Karena semua meja terisi, Dinda yang datang membawa nampan menanyakan apakah bisa duduk semeja denganku. Tentu saja kupersilakan ia semeja denganku. Kuulurkan tangan untuk berkenalan dengannya. Kusebut namaku dan pura-pura bertanya namanya, walaupun aku sudah mengetahuinya sejak lama. Basa basi terjalin, hingga kami bersama menaiki lift ke kantor usai makan siang. Aku bekerja sebagi sales di kantor asuransi. Namaku Timo.
Sejak hari itu, kami sering janjian dan bertemu di kantin untuk makan siang bersama hingga tumbuh suburlah benang-benang cinta di antara kami. Ternyata Dinda anak bungsu dari tiga orang saudara dan berumur 24 tahun. Aku anak ke dua dari empat saudara berumur 27 tahun. Klop pikirku.
Makin hari Dinda makin mennggemaskan, setiap hari kami pulang kerja bersama, ia membonceng di sepeda motorku. Acap kali kami menonton film berdua dan setelah menginjak sebulan perkenalan kami aku menyatakan cintaku padanya. Dinda menerima cintaku. Bersorak hatiku tak terkira, Dinda menjadi pacarku.
Bulan kedua menginjak usia pacaran kami, Dinda mulai menunjukkan perhatian yang lebih besar lagi, seperti "Jangan lupa, sampai rumah langsung telpon aku," ujarnya tiap kali aku selesai mengantarnya pulang. Dan setibanya di rumah langsung kutelpon Dinda dengan menggunakan nomer rumah, karena Dinda minta untuk menggunakan telpon rumah jika menelpon ke handphonenya. Tentu saja kuturuti permintaannya, karena aku ingin memberinya pesan jika aku telah tiba di rumah dengan selamat.
Kemudian Dinda juga mulai mengaturku, untuk tidak boleh merokok, tidak boleh memakai kemeja warna hitam, tidak boleh memakai parfum, tidak boleh berteman dengan si A atau si B. Awalnya kuturuti semua permintaan kekasihku, hingga makin lama aku terpenjara oleh ulahnya. Suatu hari aku memberanikan diri untuk menolak dengan segala aturannya (ibukupun tak pernah mengaturku seperti itu). Tapi yang terjadi Dinda menangis menjerit dan mengatakan bahwa aku sudah tak sayang lagi dengannya. Bingung aku dibuatnya.
Bulan keempat, Dinda mulai memeriksa semua nama di contacts handphoneku seraya menanyakan secara detail siapa dan kenal di mana dan jika ada nama perempuan di handphoneku maka langsung di-delete kecuali nama saudara dan ibuku. Aku sangat mencintai Dinda, tapi ulahnya sudah amat keterlaluan karena selama aku duduk bersamanya bila ada sms atau telpon Dinda wajib melihatnya.
Yang lebih gila, Dinda menelpon managerku di kantor dan menanyakan ke mana saja tugasku agar ia dapat memantau semua kegiatanku. Pecah kepalaku menghadapi ulahnya. Hingga aku sudah tak kuat lagi, maka kuputuskan cintanya secara sepihak.
Dinda tak tinggal diam, setiap hari menterorku dengan menelpon ke kantor dan berbicara dengan siapa saja yang menerima telpon tersebut guna mengatakan bahwa aku laki-laki sialan, tak bertanggung jawab, pengecut, pembawa wabah dan kata-kata buruk lainnya.Kemudian dikiriminya aku surat yang isinya kutukan agar aku kecelakaan atau mati dan menjadi setan.
Dengan kemarahan luar biasa, kudatangi Dinda dan kuminta menghentikan segala ulah gilanya. Tapi yang terjadi adalah Dinda menjerit-jerit di lobby kantornya hingga satpam datang dan aku diusir pergi oleh satpam.
Peristiwa tersebut sudah setahun, tapi hingga kini Dinda tetap menerorku. Membuatku mengganti nomor telpon rumah, handphone dan pindah kerja serta kos sendiri meninggalkan rumahku agar ibu tidak terganggu oleh terornya. Dinda membuatku benar-benar gila. [Vivi Tan / Jakarta] Sumber: Kisahidupku
PESAN KHUSUS
Silahkan kirim berita/artikel anda ke ke alamat email: tionghoanews@yahoo.co.id
MENU LINKS
http://berita.tionghoanews.com
http://internasional.tionghoanews.com
http://budaya.tionghoanews.com
http://kehidupan.tionghoanews.com
http://kesehatan.tionghoanews.com
http://iptek.tionghoanews.com
http://kisah.tionghoanews.com