Kehidupan adalah misteri. Kita tak kan pernah tahu apa yang ada di baliknya sampai kita mengalaminya sendiri, minimal melihat apa yang telah terjadi di hadapan kita. Demikian juga sebuah pernikahan. Tak seorangpun bisa mengetahui apa yang akan dihadapi sesaat setelah memasuki kehidupan pernikahan.
Namaku Indri (bukan nama sebenarnya), bungsu dari empat bersaudara. Aku mempunyai seorang kakak perempuan yang biasa kupanggil Mbak Anggi. Dari kami berlima, hanya Mbak Anggi yang mengenyam bangku kuliah. Ayah keburu bangkrut, sehingga tidak ada lagi dana untuk mengkuliahkan kami. Tapi Mbak Anggi cukup bertanggung jawab, dengan tabungan gajinya selama beberapa tahun, satu persatu ia membiayai kuliah kami. Saking perhatiannya ia pada keluarga, ia sampai melupakan urusan pribadinya sendiri. Hingga usianya 30 tahun, ia bahkan belum menikah.
Ayah dan ibu sangat ingin melihat Mbak Anggi berumah tangga, meski soal cucu, Mbak Sisca, kakak keduaku yang sudah menikah duluan punya sepasang putra putri. Aku tidak ingin Mbak Anggi tidak bertemu jodoh, tidak ada seorangpun dalam keluarga kami menginginkan itu. Semua ingin Mbak Anggi segera menikah. Toh, pekerjaan sudah baik, jabatan baik, lulusan sarjana pula.
Aku dan Mbak Anggi tinggal bersama. Kami mengontrak rumah di pinggiran Jakarta. Mbak Anggi kakak sulungku, jadi tinggal kami berdua yang belum menikah. Hebatnya Mbak Anggi tidak pernah merasa tersaingi kalau aku punya pacar, ia malah menyuruhku segera menikah. Padahal seluruh keluarga berharap Mbak Anggi yang berikutnya menikah, bukan aku.
Suatu hari Mbak Anggi datang dengan seorang lelaki. Agak aneh, setelah putus dengan pacarnya empat tahun yang lalu,Mbak Angggi tidak pernah lagi pacaran. Buang waktu, demikian Mbak Anggi selalu katakan kalau aku memintanya mencari pacar. Tapi kali ini, Mbak Anggi membawa lelaki yang dikatakannya sebagai calon suami. Meski kaget, aku bahagia mendengarnya.
Mas Andra, demikian sapaanku untuk calonnya Mbak Anggi. Dari sekian kali pertemuan, aku menyimpulkan kalau Mas Andra orang yang asyik. Baik cara bicara, bercanda bahkan cara berpikirnya. Mbak Anggi tidak butuh waktu lama menentukan kapan waktu pernikahan. Hanya berselang empat bulan setelah pertemuan pertamaku dengan Mas Andra, mereka menikah. Meski dari lubuk hati aku memendam ganjalan, bahwa ada sedikit ketidaksetujuan atas pernikahan mereka. Tapi mereka sudah menikah, dan keputusan itu sudah tak bisa diubah lagi. Semoga ini hanya perasaanku saja.
Kemudian aku ikut pindah ke rumah Mas Andra. Bulan-bulan pertama pernikahan kakakku, sering aku pergoki Mbak Anggi menangis diam-diam. Aku memutuskan tidak bertanya, karena biasanya Mbak Anggi sendiri yang akan bercerita jika perasaannya sudah tenang. Namun sampai bulan ketiga, Mbak Anggi tak pernah bercerita dan perubahan drastis mulai terjadi pada Mbak Anggi.
Semula Mbak Anggi adalah orang yang sangat optimis dalam hidup. Meski keadaan kami sangat memprihatikan, Mbak Anggi selalu membuat suasana tetap bahagia dan menyenangkan. Karena itu pula aku hampir sama sekali tidak pernah merasa susah, meski saat itu kami tidak punya uang sekalipun. Berbeda dengan apa yang kulihat saat ini. Mbak Anggi tampak demikian putus asa, bahkan tubuhnya menyusut drastis.
Berkali-kali aku mencoba bertanya, Mbak Anggi hanya menggeleng dan berusaha tersenyum di sela tetesan air matanya. "Ini urusan internal rumah tangga, nduk," jawabnya. "duk" adalah panggilan sayang Mbak Anggi untukku. Kupeluk Mbak Anggi yang makin terisak. Aku ingin membantu, tapi Mbak Anggi tidak mengijinkan.
Hingga Mbak Anggi membangunkanku suatu malam. Tanpa kuminta, meluncurlah cerita yang amat ingin kudengar darinya belakangan ini. Cerita yang kerap membuatnya menangis sendirian. Semua berawal dari Mas Andra. Mbak Anggi merasa bahwa apa yang telah dilakukannya selama ini tidak pernah mendapat respect dari Mas Andra. Mbak Anggi sadar bahwa Mas Andra tidak punya penghasilan lain selain gaji yang diterimanya tiap bulan, itupun sudah dipotong tagihan kartu kredit Mas Andra. Saat kritis, jika sudah tidak memiliki uang, bukan Mas Andra yang berupaya mencari tambahan uang, Mbak Anggilah yang dipaksa lebih keras bekerja. Sementara, di rumah Mbak Anggi masih harus direpotkan dengan urusan rumah tangga, masak, mencuci dan membereskan rumah. Mas Andra sendiri memilih tidur atau kongkow dengan teman-temannya.
Menurut Mbak Anggi, hal ini sudah sering diungkapkannya ke Mas Andra. Tapi jawaban Mas Andra kerap menyakitkan. "Itu kan resiko menikah, apalagi sambil kerja, jadi harus bisa bagi waktu dong", ini salah satu jawaban Mas Andra saat Mbak Anggi mulai memprotes ketidakseimbangan dalam rumah tangganya. Kalau ditanya soal tanggung jawab suami, Mas Andra akan bilang bahwa tanggung jawab suami mencari uang. Kalau tidak cukup, itu urusan istri untuk mencukupinya.
Suatu ketika aku memergoki "perang" terbuka antara Mbak Anggi dan Mas Andra. Bertepatan saat tangan Mas Andra melayang ke arah wajah Mbak Anggi. Tangan itu masih terpaku di udara saat Mas Andra melihatku, matanya merah menahan amarah. Aku tak kalah berangnya, kudekati Mbak Anggi yang terduduk di lantai. "Jangan pernah sekali-kali melukai kakakku, kalau memang sudah tidak suka, kembalikan Mbak Anggi secara baik-baik ke orang tua kami," tantangku. Mendengar ancamanku, Mas Andra segera pergi meninggalkan rumah. Pastinya nongkrong bersama teman-temannya.
Beberapa jam kemudian Mbak Anggi memintaku memanggil Mas Agus, kakak tertua Mas Andra yang rumahnya tidak jauh dari rumah kami. Mbak Anggi membeberkan semua yang dialaminya yang membuat Kak Sasti, istri Mas Agus menangis. Setelahnya, Mbak Anggi memintaku mengantarkannya ke rumah sakit. Di rumah sakit baru aku mengetahui kalau Mbak Anggi hampir keguguran, karena perlakukan kasar Mas Andra. Mas Agus dan Kak Sasti masih menemani, kepada mereka Mbak Anggi mengatakan bahwa ia tidak akan sanggup menjalani hidup bersama Mas Andra lagi. "Perlakuannya sudah mulai membahayakan saya dan janin yang saya kandung dan ini tak bisa ditolelir lagi," tegas Mbak Anggi. Pernyataan pendek itu menyadarkanku, bahwa inilah sikap asli Mbak Anggi. Tegas dan tidak bertele-tele.
Keesokannya, Mbak Anggi membereskan barang-barangnya. Ia juga memintaku membereskan barang-barangku. Aku tidak bertanya lagi. Saat Mas Andra datang setelah semalaman ia tidak pulang, ia tidak bertanya melihat barang-barang Mbak Anggi yang tertata rapi di koper dan kardus. "Semalam kamu hampir mencelakai janinku, untuk menghindari agar kejadian tersebut tak terulang lagi, aku memutuskan untuk berpisah darimu." Kaget aku mendengar pernyataan Mbak Anggi yang demikian dingin. Bertepatan dengan itu Mas Agus dan Kak Sasti datang, kami sekalian pamit. Sementara Mas Andra tidak peduli sama sekali, ia langsung masuk kamar dan tidur.
Selang dua bulan kemudian, Mas Andra datang ditemani Mas Agus dan Kak Sasti. Mas Andra meminta agar Mbak Anggi kembali ke rumah. Mbak Anggi menolak, "Butuh dua bulan untuk menyadari sebuah kesalahan yang amat fatal? Itu terlalu lama, mas. Satu-satunya hal yang aku butuhkan adalah azankan telinga anakku saat dia lahir nanti, setelahnya siapkan perceraian kita." Aku melihat wajah kaget milik Mas Andra. Ia tidak bisa menerima kata-kata Mbak Anggi, berulang kali ia meminta maaf.
Sembari mengelus perutnya yang mulai membesar, Mbak Anggi tersenyum dingin. "Maaf itu sudah aku berikan saat pertama kali mas berlaku kasar terhadapku. Aku tidak cukup bodoh untuk melanjutkan hubungan yang sia-sia ini. Kenapa? Mas tidak sanggup hidup sendiri atau tidak sanggup memenuhi kebutuhan hidup mas dengan gaji mas sendiri? Mas merasa kehilangan istri atau kehilangan sumber dana?" Mas Andra hanya tertunduk, Mas Agus yang mengambil alih. Ia berjanji akan mengurus semua, termasuk perceraian Mbak Anggi dan Mas Andra nantinya. Mas Andra ingin protes, tapi dipotong Mas Agus, "Gak usah protes, aku malu punya adik sepertimu."
Kehidupan kami kemudian amat membahagiakan. Mbak Anggi memutuskan tidak menikah lagi dan ia tidak bermasalah dengan status janda seorang putri. Meski Mas Andra berkali-kali datang untuk menjenguk putrinya dan selalu meminta Mbak Anggi rujuk kembali, permohonan tersebut tak pernah terkabulkan. "Kamu lebih asyik jadi teman ketimbang suami," adalah kalimat pamungkas untuk menjegal Mas Andra. [Vivi Tan / Jakarta] Sumber: Love & Sex
Namaku Indri (bukan nama sebenarnya), bungsu dari empat bersaudara. Aku mempunyai seorang kakak perempuan yang biasa kupanggil Mbak Anggi. Dari kami berlima, hanya Mbak Anggi yang mengenyam bangku kuliah. Ayah keburu bangkrut, sehingga tidak ada lagi dana untuk mengkuliahkan kami. Tapi Mbak Anggi cukup bertanggung jawab, dengan tabungan gajinya selama beberapa tahun, satu persatu ia membiayai kuliah kami. Saking perhatiannya ia pada keluarga, ia sampai melupakan urusan pribadinya sendiri. Hingga usianya 30 tahun, ia bahkan belum menikah.
Ayah dan ibu sangat ingin melihat Mbak Anggi berumah tangga, meski soal cucu, Mbak Sisca, kakak keduaku yang sudah menikah duluan punya sepasang putra putri. Aku tidak ingin Mbak Anggi tidak bertemu jodoh, tidak ada seorangpun dalam keluarga kami menginginkan itu. Semua ingin Mbak Anggi segera menikah. Toh, pekerjaan sudah baik, jabatan baik, lulusan sarjana pula.
Aku dan Mbak Anggi tinggal bersama. Kami mengontrak rumah di pinggiran Jakarta. Mbak Anggi kakak sulungku, jadi tinggal kami berdua yang belum menikah. Hebatnya Mbak Anggi tidak pernah merasa tersaingi kalau aku punya pacar, ia malah menyuruhku segera menikah. Padahal seluruh keluarga berharap Mbak Anggi yang berikutnya menikah, bukan aku.
Suatu hari Mbak Anggi datang dengan seorang lelaki. Agak aneh, setelah putus dengan pacarnya empat tahun yang lalu,Mbak Angggi tidak pernah lagi pacaran. Buang waktu, demikian Mbak Anggi selalu katakan kalau aku memintanya mencari pacar. Tapi kali ini, Mbak Anggi membawa lelaki yang dikatakannya sebagai calon suami. Meski kaget, aku bahagia mendengarnya.
Mas Andra, demikian sapaanku untuk calonnya Mbak Anggi. Dari sekian kali pertemuan, aku menyimpulkan kalau Mas Andra orang yang asyik. Baik cara bicara, bercanda bahkan cara berpikirnya. Mbak Anggi tidak butuh waktu lama menentukan kapan waktu pernikahan. Hanya berselang empat bulan setelah pertemuan pertamaku dengan Mas Andra, mereka menikah. Meski dari lubuk hati aku memendam ganjalan, bahwa ada sedikit ketidaksetujuan atas pernikahan mereka. Tapi mereka sudah menikah, dan keputusan itu sudah tak bisa diubah lagi. Semoga ini hanya perasaanku saja.
Kemudian aku ikut pindah ke rumah Mas Andra. Bulan-bulan pertama pernikahan kakakku, sering aku pergoki Mbak Anggi menangis diam-diam. Aku memutuskan tidak bertanya, karena biasanya Mbak Anggi sendiri yang akan bercerita jika perasaannya sudah tenang. Namun sampai bulan ketiga, Mbak Anggi tak pernah bercerita dan perubahan drastis mulai terjadi pada Mbak Anggi.
Semula Mbak Anggi adalah orang yang sangat optimis dalam hidup. Meski keadaan kami sangat memprihatikan, Mbak Anggi selalu membuat suasana tetap bahagia dan menyenangkan. Karena itu pula aku hampir sama sekali tidak pernah merasa susah, meski saat itu kami tidak punya uang sekalipun. Berbeda dengan apa yang kulihat saat ini. Mbak Anggi tampak demikian putus asa, bahkan tubuhnya menyusut drastis.
Berkali-kali aku mencoba bertanya, Mbak Anggi hanya menggeleng dan berusaha tersenyum di sela tetesan air matanya. "Ini urusan internal rumah tangga, nduk," jawabnya. "duk" adalah panggilan sayang Mbak Anggi untukku. Kupeluk Mbak Anggi yang makin terisak. Aku ingin membantu, tapi Mbak Anggi tidak mengijinkan.
Hingga Mbak Anggi membangunkanku suatu malam. Tanpa kuminta, meluncurlah cerita yang amat ingin kudengar darinya belakangan ini. Cerita yang kerap membuatnya menangis sendirian. Semua berawal dari Mas Andra. Mbak Anggi merasa bahwa apa yang telah dilakukannya selama ini tidak pernah mendapat respect dari Mas Andra. Mbak Anggi sadar bahwa Mas Andra tidak punya penghasilan lain selain gaji yang diterimanya tiap bulan, itupun sudah dipotong tagihan kartu kredit Mas Andra. Saat kritis, jika sudah tidak memiliki uang, bukan Mas Andra yang berupaya mencari tambahan uang, Mbak Anggilah yang dipaksa lebih keras bekerja. Sementara, di rumah Mbak Anggi masih harus direpotkan dengan urusan rumah tangga, masak, mencuci dan membereskan rumah. Mas Andra sendiri memilih tidur atau kongkow dengan teman-temannya.
Menurut Mbak Anggi, hal ini sudah sering diungkapkannya ke Mas Andra. Tapi jawaban Mas Andra kerap menyakitkan. "Itu kan resiko menikah, apalagi sambil kerja, jadi harus bisa bagi waktu dong", ini salah satu jawaban Mas Andra saat Mbak Anggi mulai memprotes ketidakseimbangan dalam rumah tangganya. Kalau ditanya soal tanggung jawab suami, Mas Andra akan bilang bahwa tanggung jawab suami mencari uang. Kalau tidak cukup, itu urusan istri untuk mencukupinya.
Suatu ketika aku memergoki "perang" terbuka antara Mbak Anggi dan Mas Andra. Bertepatan saat tangan Mas Andra melayang ke arah wajah Mbak Anggi. Tangan itu masih terpaku di udara saat Mas Andra melihatku, matanya merah menahan amarah. Aku tak kalah berangnya, kudekati Mbak Anggi yang terduduk di lantai. "Jangan pernah sekali-kali melukai kakakku, kalau memang sudah tidak suka, kembalikan Mbak Anggi secara baik-baik ke orang tua kami," tantangku. Mendengar ancamanku, Mas Andra segera pergi meninggalkan rumah. Pastinya nongkrong bersama teman-temannya.
Beberapa jam kemudian Mbak Anggi memintaku memanggil Mas Agus, kakak tertua Mas Andra yang rumahnya tidak jauh dari rumah kami. Mbak Anggi membeberkan semua yang dialaminya yang membuat Kak Sasti, istri Mas Agus menangis. Setelahnya, Mbak Anggi memintaku mengantarkannya ke rumah sakit. Di rumah sakit baru aku mengetahui kalau Mbak Anggi hampir keguguran, karena perlakukan kasar Mas Andra. Mas Agus dan Kak Sasti masih menemani, kepada mereka Mbak Anggi mengatakan bahwa ia tidak akan sanggup menjalani hidup bersama Mas Andra lagi. "Perlakuannya sudah mulai membahayakan saya dan janin yang saya kandung dan ini tak bisa ditolelir lagi," tegas Mbak Anggi. Pernyataan pendek itu menyadarkanku, bahwa inilah sikap asli Mbak Anggi. Tegas dan tidak bertele-tele.
Keesokannya, Mbak Anggi membereskan barang-barangnya. Ia juga memintaku membereskan barang-barangku. Aku tidak bertanya lagi. Saat Mas Andra datang setelah semalaman ia tidak pulang, ia tidak bertanya melihat barang-barang Mbak Anggi yang tertata rapi di koper dan kardus. "Semalam kamu hampir mencelakai janinku, untuk menghindari agar kejadian tersebut tak terulang lagi, aku memutuskan untuk berpisah darimu." Kaget aku mendengar pernyataan Mbak Anggi yang demikian dingin. Bertepatan dengan itu Mas Agus dan Kak Sasti datang, kami sekalian pamit. Sementara Mas Andra tidak peduli sama sekali, ia langsung masuk kamar dan tidur.
Selang dua bulan kemudian, Mas Andra datang ditemani Mas Agus dan Kak Sasti. Mas Andra meminta agar Mbak Anggi kembali ke rumah. Mbak Anggi menolak, "Butuh dua bulan untuk menyadari sebuah kesalahan yang amat fatal? Itu terlalu lama, mas. Satu-satunya hal yang aku butuhkan adalah azankan telinga anakku saat dia lahir nanti, setelahnya siapkan perceraian kita." Aku melihat wajah kaget milik Mas Andra. Ia tidak bisa menerima kata-kata Mbak Anggi, berulang kali ia meminta maaf.
Sembari mengelus perutnya yang mulai membesar, Mbak Anggi tersenyum dingin. "Maaf itu sudah aku berikan saat pertama kali mas berlaku kasar terhadapku. Aku tidak cukup bodoh untuk melanjutkan hubungan yang sia-sia ini. Kenapa? Mas tidak sanggup hidup sendiri atau tidak sanggup memenuhi kebutuhan hidup mas dengan gaji mas sendiri? Mas merasa kehilangan istri atau kehilangan sumber dana?" Mas Andra hanya tertunduk, Mas Agus yang mengambil alih. Ia berjanji akan mengurus semua, termasuk perceraian Mbak Anggi dan Mas Andra nantinya. Mas Andra ingin protes, tapi dipotong Mas Agus, "Gak usah protes, aku malu punya adik sepertimu."
Kehidupan kami kemudian amat membahagiakan. Mbak Anggi memutuskan tidak menikah lagi dan ia tidak bermasalah dengan status janda seorang putri. Meski Mas Andra berkali-kali datang untuk menjenguk putrinya dan selalu meminta Mbak Anggi rujuk kembali, permohonan tersebut tak pernah terkabulkan. "Kamu lebih asyik jadi teman ketimbang suami," adalah kalimat pamungkas untuk menjegal Mas Andra. [Vivi Tan / Jakarta] Sumber: Love & Sex
Berita | Internasional | Budaya | Kehidupan | Kesehatan | Iptek | Kisah
PESAN KHUSUS
Ingat ! Anda juga bisa mengirim berita kegiatan/kejadian yang berhubungan dengan Tionghoa tempat tinggal anda atau artikel-artikel bermanfaat ke alamat email: tionghoanews@yahoo.co.id
PESAN KHUSUS
Ingat ! Anda juga bisa mengirim berita kegiatan/kejadian yang berhubungan dengan Tionghoa tempat tinggal anda atau artikel-artikel bermanfaat ke alamat email: tionghoanews@yahoo.co.id