Dengan penghasilan dari toko inilah kami sekolah. Walaupun kami hidup secara sederhana, namun kami tetap berprestasi. Di sekolah, aku dan adik adik selalu menjadi tiga besar di kelas. Ayah dan ibu bangga terhadap prestasi kami. Di rumah kami juga diajarkan saling menyanyangi, saling membantu satu dan lainnya.
Ibu, seorang ibu rumah tangga yang ulet, karena semua waktunya dicurahkan untuk membesarkan kami, hingga ibu tak pernah memikirkan penampilan dirinya. Kerut muka Ibu lebih banyak dari ayah, padahal ibu lebih muda tujuh tahun dari ayah.
Hingga suatu hari, ayah mendadak minta ijin ke ibu untuk menikah lagi dengan seorang perempuan lain. Tentu saja ibu marah dan tak bisa menerima perlakuan ayah. Dilemparinya ayah dengan piring, asbak, dan pajangan lain. Ibu emosi sekali dan serta merta mengusir ayah pergi dari kami semua.
Sejak saat itu, ayah tak pernah pulang lagi. Ibu menjual satu persatu perhiasan dan barang-barang dirumah untuk makan dan sekolah kami. Aku datang ke toko ayah, tapi ayah sudah tak mau pulang kembali ke rumah. Dan yang menyakitkan, ayahpun tak mau mengongkosi hidup sehari-hari kami. Ayah keterlaluan sekali, melupakan ibu dan anak-anaknya begitu saja.
Dengan susah payah, aku menyelesaikan sekolahku hingga lulus menjadi bidan. Betapa bahagia ibuku dan berharap aku segera mendapat pekerjaan agar dapat membantu ekonomi keluarga. Sehari setelah kelulusanku segera kudatangi berbagi tempat sambil membawa surat lamaran kerja, tapi aku hanya dijanjikan untuk dipanggil wawancara kerja, hingga berbulan-bulan tak satupun panggilan wawancara hingga aku mulai putus asa.
Di pasar, aku bertemu dengan bekas kawan SMU, Rini namanya. Dan aku menceritakan tentang keinginanku bekerja apa saja, jadi pembantu sekalipun aku terima pekerjaan tersebut asal aku mendapatkan uang untuk membiayai kelangsungan sekolah adik-adikku.
Rini menawariku pekerjaan yang mudah mendapatkan uang. Jual dirimu saja, pasti kau akan segera mempunyai uang banyak, ujar Rini lugas. Tersentak aku mendengarnya, segera aku pamit pulang dari hadapannya. Namun setiba di rumah, kupikirkan tawaran Rini tersebut, dan kubulatkan tekad untuk menjual diriku agar dapat uang secepat mungkin, karena adik-adikku sudah empat bulan tidak membayar uang sekolah dan tak satupun barang dapat kami jual lagi.
Sore harinya kudatangi tempat kos Rini, dan kukatakan bahwa aku berniat menjual keperawananku. Rini mencoba membantuku dengan mengenalkanku kepada seorang Germo Perempuan yang mempunyai pengalaman menjual kegadisan seseorang. Kukatakan kepada Mami Nani, begitu germo tersebut biasa dipanggil, bahwa aku harus menjual kegadisanku dengan mahal, karena uang sekolah tiga adikku selama empat bulan belum dibayar, ditambah uang ujian Ari, adikku yang di SMP.
Mami Nani terharu memelukku dan janjinya akan membantuku menjual keperawananku dengan tawaran tinggi agar aku dapat membiayai sekolah adikku. Mami Nani juga mengajariku tentang cara bersikap baik untuk menemani tamu.
Dua hari kemudian Mami Nani mendatangiku dan mengatakan ada yang tertarik membeli keperawananku dengan harga 2,5 juta rupiah. Terbelalak mataku. Uang itu begitu besar. Selain dapat membayar uang sekolah adikku, uang itu pasti masih berlebih untuk biaya makan kami sekeluarga. Dengan cepat tawaran tersebut kuiyakan.
Kupersiapkan diriku dengan mengenakan pakaian terbaik yang kupunya. Mami Nani menjemputku pukul enam sore untuk berangkat bersama ke tempat yang dituju. Mami Nani memberi nasehat kepadaku dan menanyakan kesiapan mentalku. Kukatakan bahwa aku sudah amat siap menghadapi semua ini. Mami Nani memelukku kembali dengan haru
Dengan menaiki kendaraan umum, kami menuju hotel di mana tamu mami sudah menunggu. Kamar 501 tujuan kami. Kuketuk perlahan pintu kamar itu, dan seorang pria tua, berwajah ramah muncul membukakan pintu, serta mempersilahkan kami masuk. Mami mengenalkan namaku, Ini Ria, yang akan menemani bapak malam ini dan saya permisi pulang dahulu.
Pria tersebut yang bernama Pak Joni ternyata amat baik dan mengambilkan soft drink yang kupilih dari lemari es yang berada di kamarnya. Kami duduk dan bicara hingga dua jam. Pukul sembilan Pak Joni mengajakku beristirahat di tempat tidurnya. Dengan baju lengkap aku menurutinya dan ikut merebahkan diri di kasur di sampingnya. Pak Joni hanya memandangiku dan dengan sekilas mencium pipiku. Aku diam tak bergerak. Secara perlahan Pak Joni mulai membuka pakaianku sambil berkali-kali mengatakan bahwa aku sangat cantik. Aku tetap diam kaku, semua hal yang diajarkan oleh Mami Nani hilang dari ingatanku.
Hingga peristiwa tersebut terjadi, aku disebadani oleh Pak Joni dan yang kurasakan hanya nyeri. Tapi bayangan uang menari-nari di kepalaku. Keperawananku telah direnggut oleh Pak Joni.
Pagi harinya, aku langsung ijin pulang kepada Pak Joni seraya menggenggam uang sebesar 2,5 juta rupiah. Aku ingin memberikan uang sebesar ini ke ibu untuk segera membayar semua tunggakan uang sekolah adikku. Pak Joni mengantarku pulang memakai mobilnya, seraya melambaikan tangannya saat aku turun di gang di muka rumahku.
Ibu tersentak saat kusampai di rumah dan kukatakan bahwa aku sudah mendapatkan uang untuk membayar semua kebutuhan kami. Kukatakan terus terang ke ibu bahwa aku menjual kegadisanku.
Ibu teriak keras menamparku, tapi sesaat kemudian memelukku erat seraya menangis histeris dan meminta maaf terhadapku. Aku bersujud di kakinya sambil mengatakan, "Ibu, ampuni aku, tapi semua ini kulakukan untuk ibu dan adik, Bu..." Aku tak tahu apa yang tersirat di hati Ibu. Kuserahkan semua uang tersebut dan meminta Ibu untuk segera membayar semua tunggakan sekolah adikku pagi itu juga. [Susanti Lim / Pontianak] Sumber: Kisahku-Kisahmu
PESAN KHUSUS
Silahkan kirim berita/artikel anda ke ke alamat email: tionghoanews@yahoo.co.id
MENU LINKS
http://berita.tionghoanews.com
http://internasional.tionghoanews.com
http://budaya.tionghoanews.com
http://kehidupan.tionghoanews.com
http://kesehatan.tionghoanews.com
http://iptek.tionghoanews.com
http://kisah.tionghoanews.com