Sampai saat itu aku dan suamiku masih bisa bersabar dan mencoba melapangkan dadaku. "Bu, mungkin kita memang belum dipercaya untuk memiliki momongan, kita harus bisa bersabar dan tawakal, tapi kita tak boleh berhenti untuk berusaha," ujar suamiku dengan mata yang berkaca-kaca. Aku memang hampir putus asa menghadapi cobaan ini. Dan aku semakin merasa bersalah manakala suamiku selalu menghiburku dengan kata-kata yang menyuruhku untuk bersabar.
Memasuki tahun kelima, keputusasaan semakin menggayut di lubuk hatiku. Aku malah sempat menyarankan agar suamiku mencari perempuan lain, mungkin dengan begitu ia bisa memiliki anak yang selama ini ia idam-idamkan. Namun suamiku menolak dengan keras. "Bu, kamu itu ngomong apa, bapak nggak pernah kok punya rencana seperti itu, ibu yang sabar ya," begitulah suamiku selalu berucap.
Sungguh aku memang tak bisa menerima kenyataan ini. Satu tahun kemudian aku mencoba mengakhiri semua penderitaan ini dengan meminum racun. Tapi usaha ini gagal karena suamiku memergoki aku yang tengah sekarat. Hal itu akhirnya memicu timbulnya stres pada suamiku, ia jadi sering melamun dan terkadang menangis sendiri. Terus terang kami berdua sangat bingung menghadapi semua ini.
Di tengah kegundahan itu, kakakku kembali menyarankan agar kami memeriksakan kesehatan alat reproduksi kami. Sebenarnya saran itu pernah dilontarkan beberapa tahun belakangan, namun saran itu aku tolak. Masalahnya aku tak siap seandainya hasil pemeriksaan mengatakan salah satu dari kami ternyata mandul. Baru belakangan ini aku menyadari, mungkin jika sudah jelas salah satu dari kami ternyata mandul, kami tak lagi terus berharap. Tapi ternyata kami berdua tak mandul, semua hasil pemeriksaan menyatakan baik-baik saja.
Lega dan sedih megetahui keadaan kami tersebut, lega karena kami masih punya harapan, sedih karena kami merasa belum mendapatkan kepercayaan dari Yang Maha Kuasa untuk memiliki anak. Dan sekali lagi kakakku memberi saran agar aku mengambil anak asuh. Katanya hal itu bisa memancing agar aku bisa dikaruniai anak. Kebetulan kakakku yang pertama saat itu baru saja melahirkan anak ke tujuhnya. Karena keadaan ekonominya yang tak memungkinkan, kakakku dengan sukarela memberikan bayinya untuk diasuh.
Sungguh begitu menyenangkan memiliki seorang anak yang hadir di tengah-tengah kehidupan kami. Tapi kami masih saja diliputi perasaan khawatir, karena walau bagaimanapun anak itu bukan anak kandungku dan suatu saat pasti akan kembali pada orang tua kandungnya. Aku khawatir aku tak bisa melepaskannya. Dan kekhawatiran itu akhirnya menjadi kenyataan.
Aku begitu terpukul ketika anak angkatku harus kembali ke pangkuan orang tua kandungnya, karena mereka harus berpindah tempat tinggal. Tak terkira rasa sedih ini saat anak angkatku merapikan semua barang yang ia miliki yang ada dalam kamarnya. Berlinang air mataku saat ia menatapku dengan pandangan sendu. "Novi kamu jangan nakal ya, sekali-kali kamu kesini ya jenguk mama," kataku sambil memeluknya dengan erat.
Tiga kali sudah kami mengasuh anak-anak saudara kami, tiga kali itu pula aku merasa terpukul dan sedih saat anak-anak itu melambaikan tangannya padaku sebagai tanda perpisahan. Aku juga sering memandangi kamar di mana mereka pernah tinggal. Di kamar itu suara tangis mereka, tawa mereka dan tingkah mereka yang lucu seolah masih terdengar dan tergambar jelas di telinga dan mataku. "Ya Tuhan, kapan engkau bisa memberikan aku anak yang lahir dari rahimku sendiri," desahku
Dua puluh tahun lamanya kami menunggu, dua puluh tahun lamanya kami bersabar dengan segala rasa sedih, gundah dan kecewa. Sampai pada suatu saat aku bermimpi didatangi seorang pria tua dengan jubah putih dan memberikan sesuatu yang aku tidak mengerti. Satu bulan sejak mimpi itu, aku mendadak merasakan hal aneh dengan perasaanku, aku ingin memakan sesuatu yang sebelumnya benar-benar tak aku sukai. "Jangan-jangan kamu hamil, bu," kata suamiku spontan.
Setelah menanyakan ke beberapa kerabat, aku disarankan untuk memeriksa keadaanku pada bidan. Dengan perasaan yang tak karuan kami bergegas mendatangi bidan dan hasilnya positif. "Aku hamil pak, aku hamil," teriakku pada saat itu dengan tangis haru. Setelah dua puluh tahun menanti, di usia kami yang mendekati kepala empat akhirnya Tuhan memberikan apa yang kami inginkan. Dan semoga kelak kami tak mengalami kesulitan dalam proses kelahiran bayi kami. Amiiin. [Vivi Tan / Jakarta] Sumber: Hidupku
--
Berita | Internasional | Budaya | Kehidupan | Kesehatan | Iptek | Kisah | Kontak
PESAN DARI ADMIN
Mari kita dukung artikel-artikel kiriman dari teman-teman Tionghoa dengan cara klik "SUKA", kemudian teruskan ke dalam jejaring sosial anda "Facebook, Twitter, Google+, Dll". Ingat ! Anda juga bisa mengirim artikel ke dalam situs blog ini melalui email ini.