"Pak Tani tidak adil! Mengapa hanya sebagian teman kami yang Bapak pilih untuk dijadikan hiasan? Lihatlah, mereka dikagumi dan dipuji-puji banyak orang, sedangkan kami sama sekali tidak diacuhkan. Pak Tani sungguh tidak adil!"
Pak Tani mendengarkan keluh kesah mereka namun tidak menjawab. Ia malahan segera mengangkut mereka dan melemparkannya ke berbagai penjuru sawah, ke tengah-tengah tanah becek yang kotor. Benih padi semakin sedih.
Beberapa hari kemudian, Pak Tani menjenguk sawahnya dan menyapa benih padi.
"Selamat pagi, Benih Padi. Apa kabarmu?"
"Pak Tani, mengapa kami dibuang ke tanah kotor ini? Apa salah kami? Kami kedinginan dan kepanasan, tapi kaubiarkan kami. Wajah kami kini jadi rusak. Lihat, ada banyak serat akar tumbuh pada tubuh kami. Tolong angkat dan bersihkan kami, Pak Tani!"
"Kutolong kamu, Benih Padi," jawab Pak Tani. Akan tetapi, Pak Tani tidak juga mengangkat atau membersihkan benih-benih padi itu. Berhari-hari ia tetap membiarkan benih padi tinggal di tanah yang becek dan kotor. Dibiarkannya pula akar yang tumbuh semakin banyak. Bahkan, yang tumbuh bukan hanya akar, melainkan juga batang dan daun. Benih padi semakin kurus kering, akar dan daun semakin lebat, hingga suatu saat benih padi itu lenyap tak berbekas. Sawah itu kini menguning, penuh dengan tanaman padi yang berbulir lebat. Banyak orang mengagumi keindahannya dan banyak orang membutuhkannya. Pak Tani datang menjenguk benih padinya.
"Benih Padi, bagaimana kabarmu hari ini?"
"Pak Tani, terima kasih atas pertolonganmu," kata benih padi yang kini telah berubah menjadi tanaman yang berbuah lebat.
Bila orang bersedia tumbuh dalam tangan Tuhan, hidupnya akan penuh arti. Bagaimanapun juga, hal itu tidaklah mudah karena menuntut penyangkalan diri. (Merenung Sambil Tersenyum)