Cui Mian adalah anak yang berbakti dan bertanggungjawab sejak ia masih sangat kecil. Ayahnya meninggal saat Cui Mian masih berusia 8 tahun. Ibunya menangis setiap kali teringat suaminya sehingga matanya yang lemah perlahan-lahan mengalami kerusakan. Pada saat Cui Mian berumur 13 tahun, demi mengobati mata ibunya, ia mencari obat dan tabib kemana-mana, namun tidak berhasil, kedua mata sang ibu mengalami kebutaan. Cui Mian kecil mengurus ibunya dengan penuh kasih sayang selama 30 tahun.
Saat cuaca bagus, Cui akan mengajak sang ibu jalan-jalan guna menghirup udara segar. Meski sang ibu tak dapat melihat, Cui menggambarkan pemandangan indah disekeliling mereka kepada sang ibu. Ia juga menceritakan berita-berita terbaru sehingga sang ibu tidak merasa kesepian atau ketinggalan informasi. Ibunya kerapkali lupa bila ia buta, menikmati saat-saat bahagia bersama anak kesayangannya itu.
Ada sebuah kolam didepan rumah Cui berbatasan dengan jalanan didepannya. Suatu malam, saat mereka sedang santap malam, mereka mendengar suara kecipak air yang berisik. Cui berlari keluar dan melihat seorang anak tercebur di dalam kolam tersebut. Untungya, tetangganya telah mengangkatnya dari air. Saat ia pulang ke rumah menceritakan hal tersebut, ibunya berkata, "Gantunglah sebuah lentera di pohon depan besok, karena jalanan depan rumah kita sempit dan bila malam gelap orang tidak melihat ada kolam kecil disana. Dengan adanya lentera, orang akan melihatnya dan tidak ada yang tercebur lagi."
Cui berkata bahwa harga sebuah lentera cukup mahal, belum lagi kewajiban membeli minyak untuk menyalakannya sepanjang malam setiap hari. Ibunya berkata bahwa mereka pasti bisa menghemat pengeluaran yang lain supaya dapat membeli lentera dan minyaknya. Sebagai anak yang berbakti, Cui memenuhi permintaan tersebut. Keesokan sore, lentera sudah tergantung diatas pohon. Setiap orang di kampungnya merasa tersentuh. Mereka tahu bahwa kehidupan keluarga kecil ini sangat prihatin, beberapa orang kaya menyumbangkan minyak untuk lentera, dan sejak saat itu tidak ada orang yang jatuh ke kolam lagi.
Untuk mencukupi kehidupan sehari-hari, Cui menanam dan menjual sayur-sayuran. Dia juga belajar tekun untuk masa depannya. Ia lulus ujian pegawai negeri dan kemudian karirnya menanjak sehingga menjadi pejabat tinggi. Meskipun sibuk, ia tidak lupa dengan ibunya dan sering mengajaknya jalan-jalan. Suatu hari mereka makan di restoran dan ibunya bertanya apa yang mereka santap. Cui berkata, "Ini adalah menu baru, Bu, dibuat dari tunas bambu." Ibunya memuji rasa enak hidangan tersebut.
Supaya dapat menyajikan tunas bambu untuk ibunya, sejak saat itu Cui mempekerjakan seorang tukang kebun untuk menanam bambu mengelilingi kolam di depan rumahnya.
Cui kemudian ia menikah dan membentuk keluarga yang bahagia. Ia membeli tanah dan menanam banyak buah-buahan untuk sang ibu. Anak-anaknya semuanya senang memetik buah-buahan segar tersebut untuk sang nenek.
Saat ibunya meninggal, ia sangat kehilangan. Ibunya dimakamkan di halaman rumah mereka yang sederhana itu, dan dirawatnya sebaik-baiknya. Setiap hari ceng beng, ia membawakan tunas bambu ke makam ibunya. Orang-orang terharu akan kejadian tersebut dan menamakan kolam tersebut "Kolam Tunas Bambu" untuk mengenang kejadian itu.
Anak Cui Mian kemudian menjadi perdana menteri di zaman Kaisar Tang Te Zhong, dan cucunya menjadi perdana menteri di zaman Kaisar Tang Mu Zhong. Semua orang percaya bahwa kemuliaan keluarga tersebut adalah karena rasa bakti dan kasih sayang, serta perbuatan baik Cui Mian.
Saat saya membaca kisah Cui Mian, saya sungguh terharu akan rasa baktinya terhadap ibundanya. Ia merawat ibunya tidak hanya memenuhi kebutuhan sehari-harinya (dalam hal materi) namun juga secara emosional dan spiritual. Perhatian dan kasih sayangnya juga ditunjukkan dengan membantu ibunya memenuhi keinginan ibunya berbuat baik menolong orang, seperti saat ia berusaha membelikan lentera. [David Ong / Kualalumpur / Malaysia / Tionghoanews]