Ku amati kau sedang khusyu' dengan kalam-Nya di tengah taman kampus. Ku dekati kau karena ku kagum dengan bacaanmu yang indah. Ku sapa dirimu kau masih terlihat asyik. Ku tunggui dirimu sampai kau selesaikan tilawahmu. Kau tak heran saat melihat aku di depanmu padahal kau dan aku tak saling kenal.
Kau malah memelukku dan mengucapkan,"Ahlan wa sahlan, saudaraku". Ucapanmu saat itu masih begitu asing di telingaku. Untuk menghargaimu, aku hanya bisa mengulum senyum padamu.
Kau buka pembicaraan hingga aku merasa yakin kau adalah teman pertamaku di kampus ini. Melihatku dengan ransel padat isi dan tas jinjing berisi dokumen, kau tak ambil banyak bicara. Entah apa yang ada dalam pikiranmu saat itu. Kau ajak aku makan berdua denganmu. Kali itu kau lebih banyak bicara dibanding aku. Aku hanya menjawab seperlunya dan menjadi pendengar setiap ceritamu. Habis ceritamu, kau antarkan aku ke kosku. Ku akui aku mulai suka padamu.
Hari demi hari ku jalani hidupku di kampus. Tugas kuliah yang membludak membuatku lupa denganmu. Aku begitu suntuk dengan tugas-tugas kuliahku. Kau tiba-tiba meneleponku dan ternyata kau ada di depan kosku. Dengan kelihaianmu itu, kau bantu aku menaklukkan rumus fisika yang begitu rumit bagiku. Aku heran padamu. Kau tampak begitu cepat memahaminya.
Usai berkelumit dengan tugas kuliahku, kau ajak aku mengitari Kota Purwokerto dengan motor kesayanganmu. Kau tunjukkan padaku satu demi satu mulai dari tempat makan yang enak bagi kantong mahasiswa hingga tempat wisata jika sewaktu-waktu ku butuh refreshing. Tempat terakhir yang kau tunjukkan padaku adalah sebuah toko buku besar yang cukup terkenal. Kau tahu kalau aku suka sekali membaca.
Kawan…mengingatmu aku sangat malu. Kau tak lama kenal denganku tapi kau ingat jelas kesukaanku. Aku malah lupa kesukaanmu. Saat itu ku raba buku yang bagiku judulnya menarik buatku…Sang Pemimpi. Ku buka halaman pendahuluan dan beberapa isinya ku baca sekilas. "Hmm… aku suka buku ini. Sangat memotivasi," kataku saat itu.
Kau tersenyum padaku dan kau sambung dengan pertanyaan sekaligus tawaran yang membuatku semakin menyukaimu, "Kau suka ? Ambillah, nanti saya yang bayar." Sebetulnya aku malu padamu. Aku yang suka, aku malah membuatmu merogoh kantongmu.
Hingga kini buku yang kau belikan masih kusimpan dan tak bosan ku ulangi membacanya. Buku itu mengingatkanku dengan pesanmu padaku. Jadilah pelaku mimpi yang sesungguhnya jika kau benar-benar ingin menyaksikan mimpimu menjadi kenyataan.
Kau juga sampaikan padaku, akan begitu banyak pencuri mimpi berkeliaran di kehidupanku. Kau minta aku terus berpegang pada mimpi besarku agar aku tak mudah goyah. Kau juga membimbingku menuliskan mimpi-mimpiku di atas kertas. Kau menempelkan kertas impianku di dinding dimana aku bisa melihatnya saat ku bangun dan mulai tertidur.
Suatu hari kau datang dengan wajah yang ceria ke kosku. Kau bilang padaku kau akan pergi ke Negeri Sakura selama setahun. Kau dapati beasiswa double degree yang selama ini kau impikan. Antara sedih dan bahagia mendengar kabarmu saat itu. Kau bercerita bagaimana kau bisa memperolehnya. Belum banyak kau bercerita, ternyata waktu membuat kau dan aku harus terpisah begitu cepat. Tepat pukul 3 sore, kau diharuskan berangkat ke bandara Soekarno-Hatta.
Aku hanya bisa melepasmu dengan satu pelukan terhangatku. Kau bergegas keluar dari kosku dan meluncur dengan motormu. Ku bilang pada diriku sendiri. Kawan…kini aku hanya bisa melihat punggungmu dari kejauhan.
Tak lama dari kepergianmu, kulihat berita di TV yang mengabarkan kecelakaan pesawat yang kau tumpangi. Tak berpikir panjang, ku langsung meluncur ke Jakarta untuk mencarimu. Aku mengharapkanmu, kau dalam keadaan selamat. Setelah satu bulan pencarian, kau akhirnya ditemukan. Sobat, kali itu ku lihat paras wajahmu begitu menyejukkanku. Sayatan luka dan darah yang melumuri bajumu tak membuat sedikitpun wajahmu berkerut. Aku tersenyum padamu saat kau pegangi foto yang pernah kau cetak bersamaku.
Di sana juga ada seorang wajah kakak yang bagiku kini dia layaknya guru dan orang tua bagiku. Dia adalah pengingatku dalam pencarian jati diriku. Di foto itu kita bertiga sedang mengenakan baju kebesaran sarjana sambil memegang kertas impian antara kau dan aku. Sobat…kini aku harus melepaskan kepergianmu. Aku harus mengikhlaskan kau tak lagi bersamaku, mewujudkan impian kita berdua. Selamat jalan sobat…semoga kau memperoleh tempat terbaik di sisi-Nya.
Mengingat bersamamu 10 tahun yang lalu, membuatku harus menjatuhkan mutiara dari kelopak mataku yang dulu sempat kau larang. Kau tak begitu suka melihatku menangisi sesuatu yang telah pergi dari diri kita. Buatmu, hal itu membuat diri kita jatuh terlalu dalam dan sulit untuk bangkit.
Sobat … andai kau lihat saat ini. Dulu kau rintis musik nasyid agar nasyid bukan lagi hal tabu bagi mahasiswa muslim. Kini rintisan itu telah menjadi kebanggaan para mahasiswa muslim. Setiap tahunnya banyak generasi yang berkompetisi menelurkan karya nasyidnya bahkan tak sedikit yang kini menjadi tenar di tingkat nasional dan aku, atas bimbinganmu saban hari menjadikanku kini sebagai seorang komposer nasyid nasional. Jika menelisik sedikit memoriku bersamamu, membuat diriku tak sanggup mempercayainya. Dulu, aku tak bisa sama sekali menyanyikan lagu nasyid. Aku anak genk di SMA yang bisanya cuma nyanyian lagu barat yang tak karuan sumbang kalau ku nyanyikan.
Kau ajari aku perlahan. Kau demikian sabar saat aku masih belepotan mengucapkan huruf hijaiyah di dalam lagu nasyid yang kau ciptakan. Kau juga tak marah saat aku belum mampu membedakan antara not yang satu dengan lainnya. Kesabaranmu dalam membimbingku dan tekadmu yang besar, membuat kita berdua bisa tampil di ajang kompetisi nasyid yang cukup bergengsi di kalangan mahasiswa antar universitas di Indonesia.
Sobat … meskipun kau tak lagi bersamaku, aku merasakan bahwa semangatmu masih segar mengalir bersama darahku mewujudkan impian kita berdua. Kertas yang dulu berisikan tulisan yang rapi, kini telah berteman dengan coretan garis merah. Atas izin-Nya, impian kita telah terwujud satu per satu, sobat. Setiap kali aku berhasil mewujudkan impian kita, ku tak bisa bohong padamu bahwa aku sangat mencintaimu karena-Nya. Sobat … bagiku, kau bukan sekedar sahabat melainkan kau adalah diriku yang kini hidup bersamaku … merangkai mimpi bersama. [Eva Seoulinda Rosani / Bandung]