Jakarta kini hanya memiliki sekitar 2,2% stok air bersih. Krisis air bersih di Jakarta memang bukan barang baru. Sejarawan Susan Blackburn dalam buku Jakarta: A History menyebut ini sebagai persoalan terbesar dan tertua yang pernah ada.
Persoalan mengenai air bersih mulai terjadi sejak 1720-an. Bermula dari kebijakan Gubernur Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen yang membangun kanal-kanal yang bersumber dari air Kali Ciliwung di Batavia lama. Tujuannya sebagai alur transportasi pelayaran dan pemasok air bagi penduduk kota maupun kebun-kebun tebu.
Coen (1619-1623, lalu 1627-1629) pada mulanya adalah saudagar yang berbakat jadi panglima perang. Bukan ahli hidrolika atau ahli tata kota. Ia lalu membangun Jakarta dengan mengacu pada kota kelahirannya, yaitu Hoorn; kota pelabuhan di utara Belanda.
Akibat kebijakan-kebijakan Coen, isu kekurangan air bermunculan karena beban hidrolis yang demikian berat tidak terpikul lagi oleh Kali Ciliwung dan Kota Batavia. Terutama pada musim kemarau. Krisis air bersih terjadi dan dirasakan oleh segala golongan masyarakat.
Puncaknya terjadi pada akhir abad ke-18, terjadi perpindahan penduduk dan pusat pemerintahan dari Oud Batavia (Batavia lama) ke Nieuw Batavia yang berada di sekitar Gambir. Mulai sejak itu, Ciliwung tak lagi dikenal sebagai "la plus belle eau et la meilleure qui soit au monde", atau airnya yang paling bersih dan baik sedunia sebagaimana ditulis Jean-Baptiste Tavernier seratus tahun sebelumnya.
Yang terjadi kini, air bersih kembali mahal di Jakarta, terutama Pademangan. Hal ini karena kontrak 25 tahun PAM Jaya dengan swasta sejak 1997 berakhir. Aset PAM bekerja sama dengan operator swasta turun sepersekian persen (pada 1997, Rp 1,49 triliun, kini Rp 204,46 miliar). Karena itu, sejak zaman Belanda, air bersih di Jakarta masih juga dan bisa jadi akan selalu mahal. [Lily Ng / Padang]