Dia melirikku. Pada kelopak matanya itu seperti lengkung bulan sabit yang rebahan, agak teduh. Garis wajahnya ceria tapi dingin. Sebentar kemudian menunduk. Sepanjang aku mengirinya dia lebih banyak menunduk. Memandangi batu-batu jalanan. Beberapa tempo kemudian, entah kenapa angin bertiup agak kencang, kulirik dia mengangkat wajahnya, menyibak rambut yang tutupi lentik indah kelopak matanya. Dia berkedip-kedip. Dan selintas aku mencium aroma yang berasal darinya, aroma air mata.
Aku merasa, entah kenapa jalan di kampung pecinan nampak panjang, jauh dan tak berujung. Aku masih mengiringi perempuan itu. Kulihat dikanan-kiriku rumah-rumah tua orang-orang Khek, berdiri masih kokoh. Rumah-rumah bergaya Cina itu, hening, bergayut pada senja yang diam. Seperti diamnya kami.
Diatas tiang-tiang telephon dan genting-genting rumah, membujur tali panjang yang digelantungi indah lampion-lampion warna merah menyala, lengkap dengan goresan huruf-huruf Cina yang tak terbaca olehku. Mungkin semacam mantra-mantra tolak bala, atau, semacam pesan tentang filosofi hidup yang tersembunyi dan tak kumengerti.
Perempuan keturunan Cina ini semakin lama dan semakin hari membuatku penasaran saja. Entah kenapa aku berpikir dia seperti Cheng Ho leluhurnya, misterius. Disingkapnya sedikit kain yang membelit langkahnya, berjingkat dia meninggalkan aku. Langkahnya kian cepat, tak aku kejar, dan dia lenyap bersama senja yang direnggut oleh malam.
* * *
Hari itu, belum juga aku tahu namanya, dan dia begitu asing namun dekat. Aku ingin mengenalnya. Ketika berkerja, aku ingin cepat-cepat pulang. Entah bagaimana aku sangat gesit bekerja, semangatku meletup-letup, ada hal lain dari paras wajah perempuan itu yang membuatku tak goyah dan lesu. Seperti Yin dan Yang, saling menyeimbangi. Belum lama kami tak bertemu kembali, aku sudah rindu. Jangan-jangan aku telah jatuh cinta. Jangan-jangan.
Sampai pada hari berikutnya di bulan yang sama, malam masih juga bergayut pekat mendung, rintik basah air hujan berjatuhan bagai terigu yang menitik hinggap dirambut dan lembut serabut benang bajuku. Kampung Pecinan di Kota Lama Semarang, nampak lengang. Aku berjalan menjingkat menghindari genangan air dijalanannya.
Sampai aku menemukannya di Kelenteng Merah itu. Berkhusyuk dalam doa, dan bergumul dalam kepulan asap dupa. Aku menyimpulkan, perempuan itu menyakinkan Konghucu dalam rongga-rongga dadanya, ditiap helai hembusan nafasnya.
Malam semakin hening, selayaknya sebuah malam yang hendak jelmakan kedamain di relung yang terdalam. Diremang merah nyala lampion, bulan tak nampak ditutupi gerumbul-gerumbul awan kebiruan agak hitam. Gerimis tak juga reda. Tiap malam Kota Lama ditelan kesunyian, senyap, gelap. Dan kau merasa kembali kerahim ibumu, bisikku padanya.
Bagimu, cinta adalah aroma dupa dan puja para dewa-dewa di langit. Mantra-mantra doa yang terucap dari bibir tipismu tak kumengerti, terdengar seperti dengungan ribuan suara lebah. Matamu terlihat menerawang. Kau ada disitu, berdiri mematung. Bajumu ungu, berpilin gambar naga warna emas melingkarinya. Sebentar kelopakmu memejam. Pada beranda altar dewamu, kau seperti berbisik.
Aku seperti tenggelam dalam khusyuk pujamu. Kadang ada saja yang iseng menanyaiku kenapa aku suka sekali berhenti disitu untuk melihatmu. Tapi, selalu saja jawaban aku simpan rapat dalam dada. Aku cuma tersenyum, dan orang itu kemudian berlalu meninggalkanku. Terusterang, aku suka sekali aroma puja tempatmu ini. Aroma basah rincik hujan di awal musim semi berpadu harum aroma paraffin dan wangi aroma dupa, sangat segar seperti lembab aroma telaga. Dan anganku seakan melambung mental kenegeri kahyangan. Juga selalu saja ada waktu untukku menikmatinya tiap malam saat aku pulang kerja. Dan selalu saja kutemui kau ada disitu.
* * *
Di malam itu, belum juga kukenal namanya. Dan di malam berikutnya, selepas salat isya di masjid tua Kauman, aku menghambur ke Kampung Pecinan itu lagi. Berharap kudapati perempuan hokian itu ada di Kelenteng Merah.
Masih juga rintik basah hujan mengikutiku dari malam ke malam. Sepanjang jalan Kota Lama, kukenang saat-saat itu. Aku rindu saat ia menyalakan dupa dengan bara di tungku pembakaran kertas mantra kepada leluhurnya. Ia menjatuhkan dirinya, tegak bertumpu pada lututnya, rambut hitamnya yang tersaput cahaya lilin dan warna merah terang kelenteng ia biarkan tergerai panjang, sesekali ia menuduk dan menghatur sembah pada dewanya, sambil sesekali juga ia menjentik-jentikan dupa upet dikedua genggam lentik jari-jari tangannya. Aku tertegun, begitu indah pemandangan itu.
Lamunku buyar diantara gemericik suara gerimis, kulihat seseorang keluar dari toko kelontong berusaha membuka payungnya. Kupicingkan mataku agar jelas, ternyata perempuan hokian itu lagi. "Ang Mey, jangan lama-lama di Kelenteng. Nanti babah mau pergi, kau jaga toko," kudengar seseorang memanggilnya dari dalam toko kelontong. Dan saat itu kukenali nama perempuan hokian itu, Ang Mey.
Seperti biasa, seperti malam-malam sebelumnya, diam-diam kuikuti dia dari belakang. Mengekorinya, sampai didepan pelataran Kelenteng Merah aku berhenti, agak menjauh, jangan sampai dia melihatku membuntutinya. Dan seperti biasa, ia langsung tenggelam dalam kepulan dupa dan khusyuk doa pada dewa-dewanya. Sampai…
"Aku lihat, kau selalu mengikutiku."
Mendadak aku berdiri menjingkat bangkit dari dudukku, dibawah pokok pohon beringin ditepian jalan. Dia, perempuan hokian itu, entah dari mana ia berjalan, sudah ada didepanku saat aku melamun menunggunya keluar kelenteng.
"Aku…mmmm…aku…mmmm…"
"Aku…mmmm…, maksudnya apa? Maksudmu kau ingin berbuat jahat padaku?" tanya perempuan hokian itu. Tapi aku hanya berdiri kaku mematung.
"Ngggg…gak kok. Aku hanya ingin melihatmu berdoa, itu saja."
"Kenapa kau ingin melihatku berdoa?"
"Aku jarang melihat orang Konghucu berdoa sepertimu." jawabku. Dan gerimis yang tadinya lembut, malam itu berubah jadi kasar, dan hujan turun menderas seketika kami berhambur menuju Kelenteng Merah, berteduh ditepian lekuk sirap atap langit-langitnya yang menawan.
Sejenak kami diam berdiri bersampingan. Kulihat dia mengibas rambunya dari tetes air hujan, dan kemudian bersidekap tangan dari dinginnya air itu.
"Januari tahun ini, adalah tahun naga air. Dewa Naga melelehkan air matanya pada bumi yang kering. Tiap tetesnya mengandung ruh kehidupan, penyembu duka yang tak berkesudahan dari manusia yang mengharap sejuk cinta datang padanya."
Suara lembunya memecah kesunyian diantara kami. Aku mengangguk mengerti.
"Oya, kamu lahir tahun berapa?" tanyanya, sambil menoleh pandang padaku.
"Aku lahir tahun 1988." jawabku serentak, juga kutolehkan pandang padanya. Dan kami saling berpandangan. Mengeja arti dari mata ke mata.
"Kamu beruntung, tahun ini Dewa Naga Air melindungimu. Kau lelaki penyembuh luka, Naga Tanah siomu tertanam bibit kehidupan yang akan menumbuhkan benih-benih kedamaian."
Aku tatap mata bulan sabitnya semakin dalam, seakan aku merasa semua luka lamanya yang entah apa ia perlihatkan semua padaku.
"Tak ada luka yang tak sembuh. Barangkali hanya ada luka yang membekas selamanya."
"Semoga tak terulang lagi penghinaan pada kaumku. Kerusuhan tahun lalu, masih membekas di hatiku. Dulu aku masih kecil, aku sudah harus kehilangan ibuku, dan tahun ini aku tak ingin kehilahan ayahku, satu-satunya orang tua yang kupunya."
Diantara paduan aroma basah rincik hujan di awal musim semi berpadu harum aroma paraffin dan wangi aroma dupa, sangat segar seperti lembab aroma telaga. Dan selintas aku mencium aroma lain dari tubuhnya, aroma air mata. [PSH]