Menjelang tengah hari aku baru terjaga. Segelas teh manis sudah tersedia di nakas samping tempat tidur. Ah, indahnya dunia. Harum masakan dari dapur langsung membuat perutku bernyanyi riang. Setelah empat tahun lebih menduda, aku akhirnya bertemu Cecilia. Perempuan mandiri yang tangguh.
Pernikahan kami baru berjalan setengah tahun dan aku sangat beruntung menikahi Cecile, demikian ia biasa kusapa. Ia melakukan semua pekerjan rumah tangga dengan baik, kadang tangannya trampil membetulkan perabot yang rusak, mengerti soal listrik, menguasai semua kendaraan bermotor, kecuali pesawat dan mobil lapis baja barangkali. Di luar itu, Cecile juga bekerja. Sungguh, kehidupanku sangat terbantu dengan kehadiran Cecile.
"Cecile, siapin pakaian dong!"
"Mau kemana kan hari ini Sabtu?" sahutnya sembari menggoreng sesuatu di dapur.
"Ketemu temen, dah janji semalam"
"Kok aku gak dikasih tahu?"
"Urusannya apa? Temenku bukan temenmu, lagian kamu gak kenal sama yang ini," aku sedikit jengkel, tumben Cecile banyak bertanya. "O!gitu?" jawabnya pendek.
Selesai mandi dan berpakaian, aku bersiap akan pergi. Namun Cecile menahanku. "Cicipi dulu ini, aku sengaja bangun pagi memasak ini untukmu." Sepiring bakwan jagung hangat kegemaranku. "Gak ah, nanti juga aku makan sama temenku. Makan enak, di restoran lagi." Kulihat kekecewaan di mata Cecile dan wajahnya berubah dingin, meski ia berusaha tersenyum. Wajah itu sering kutemukan kalau Cecile sedang tak menyukai sesuatu, tapi ia tak mau atau mungkin tak berani mengatakannya.
Sampai di sini aku berhak bangga, meski Cecile mandiri, pintar dan disegani di kantornya, tapi ia tunduk padaku. Cecile tak pernah mempermasalahkan kalau aku pulang malam, malah ia sering mengingatkan untuk membawa kunci gerbang dan kunci rumah, agar tak perlu membangunkannya kalau aku pulang kemalaman. Bahkan ia sering menjemputku ke cafe kalau aku merasa tak sanggup pulang sendiri karena terlalu banyak minum. Ia tak pernah bertanya atau melarang.
Beberapa temanku sempat sirik denganku. Saat mereka harus berbohong dengan istri ketika ingin sekedar nongkrong di cafe, aku bisa berkata jujur pada Cecile kemana aku akan pergi dan bisa memintanya menjemputku pulang. Dengan pongah kukatakan pada teman-temanku, bahwa Cecile tak akan pernah marah, karena ia tak bisa hidup tanpaku.
Hari Minggu, seperti biasa aku bangun tengah hari dengan segelas teh manis telah tersedia. Aku keluar kamar dan mendapati meja makan sudah tertata rapi. Tapi rumah sangat sepi, aku berkeliling rumah dan kudapati Cecile tengah duduk di taman belakang sembari membaca buku.
"Kok baca buku sih?"
"Lantas maumu aku ngapain? Semua kan sudah selesai," jawabnya tanpa beralih dari buku bacaannya yang lumayan tebal.
"Ya!terserah ngapain, semirin sepatuku atau cuci mobil?" jawabku sekenanya. Cecile menurunkan bukunya, membuka kacamatanya,menatapku tajam. "Aku istrimu, bukan pembantu atau supirmu," aku kaget mendengar jawaban yang di luar perkiraanku.
"Lantas maumu apa? Kok sewot?"
"Kita sama-sama kerja dari Senin sampai Jumat, Sabtu aku masih disibukkan dengan urusan rumah dan urusanmu, apa berlebihan aku minta sehari dari hari liburku untuk membaca buku kesayanganku?" Aku masih ternganga, Cecile sudah melanjutkan kata-katanya, "Apa seperti ini juga kehidupan pernikahanmu sebelumnya? Seperti ini juga perlakuanmu terhadap mantan istrimu? Menganggap mereka tak lebih dari mahluk rumahan yang gak tau apa-apa? Buat apa ocehanmu di hadapan teman-temanmu yang mengatakan bahwa istri adalah partner hidup dan suami harus menghargai itu? Aku baru tahu ternyata kamu hanya pintar teori tapi nol untuk praktek."
Kelelakianku bergejolak. Cecile memang tidak bicara membabi buta, susunan katanya teratur rapi, nada suaranya juga tak meninggi, tapi datar dan dingin. Namun ini yang membuatku emosi. "Kamu menyesali pernikahan kita?" tanyaku lantang.
"Sama sekali tidak, tapi aku ingin tanya apa arti pernikahan menurutmu? Apa arti sebuah rumah tangga dari sudut pandangmu?" Aku sama sekali tidak mempersiapkan jawaban untuk dua pertanyaan Cecile tersebut. Aku hanya diam, bahkan menatap matanyapun aku jadi tidak berani.
"Oke, kalau tak mau jawab, aku yang jawab, tapi dari sudut pandangku. Pernikahan itu adalah penyatuan dua pribadi yang berbeda untuk berbagi dalam segala hal dan semua dilakukan bersama. Rumah tangga dengan unsur suami dan istri yang memiliki tanggung jawab masing-masing untuk mempertahankan keutuhan rumah tangga dan membuat kehidupan rumah tangga tersebut nyaman dan indah. Ada penyangkalan?" Aku masih diam, berusaha mencari celah untuk mematahkan pendapat Cecile, sialnya tak kutemukan apapun.
"Sekarang untuk pernikahan kita, apakah kita sudah cukup berbagi? Apakah kita pernah melakukan sesuatu bersama? Nonsen kan? Semua urusan rumah tangga aku yang kerjain, sampai bayar tagihan kartu kreditmu masih aku yang kerjain, padahal di sebelah kantormu ada bank. Ketika kita kesulitan uang, kamu sama sekali tak mau tahu, karena menurutmu gaji yang kamu berikan tiap bulan sudah lebih dari cukup. Asal kamu tahu, gajimu langsung habis untuk bayar tagihanmu, hutangmu pada beberapa temanmu dan tagihan listrik serta PAM. Aku yang harus banting tulang untuk menutupi kekurangan biaya hidup kita. Segitu kamu masih menghabiskan uang untuk minum-minum di cafe dan pulang masih minta dijemput."
Aku benar-benar kehabisan kata, Cecile belum juga mau berhenti, seakan seluruh isi kepalanya tumpah. "Lantas tanggung jawabmu di rumah tangga apa?" Aku sudah tak tahan, "Aku kan suamimu, aku yang membimbingmu!" Cecile tersenyum, tetap dingin, "Bimbingan macam apa? Selama setengah tahun menikah, belum pernah kamu mengajakku sholat berjamaah. Tadinya aku ingin mengajakmu, tapi kuurungkan, karena menurutku itu harus menjadi tanggung jawab kamu, suamiku. Setidaknya ada sesuatu yang bisa kubanggakan dari suamiku."
Aku sudah tak bisa menahan diri lagi. "Jadi begitu menurutmu? Kalau tak betah tinggal disini kamu bisa keluar sekarang juga, jangan pernah kembali lagi!" Aku tahu kalau aku sangat tolol saat itu, tapi jujur aku tak bisa menerima kebenaran dari kata-kata Cecile, aku terlalu sombong untuk mengakuinya. Perlahan dan tenang Cecile berdiri dari duduknya, "Terima kasih, minimal aku terbebas dari penjara yang cantik ini."
Cecile meninggalkan rumahku dengan membawa sebuah kardus besar beisi koleksi bukunya serta sebuah travel bag berisi beberapa bajunya. Cecile memang bukan tipe perempuan yang doyan belanja baju, aksesoris dan perhiasan, ia lebih memilih belanja buku. Ketika kami menikah, Cecile pindah ke rumahku ini dengan membawa sebuah travel bag yang berisi beberapa baju dan dengan travel bag yang sama ia meninggalkan rumahku.
Aku memandang sekeliling rumahku, ada yang mengiris ketika aku melihat foto pernikahan kami. Asesoris interior yang Cecile pilihkan membuat beberapa sudut rumahku menjadi nyaman dan cantik, hal yang tidak mungkin bisa aku lakukan sendiri. Terlalu banyak yang telah Cecile lakukan untukku dan ia melakukannya sendirian. Menyadari ini aku langsung berlari ke teras, aku ingin mencegah kepergian Cecile. Kulihat taksi pesanan Cecile sudah datang, Cecil melangkah tanpa menoleh ke belakang. Saat aku sampai ke gerbang, taksi itu sudah menghilang di tikungan jalan. Aku kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Penyesalanku tidak akan cukup untuk menebus kesalahanku ini. Karena pada kenyatannya, aku yang tak bisa hidup tanpa Cecile. [Vivi Tan / Jakarta] Sumber: Kisah-Nyata
Pernikahan kami baru berjalan setengah tahun dan aku sangat beruntung menikahi Cecile, demikian ia biasa kusapa. Ia melakukan semua pekerjan rumah tangga dengan baik, kadang tangannya trampil membetulkan perabot yang rusak, mengerti soal listrik, menguasai semua kendaraan bermotor, kecuali pesawat dan mobil lapis baja barangkali. Di luar itu, Cecile juga bekerja. Sungguh, kehidupanku sangat terbantu dengan kehadiran Cecile.
"Cecile, siapin pakaian dong!"
"Mau kemana kan hari ini Sabtu?" sahutnya sembari menggoreng sesuatu di dapur.
"Ketemu temen, dah janji semalam"
"Kok aku gak dikasih tahu?"
"Urusannya apa? Temenku bukan temenmu, lagian kamu gak kenal sama yang ini," aku sedikit jengkel, tumben Cecile banyak bertanya. "O!gitu?" jawabnya pendek.
Selesai mandi dan berpakaian, aku bersiap akan pergi. Namun Cecile menahanku. "Cicipi dulu ini, aku sengaja bangun pagi memasak ini untukmu." Sepiring bakwan jagung hangat kegemaranku. "Gak ah, nanti juga aku makan sama temenku. Makan enak, di restoran lagi." Kulihat kekecewaan di mata Cecile dan wajahnya berubah dingin, meski ia berusaha tersenyum. Wajah itu sering kutemukan kalau Cecile sedang tak menyukai sesuatu, tapi ia tak mau atau mungkin tak berani mengatakannya.
Sampai di sini aku berhak bangga, meski Cecile mandiri, pintar dan disegani di kantornya, tapi ia tunduk padaku. Cecile tak pernah mempermasalahkan kalau aku pulang malam, malah ia sering mengingatkan untuk membawa kunci gerbang dan kunci rumah, agar tak perlu membangunkannya kalau aku pulang kemalaman. Bahkan ia sering menjemputku ke cafe kalau aku merasa tak sanggup pulang sendiri karena terlalu banyak minum. Ia tak pernah bertanya atau melarang.
Beberapa temanku sempat sirik denganku. Saat mereka harus berbohong dengan istri ketika ingin sekedar nongkrong di cafe, aku bisa berkata jujur pada Cecile kemana aku akan pergi dan bisa memintanya menjemputku pulang. Dengan pongah kukatakan pada teman-temanku, bahwa Cecile tak akan pernah marah, karena ia tak bisa hidup tanpaku.
Hari Minggu, seperti biasa aku bangun tengah hari dengan segelas teh manis telah tersedia. Aku keluar kamar dan mendapati meja makan sudah tertata rapi. Tapi rumah sangat sepi, aku berkeliling rumah dan kudapati Cecile tengah duduk di taman belakang sembari membaca buku.
"Kok baca buku sih?"
"Lantas maumu aku ngapain? Semua kan sudah selesai," jawabnya tanpa beralih dari buku bacaannya yang lumayan tebal.
"Ya!terserah ngapain, semirin sepatuku atau cuci mobil?" jawabku sekenanya. Cecile menurunkan bukunya, membuka kacamatanya,menatapku tajam. "Aku istrimu, bukan pembantu atau supirmu," aku kaget mendengar jawaban yang di luar perkiraanku.
"Lantas maumu apa? Kok sewot?"
"Kita sama-sama kerja dari Senin sampai Jumat, Sabtu aku masih disibukkan dengan urusan rumah dan urusanmu, apa berlebihan aku minta sehari dari hari liburku untuk membaca buku kesayanganku?" Aku masih ternganga, Cecile sudah melanjutkan kata-katanya, "Apa seperti ini juga kehidupan pernikahanmu sebelumnya? Seperti ini juga perlakuanmu terhadap mantan istrimu? Menganggap mereka tak lebih dari mahluk rumahan yang gak tau apa-apa? Buat apa ocehanmu di hadapan teman-temanmu yang mengatakan bahwa istri adalah partner hidup dan suami harus menghargai itu? Aku baru tahu ternyata kamu hanya pintar teori tapi nol untuk praktek."
Kelelakianku bergejolak. Cecile memang tidak bicara membabi buta, susunan katanya teratur rapi, nada suaranya juga tak meninggi, tapi datar dan dingin. Namun ini yang membuatku emosi. "Kamu menyesali pernikahan kita?" tanyaku lantang.
"Sama sekali tidak, tapi aku ingin tanya apa arti pernikahan menurutmu? Apa arti sebuah rumah tangga dari sudut pandangmu?" Aku sama sekali tidak mempersiapkan jawaban untuk dua pertanyaan Cecile tersebut. Aku hanya diam, bahkan menatap matanyapun aku jadi tidak berani.
"Oke, kalau tak mau jawab, aku yang jawab, tapi dari sudut pandangku. Pernikahan itu adalah penyatuan dua pribadi yang berbeda untuk berbagi dalam segala hal dan semua dilakukan bersama. Rumah tangga dengan unsur suami dan istri yang memiliki tanggung jawab masing-masing untuk mempertahankan keutuhan rumah tangga dan membuat kehidupan rumah tangga tersebut nyaman dan indah. Ada penyangkalan?" Aku masih diam, berusaha mencari celah untuk mematahkan pendapat Cecile, sialnya tak kutemukan apapun.
"Sekarang untuk pernikahan kita, apakah kita sudah cukup berbagi? Apakah kita pernah melakukan sesuatu bersama? Nonsen kan? Semua urusan rumah tangga aku yang kerjain, sampai bayar tagihan kartu kreditmu masih aku yang kerjain, padahal di sebelah kantormu ada bank. Ketika kita kesulitan uang, kamu sama sekali tak mau tahu, karena menurutmu gaji yang kamu berikan tiap bulan sudah lebih dari cukup. Asal kamu tahu, gajimu langsung habis untuk bayar tagihanmu, hutangmu pada beberapa temanmu dan tagihan listrik serta PAM. Aku yang harus banting tulang untuk menutupi kekurangan biaya hidup kita. Segitu kamu masih menghabiskan uang untuk minum-minum di cafe dan pulang masih minta dijemput."
Aku benar-benar kehabisan kata, Cecile belum juga mau berhenti, seakan seluruh isi kepalanya tumpah. "Lantas tanggung jawabmu di rumah tangga apa?" Aku sudah tak tahan, "Aku kan suamimu, aku yang membimbingmu!" Cecile tersenyum, tetap dingin, "Bimbingan macam apa? Selama setengah tahun menikah, belum pernah kamu mengajakku sholat berjamaah. Tadinya aku ingin mengajakmu, tapi kuurungkan, karena menurutku itu harus menjadi tanggung jawab kamu, suamiku. Setidaknya ada sesuatu yang bisa kubanggakan dari suamiku."
Aku sudah tak bisa menahan diri lagi. "Jadi begitu menurutmu? Kalau tak betah tinggal disini kamu bisa keluar sekarang juga, jangan pernah kembali lagi!" Aku tahu kalau aku sangat tolol saat itu, tapi jujur aku tak bisa menerima kebenaran dari kata-kata Cecile, aku terlalu sombong untuk mengakuinya. Perlahan dan tenang Cecile berdiri dari duduknya, "Terima kasih, minimal aku terbebas dari penjara yang cantik ini."
Cecile meninggalkan rumahku dengan membawa sebuah kardus besar beisi koleksi bukunya serta sebuah travel bag berisi beberapa bajunya. Cecile memang bukan tipe perempuan yang doyan belanja baju, aksesoris dan perhiasan, ia lebih memilih belanja buku. Ketika kami menikah, Cecile pindah ke rumahku ini dengan membawa sebuah travel bag yang berisi beberapa baju dan dengan travel bag yang sama ia meninggalkan rumahku.
Aku memandang sekeliling rumahku, ada yang mengiris ketika aku melihat foto pernikahan kami. Asesoris interior yang Cecile pilihkan membuat beberapa sudut rumahku menjadi nyaman dan cantik, hal yang tidak mungkin bisa aku lakukan sendiri. Terlalu banyak yang telah Cecile lakukan untukku dan ia melakukannya sendirian. Menyadari ini aku langsung berlari ke teras, aku ingin mencegah kepergian Cecile. Kulihat taksi pesanan Cecile sudah datang, Cecil melangkah tanpa menoleh ke belakang. Saat aku sampai ke gerbang, taksi itu sudah menghilang di tikungan jalan. Aku kehilangan sesuatu yang sangat berharga. Penyesalanku tidak akan cukup untuk menebus kesalahanku ini. Karena pada kenyatannya, aku yang tak bisa hidup tanpa Cecile. [Vivi Tan / Jakarta] Sumber: Kisah-Nyata
Berita | Internasional | Budaya | Kehidupan | Kesehatan | Iptek | Kisah
PESAN KHUSUS
Teman-teman juga bisa mengirim berita kegiatan/kejadian yang berhubungan dengan Tionghoa di kota tempat tinggal Anda atau artikel-artikel bermanfaat lainnya ke alamat email ini.
PESAN KHUSUS
Teman-teman juga bisa mengirim berita kegiatan/kejadian yang berhubungan dengan Tionghoa di kota tempat tinggal Anda atau artikel-artikel bermanfaat lainnya ke alamat email ini.