. Gara-gara papaku punya hutang sama tante Yen. Mau bagaimana lagi? Warung makan ini satu-satunya tumpuan harapan keluarga kami. Hampir bangkrut gara-gara papa yang suka judi.
Sekarang papa hidup seperti jelangkung. Datang ngga diantar pulang ngga dijemput. Kadang pergi pagi, pulang bisa dua atau tiga hari lagi. Dulu mama ngomel-ngomel. Sekarang ia cuek saja. Mungkin sudah malas ngurusin papa.
Aku duduk di pinggir jendela kamar seperti orang bego yang siap menyerahkan nasibnya pada takdir. Aku teringat Hen, pria sederhana dan murah senyum. Ia bekerja di sebuah perpustakaan tua. Ia baik padaku dan sering meminjamkan bacaan-bacaan yang bagus untukku.
Aku berganti pakaian. Rambut hitamku kurapikan sebentar. Dibuat kepang dua dan dibiarkan menjulur begitu saja. Pikiranku kini pada Hen. Masa bodoh dengan perjodohan. Aku bergegas dan meraih beberapa novel kesukaanku. Baru saja aku membuka pintu kamar, ibu sudah berdiri tepat di depanku.
"Kau mau kemana Lian? Ke tempat Hen lagi? Kau benar-benar sinting." Aku seperti tikus yang siap dimakan kucing. Tak berdaya. Mulut ibu terus mengomel tak karuan. Ia benar-benar menghabisiku dengan kata-katanya. Sakit memang mendengarnya.
"Ini hari ketiga Imlek. Seharusnya kau tetap di rumah. Jangan kau lawan ajaran leluhurmu Lian. Semua orang di kampung China ini tahu, ngga bagus keluar di hari Chi Kou (Anjing Merah). Kualat kau Lian."
Kalau ibu sudah ngomong tentang leluhur dan tradisi, aku ngga bisa ngapa-ngapain. Ini senjata pamungkasnya dengan mengancam kualat. Macam-macamlah kualatnya. Kena petir, jatuh di selokan, jatuh miskin dan ngga dapat jodoh. Nah, lebih baik aku memilih kualat ngga dapat jodoh kalau situasinya seperti ini. Kata mama dulu kami jatuh bangkrut gara-gara papa pesta dan berjudi di hari ketiga imlek. Kita kena kualat katanya. Menurut kepercayaan, hari ketiga Imlek ngga boleh bepergian. Saat itu roh-roh jahat berkeliaran. Aku percaya dan mengiyakan saja.
***
Di meja makan masih tersisa beberapa Nian Gao . Aku tak menggubrisnya sedikitpun. Aku lebih tertarik dengan puisi-puisi Hen yang ia tuliskan pada halaman belakang buku tua yang diberikan padaku. Waktu aku berulang tahun ke tujuhbelas.
Fei Xing
Membuatku berpaling
Pada malam berkelambu langit
Hamparan bintang berkedip genit
Fei Xing
Sampaikan pada Xiaolian
Umur panjang dan kebahagiaan
Juga cinta dariku
Selalu menyertainya
Aku pandangi foto Hen yang aku jadikan pembatas buku. Foto hitam putih dengan menggunakan kemeja pucat. Tapi senyum dan kegagahannya tak dimakan waktu. Foto itu yang menjagaku dari tiap malam dan selalu membangunkanku bersama matahari.
"Kalau kau masih cinta ibumu dan adik-adikmu yang masih kecil, seharusnya kau terima lamarannya si Kong." Suara ibu memecah keheningan setelah ia selesai bersembayang di sudut rumah. Bau hio yang ditancapkannya masih mewangi di seantero ruangan rumah.
"Tapi ma, Lian kan engga cinta sama Kong."
"Hah? Hari begini kau bicara cinta? Mama dulu dikawinin engga pake cinta sama papamu. Buktinya tiga anak bisa lahir kan?"
"Tapi akhirnya mama ngga akur sama papa kan?"
"Itu salahnya dia bukan urusanku." Ibu mulai terpancing emosinya. Ia memang kurang suka kalau tiap pembicaraan dikait-kaitkan dengan ayah.
"Ingat Lian, si Kong itu kuliah dan punya usaha gede dari orang tuanya. Hidupmu ngga bakalan susah. Nah, kurang apa coba?" Kali ini Ibu mengutarakan alasan logisnya. Alasan yang selalu klasik, tentang uang dan harta.
Aku mengintip wajah Hen perlahan di sela-sela lembaran buku. Seolah-olah Hen sedang duduk di meja makan ini lalu menatapku. Menanti reaksiku. Mau tahu apakah aku kalah karena harta atau menang atas nama cinta. Aku menutup rapat buku tua pemberian Hen. Aku melayangkan pandanganku pada lampion merah yang tergantung di dekat pintu. Merah ceriah. Sayangnya perasaanku tak seceriah itu.
"Pikirkan baik-baik lagi Lian. Mama sudah ngga kuat ngurus warung makan kita. Pembeli mulai sepi. Sekarang orang pada makan di mal dan restoran. Mama nyerah kalau keadaannya begini terus." Ibu beranjak dari tempat duduknya dan menuju kamar. Sayup-sayup aku hanya mendengar batuknya di dalam kamar.
Aku membuka buku dan menatap foto Hen. Air mataku mengalir dan membasahi fotonya. Aku lalu menutup buku.
"Maaf Hen, aku tetap mencintaimu selamanya…selamanya dalam setiap kenangan hidupku."
***
Sebulan setelah Imlek. Keluarga kami dan Kong terlihat sibuk dengan upacara Sangjit. Ini upacara lamaran dalam adat Tionghoa yang masih dipertahankan sampai sekarang.
Keluarga Kong datang membawa beberapa barang untuk melamarku. Di atas nampan merah terdapat seserahan.
Tarian Barongsai menghantar rombongan keluarga Kong menuju rumah kami. Ucapan selamat dan berbahagia terucap dari tetangga yang menyaksikan prosesi itu. Bahagia? Apakah pernikahan ini membuatku bahagia? Tidak, ini untuk membahagiakan ibuku bukan aku.
Tante Yen dengan senyum sumringah bercakap-cakap dengan ibuku yang lebih cocok dikatakan yang berbahagia, bukan aku. Akong apalagi. Ia seperti raja yang memenangi pertempuran. Aku sudah membayangkan malam pertamaku dengan Akong.
Badannya empat kali lebih besar dari badanku. Ya Tuhan, makan apa manusia macam ini?
Di sela-sela kerumunan manusia sore itu, aku seperti melihat sosok pria yang aku kenal betul. Hen. Ya itu Hen. Ia ada di sana, berdiri di seberang jalan sambil menatapku. Aku kelabakan seperti anak kecil yang melihat mainan. Tapi aku tidak bisa berbuat banyak. Ingin rasanya aku berlari mendapati Hen dan memeluknya.
Hanya sekejap aku melihat wajah Hen. Pintu ditutup dan prosesi lamaran dimulai. Hen, tolong aku. Hen, maafin aku. Cuma itu yang terucap pelan dari bibirku yang dipenuhi gincu merah. Aku menangis saja dalam hati lalu selanjutnya menyerahkan nasib pada takdir.
***
Sepuluh tahun berlalu semenjak pernikahanku dengan Kong. Sampai sekarang belum punya anak. Tiap hari aku menjalani kewajibanku sebagai istri dan mengawasi beberapa usaha kami. Kelakuan Kong tidak berubah seperti sebelumnya. Kumpul-kumpul bersama teman-teman pengusahanya. Berpesta di club malam dan melalang buana entah kemana. Kadang seminggu bahkan pernah sebulan lamanya. Setiap kali aku bertanya, ia hanya mengatakan urusan bisnisnya di Beijing atau Hongkong.
Desas-desus yang aku dengar, Kong punya istri simpanan di Singapura. Aku belum berani menanyakannya. Aku takut ia marah dan menghardikku. Jika sudah marah, ia selalu mengait-ngaitkan aku dengan masa lalu. Bagaimana pertolongan orang tuanya akan usaha kami dan bagaimana ia menyelamatkan kami dari kemiskinan. Lama kelamaan, aku seperti dejavu, melihat wajah papaku pada kelakuan Kong.
Suatu hari, saat hari kelima belas dari perayaan Imlek tahun 2011, aku menyempatkan diri untuk menonton Yuan Xiao (Festival Lampion) di kampung Cina. Kesempatan baik untuk pulang melihat rumah tua kami. Semenjak menikah, aku tinggal di apartemen bersama Kong. Entah kenapa Kong tidak mau tinggal di kampung China. Katanya kampungan. Ia ngga mau dicap orang kampung.
Saat aku sedang berdiri di antara keramaian, tangan seseorang menepuk pundakku dari belakang.
Aku menoleh dan menatap seorang pria yang tampak gagah dengan balutan baju koko warna merah. Senyumnya, garis wajahnya, rambut dan perawakannya sudah tak asing lagi bagiku.
"Hen…??" Pria itu tersenyum. Menempelkan tangan kanan pada dadanya dan sedikit membungkukan badan seolah memberi penghormatan padaku.
Aku ingat betul. Ini gayanya kalau sudah selesai membaca puisi untukku.
"Ya ampun, Hen..ohhhh." Aku seperti orang bodoh. Pipiku merona merah seperti warna-warni lampion. Aku ingin memeluknya tapi tidak mungkin. Menciumnya apalagi. Semua orang di kampung China ini tahu siapa aku. Akupun berusaha menjaga sikap.
Dalam keramaian, justru Hen yang menarik tanganku. Ia menuntunku ke tempat yang sudah kuduga. Gedung tua tempat dimana ia sering membaca puisi untukku.
Kami berlari menyusuri tangga sampai ke lantai paling atas. Lalu langit malam menyambut kami. Menanti-nanti, Fei Xing akan datang malam itu.
***
"Lihat…, Fei Xing..itu Fei Xing." Suaraku menerpa malam. Bintang terbang. Cahayanya bergerak dari timur ke barat lalu menghilang. Datang lagi yang kedua.
"Pejamkan mata. Ucapkan janjimu Hen." Aku memejamkan mataku dan menggenggam tangan Hen. Tapi dalam sekejap, aku merasa bibirku hangat dan basah. Bibir Hen. Aku membuka mataku perlahan. Wajah Hen dekat sekali denganku. Tanganku merangkulnya punggungnya makin erat. Aku tak ingin melepasnya. Kami berciuman dan saat itulah kembang api terpancar di langit malam kampung China. [Yustus Maturbongs]