Nenek yang sabar itu, bukan siapa-siapaku. Dialah yang kini menampungku bersama anakku entah sampai kapan. Di sinilah aku hidup, menemukan kasih sayang yang sejati. Padahal..
"Melan… sudah sore Nak, Bagus dimandikan dulu ya… baru kamu mandi! Biar seger!. Itiknya biar nenek yang masukkan ke kandang", kata nenek membuyarkan lamunanku.
Yah, namaku Melani keturunan Tionghoa. Anak tunggal dari papa dan mama yang sibuk menggeluti perusahaannya. Aku kesepian di tengah segala kemewahan duniawi di rumahku sendiri. Mama dan papa terasa asing bagiku. Hanya bi Parni yang selalu melayani kebutuhanku sehari-hari. Karena pagi buta kedua orangtuaku harus segera berangkat mengurusi ini dan itu ke kota lain. Pulang-pulang aku sudah dalam keadaan terlelap. Hari Sabtu dan Minggu aku baru bisa bertemu mereka, itupun kalau mereka tidak ada acara mendadak.
Aku ingin mencari sesuatu yang menyenangkan di luar sana, aku banyak bergaul dengan teman-teman, baik itu teman sekolah, organisasi, ataupun teman hura-hura. Bersembahyang atau renungan malam, itulah alasan yang tepat apabila aku tepergok papa dan mama jika pulang kemalaman. Mereka percaya begitu saja dan membiarkan aku segera menghempaskan badan ke pembaringan sambil membayangkan segala keindahan yang telah kureguk seharian. Aku tak peduli mama papa, begitu juga mereka tak peduli dengan aku. Yang penting mereka telah mencukupiku dengan materi untuk kebutuhan lahiriahku.
"Cup..cup..sayang..! mama sudah selesai mandi nih..kamu haus ya… aduh kacihan… anak mama", hiburku pada sang buah hati sambil menyusuinya. Sentuhan kulitku, dekapan hangatku, dan mengalirnya air susuku di dalam tubuhnya membuat ikatan batin kami menguat. Tangisan, rengekan, bahkan yang mungkin dirasakan sakit seakan sirna dan terobati hanya dengan dekapan lembut dan belaian kasih sayangku padanya.
"Apa nggak dicoba dikasih pisang Melan, biar cepat kenyang dan gemuk", kata nenek mencoba membantuku. Maklum orang tua, tidak banyak tahu tentang perkembangan ilmu kesehatan.
"Nggak Nek, kata dokter, Bagus boleh dikasih makan nanti kalau umur 6 bulan. Asi sudah mencukupi kok Nek, biar aku saja yang banyak makan, biar Nenek nggak kebagian nasi nanti..", selorohku pada nenek.
"Biarlah, nggak apa-apa yang penting kamu dan Bagus harus kenyang dan sehat. Lihat nih… cucuku mulai gemuk aduh pipinya menggemaskan!,sayang cucu nenek sudah mendahuluiku karena demam tinggi, seminggu kemudian ibunya menyusul dengan penyakit yang sama. Sekarang ada kalian, ada teman untuk sisa hidup nenek", kata nenek sambil mengusap air matanya.
"Iya Nek, di sini aku merepotkan Nenek, aku akan membantu pekerjaan Nenek sebisa mungkin sampai entah kapan hubunganku dengan kedua orangtuaku membaik lagi",sambil aku berjanji dalam hati, kelak jika kehidupanku membaik, Nenek ini akan kubawa dimanapun aku tinggal.
Sementara ini mama dan papa tak menghendakiku. Mereka malu atas hasil yang kubawa. Hasil janin dari hubungan terlarang dengan pemuda keturunan Jawa. Dengan sangat marah dan kecewa, mereka menikahkan kami di sebuah hotel berbintang di kotaku. Saat itu usia kehamilanku sudah 4 bulan, lumayan kelihatan oleh para kerabat dan undangan yang hadir. Aku tak menampik dengan pergunjingan mereka tentang ulahku karena memang ini resiko yang harus kutanggung bersama suami dan anakku kelak.
Perbedaan etnis dan ekonomi yang mencolok membuat mama dan papa tak mau mengakui suamiku sebagai menantu. Mereka menghendaki menantu yang sepadan, konglomerat yang tidak membuat mereka malu di hadapan teman-teman pengusaha. Apalagi aku putri satu-satunya yang kelak mewarisi perusahaan dan anak-anak perusahaan di kota lain.
Saat aku akan mengikuti suamiku yang hendak merantau mencari pekerjaan ke daerah lain, mama dan papa menolak mentah-mentah, mereka mengancam akan membunuh suamiku. Mereka tak percaya dengan penghasilan yang akan diperoleh suamiku. Yang pasti tak akan mencukupi segala keperluanku dan anakku, pikir mereka.
Demikian seterusnya aku selalu dimarahi jika menyebut nama suamiku, padahal kami saling mencintai. Aku haus kasih sayang seorang suami yang menemani jika aku ke dokter, mengelus perutku jika sikecil menendang-nendang dari dalam, membeli perbekalan untuk persalinan, bahkan jalan-jalan di pagi hari. Itu semua tak kurasakan sampai akhirnya si mungil lahir dari rahimku. Mama yang mengurusi ini dan itu, sementara kedatangan suamiku tetap tak diharapkan. Sedangkan suamiku sendiri takut dan minder dengan sikap kedua orangtuaku.
Anakku yang diberi nama Antonius dikuasai mama, aku hanya diperlukan jika hendak mennyusui saja. Terpaksa mama mengurangi kesibukannya dengan mengambil asisten. Mama lebih mencurahkan perhatiannya pada cucunya. Ternyata kehadiran anakku cukup mewarnai kehidupan kami. Mama betah di rumah, sore hari papa juga cepat-cepat pulang demi menggendong cucunya. Lengkingan tangisnya bahkan dirindukan jika dalam beberapa jam tak terdengar. Anakku, ternyata membuat seisi rumah menjadi bahagia.
Yah kebahagiaan mereka tak sepenuhnya kebahagiaanku. Mereka bisa menerima cucunya. tapi bersikukuh tak mau menerima menantunya yang seorang Jawa miskin. Aku kian kalut memikirkannya. Kami hanya bisa berhubungan lewat telepon. Kami saling merindukan, dia ingin sekali menjenguk putranya, tapi selalu dihadang oleh satpam. Aku tak bisa berbuat apa-apa.
Aku terus menanyakan statusku pada mama dan papa, aku baru menikah disaksikan sekian banyak tamu undangan dan sekarang punya anak. Sekarang aku harus sendiri tanpa suami sejak resepsi pernikahan digelar.
"Si Miskin itu tetap nggak bisa masuk dalam keluarga ini Mey, kamu harus melupakannya. Kamu kena guna-guna Mey, dia itu melarat dia cari akal agar bisa menguasai harta kita", prasangka papa saat itu. Tak kalah sengitnya akupun berusaha menjelaskan bahwa kami saling mencintai, dia akan berusaha mencari pekerjaan. Tapi papa sinis dan bergeming pada pendiriannya. Aku terkatung-katung dalam ketidakpastian ini. Aku stress berat, hingga malas jika disuruh menyusui anakku.
Usai selamatan satu bulan anakku, mama dan papa ada undangan pernikahan sepupuku di Bogor. Dengan pesawat, mereka akan cepat sampai. Masalahnya, acara itu malam Minggu, sehingga mereka harus menginap di hotel. Aku menolak ikut walau dipaksa dengan alasan si kecil belum kuat untuk perjalanan jauh. Mereka menyerah.
Kesempatan baik, sepulang mengantar mereka dari bandara, dengan alasan si kecil sakit aku minta Lek Paidi sopirku untuk mengantar ke rumah sakit. Kusuruh sopir pulang menunggu teleponku di rumah jika aku minta sesuatu. Kasihan, terpaksa aku membohongi sopir yang setia mengantar kemanapun aku pergi.
Kutelepon suamiku di rantauan, di luar dugaanku ternyata suamiku pengecut. Dia tak berani ambil resiko jika membawaku lari. Seakan tak punya tulang, aku lemas sambil menggendong si kecil aku masuk sebuah taksi di depan rumah sakit. Kutunjukkan jari arah Malang, sang sopir pun pegang kendali dengan hati-hati. Jalan berliku, naik turun sempat membuatku hendak mabuk darat. Berhubung anakku menunjukkan gejala hendak rewel, aku minta berhenti di rumah dinas seorang dokter di tepi jalan. Kubayar, taksi segera melesat dari pandanganku.
"Nggak apa-apa, cuma kepayahan saja. Sesampai di rumah seka dengan air hangat dan ditidurkan, jangan lupa asinya ya…", kata dokter itu. Kukasih ASI anakku di depan rumah dokter sambil berpikir kemana aku harus pergi. Pulang, tak mungkin aku akan dimarahi habis-habisan oleh papa. Ke keluarga di Malang, pasti nanti juga dikembalikan ke rumah. Sementara suamiku belum bisa menerimaku selama papa dan mama juga belum bisa menerimanya. Aku bingung, tak terasa aku sudah berjalan sekian jauh di tepi jalan pegunungan itu. Malam hari tak begitu banyak orang melalui jalan yang kulewati. Dengan pikiran kacau, anakku mulai menangis kencang menambah pikiranku tak karuan. Aku pun berdiri di tepi jurang itu, dan pikiranku kosong.
"Lho! Lho! Lho!," tiba-tiba nenek sang dewa penolong menyeretku ke belakang sampai anakku terlempar. Kami bertiga bergulingan di rerumputan. Aku dibawa pulang nenek, dimandikan bersama bayiku ,dirawat sampai beberapa hari baru aku bisa bercerita pada nenek tentang kisahku. Untuk melupakan kebencianku pada mama, nama bayiku kuganti dengan Bagus. Nama Jawa seperti bapaknya.
Aku sudah sehat, Bagus mulai tenang. Dengan perbekalan yang kian menipis aku harus bisa membantu nenek mengerjakan apapun, termasuk menggembala ternak peninggalan suaminya. Suatu saat aku harus bekerja…, pikirku.
"Kamu nggak kangen dengan keluargamu Melan?", tanya nenek.
"Nggak Nek, aku takut disuruh cerai, menurut Nenek gimana?",tanyaku.
"Ya..mungkin maksud orang tuamu baik, mereka nggak mau lihat kamu susah, kamu kan terbiasa manja. Semua keperluan tercukupi dan sekali berteriak, semuanya akan tersedia. Semua kan sudah terjadi, Melan. Seharusnya papa dan mamamu, ya… bisalah mencoba menerima. Daripada begini, apa mereka tidak bingung nyari kamu … Jangan-jangan nanti malah nenek yang diciduk polisi," kata nenek dengan nada khawatir.
"Emh… Nenek sudah bosan ya? Maaf ya, Nek … aku tahu, kami merepotkan Nenek. Aku belum bisa memutuskan, Nek. Aku bingung dan takut dengan kemarahan mama dan papaku. Mereka pasti akan mengambil Bagus dari pelukanku, Nek. Sementara keberadaanku pasti akan diabaikan. Mereka lebih menyintai Bagus dan bukan aku, Nek," dadaku mulai sesak untuk berkata.
"Aku juga mengkhawatirkan Nenek. Suatu saat aku yakin, pasti mereka akan menemukanku. Aku takut Nenek disalahkan, padahal kan aku yang bersalah. Justru Nenek yang membuatku bisa setegar ini. Aku juga merasa bersalah pada Lek Paidi, sopirku, Nek. Pasti Lek Paidi dimaki habis-habisan oleh mama papa. Mereka pasti menganggap telah lalai dan sembrono dalam bekerja. Lek Paidi dianggap menelantarkan kami. Aku tahu bagaimana kebiasaan mama dan papa yang suka memaki-maki para pegawai. Mereka jahat, Nek" kata-kataku nyerocos emosional.
"Bukan begitu, Melan. Nenek tidak keberatan kalian berada di sini. Justru nenek senang sekali. Nenek punya semangat hidup karena ada teman bercengkerama setiap hari. Nenek tidak ingin berpisah dengan kalian. Hidup nenek nanti akan hampa kembali. Namun cobalah berpikir. Selama ini, pasti orang tuamu kebingungan mencarimu. Nenek bisa membayangkan, jika hal ini terjadi pada nenek. Apakah kamu tidak mencoba untuk menghubungi orang tuamu dan mengabarkan bahwa keadaanmu baik-baik saja," saran nenek.
"Iya sih, Nek… yang pasti papa dan mama bingung mencariku. Cepat atau lambat aku pasti ditemukan. Beri aku waktu beberapa hari untuk berpikir ya, Nek. Aku akan mencari jalan untuk memecahkan persoalan ini," jawabku sambil termangu.
Ternyata sudah beberapa hari, aku masih dalam keraguan untuk mengabarkan keberadaanku bersama Bagus pada orang tuaku. Sebenarnya kami masih sehat-sehat saja, Ma… Pa…. Hanya saja, Kalian tak tahu batinku yang selalu menangis jika ingat suamiku. Ah… bisakah aku berkata seperti itu dihadapan mereka?
Yah, pasti keluargaku masih terus berupaya mencariku. Uang tak sedikit pasti mereka keluarkan untuk mencari keberadaan kami. Polisi, preman, saudara-saudara, pasti telah mereka kerahkan. Jika mereka bisa menemukanku, justru aku yang khawatir. Mereka akan tetap pada pendiriannya, bahwa aku harus bercerai dengan suamiku. Ah… haruskah aku [Luluk Nur Rogmawati / Yogyakarta]
--
Berita | Internasional | Budaya | Kehidupan | Kesehatan | Iptek | Kisah | Kontak
BACA DIBAWAH INI
Di bagian bawah artikel ini kedepan akan ditampikan iklan-iklan baris Maksimal 100 huruf dengan tarif Rp.5.000,- per artikel (Min.100 artikel) dan bagi yang berminat bisa kontak email: tionghoanews@yahoo.co.id