KISAH | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Sabtu, 26 Januari 2013

JALAN PANJANG SEBUAH KEBAHAGIAAN

Pertengkaran hebat itu masih menyisakan nyeri di hatiku. Masih kuingat tiga orang saudara suamiku menyeretku agar tak mendekati suamiku yang tengah murka sembari membanting barang-barang di dekatnya. Meski pertengkaran tersebut cepat usai, tapi rasa sakitnya terus mengikutiku.


Hampir tiga tahun menikah, tak juga aku dikaruniai momongan. Entah aku yang kecapekan atau suamiku sudah tak punya keinginan untuk memiliki anak lagi. Maklum aku menikahi duda sepasang putra putri. Namun begitu segala upaya untuk mendapatkan anak itu tetap aku jalani.

Hingga aku terjebak pada godaan yang tak sanggup kutolak. Restu tiba-tiba muncul dalam kehidupanku. Masa lalu yang sepenuhnya tak pernah dapat kulupakan ini mendadak mengisi hari-hariku. Ia ibarat oase, ia bagai fatamorgana yang indah, ia seperti keheningan yang menghangatkan, ia selaksa kerinduan yang tak terucap.

Pertemuan-pertemuan rahasia sering aku lakukan dengan Restu di sela-sela jam kantorku. Awalnya cuma sekedar pertemuan sembari lunch, kemudian pertemuan ringan saat coffee break sore hari, lantas pertemuan yang terjadwal saat dinner. Restu pintar mengambil kesempatan, entah karena ia memiliki secuil perasaan yang sama denganku atau ia hanya mengambil untung dari ketakbahagiaan pernikahanku. Whatever ! Tak ada bedanya bagiku.

Pertemuan rahasia yang berlanjut ke kencan short time di hotel itu membuahkan sesuatu. Aku hamil. Sebuah situasi yang membingungkan, namun sangat kuharapkan. Aku memang belum bercerai dengan suamiku, meski pernikahan kami jauh dari kesan hangat dan romantis, sementara Restu lajang mapan yang tak percaya perempuan tapi sangat memimpikan sebuah pernikahan ideal.

Restu tahu kalau aku mengandung janinnya dan berusaha membujukku agar segera bercerai dari suamiku. Sebuah tindakan mustahil yang bisa aku lakukan. Hendra, suamiku memang temperamental, aku tahu itu setelah beberapa kali "perang" dengannya. Tapi aku sudah bertekad, jika perceraian harus terjadi bukan sifatnya yang temperamental sebagai penyebabnya. Sebuah hal yang prinsip yang bisa mengalahkan rumah tanggaku, tuturku pada Restu suatu ketika.

Dan setelahnya Restu tak pernah mempertanyakan keadaan rumah tanggaku. Namun perlakuannya kian manis selama aku hamil, mengalahkan perlakuan suamiku sendiri. Ketika aku menginginkan sesuatu dan suamiku enggan mengabulkannya, aku langsung keluar sendiri sembari di jalan menelpon Restu minta ditemani. Meski setengah mengantuk, karena dia sudah tidur, tapi Restu dengan semangat menemaniku makan martabak Mesir.

Hendra banyak kehilangan momen indah semasa aku hamil. Hampir semuanya "direbut" Restu. Bahkan memilihkan aksesoris buat kamar bayiku dilakukan Restu dengan antusias, meski pilihannya kadang aneh. Untuk warna dinding misalnya, ia memaksakan warna hitam putih karena ia menyukai paduan kedua warna itu. Wajah Restu tampak bersinar ketika ia mengajukan beberapa pilihan aksesoris padaku.

"Kamu terlihat bersemangat Res?" tanyaku iseng.

Restu tersadar dan berbalik memandangku, mengusap pipiku dan berkata, "Aku belum pernah menikah, apalagi memiliki bayi, jadi wajar kan kalo aku sekarang semangat?" Aku tersentuh oleh ucapannya. "Apalagi ini untuk bayiku juga," imbuh Restu sembari berbisik.

Selama ini sikap suamiku biasa saja, bahkan amat sangat biasa. Menurut beberapa teman itu karena ia sudah punya pengalaman dengan dua anaknya terdahulu, jadi greget seorang ayah sudah lewat. Tapi ini kan kehamilan pertamaku, apakah ia tak bisa toleransikan hal itu. Menyadari ini kerap aku menagis sendiri di kamar. Betapa tak berharganya kehadiranku sebagai istrinya selama ini.

Aku kadang merasa sudah tak lagi mengenal suamiku. Hal kecil bisa memicu pertengkaran hebat. Dan ini sering mengagetkanku. Sempat terbersit penyesalan menjalani pernikahan ini. Tidak ada value added yang aku peroleh. Dulu seorang teman menganjurkan aku segera menikah agar bisa berbagi masalah dan problem dengan suami. Kenyataannya setelah menikah semua masalah dan problem itu malah tumpah ruah ke aku.

Hendra memang bekerja. Ia bergaji tiap bulan. Tapi ia tak pernah mau tahu apakah gaji yang dia berikan padaku mencukupi untuk kebutuhan bulanan kami. Baginya tugasnya sebagai kepala rumah tangga selesai saat ia memberikan gajinya padaku. Selebihnya ia tak mau tau. Sering aku yang terpaksa pontang panting mencari sambilan untuk menutupi kekurangan tersebut.

Dari sini aku merasa bahwa pernikahanku tidak memberiku nilai lebih. Kondisinya malah lebih buruk daripada ketika aku masih sendiri. Momongan yang aku harapkan juga tak kunjung tiba. Dalam urusan ranjang, Hendra lebih banyak "tak berdaya" ketimbang menjadi superior. Untuk masalah satu ini aku mendapat tambahan penyakit baru, migrain karena urusan biologis tak tuntas.

Kondisi ini kemudian "membenarkan" perselingkuhanku dengan Restu. Meski aku kadang merasa berdosa, tapi aku merasa punya hak untuk memperoleh kebahagiaan, meski kebahagiaan itu sejatinya terlarang. Dengan Restu aku merasa menemukan diriku kembali. Lelaki ini rela menjadi "keranjang sampahku", setia mendengarkan semua keluh kesahku.

Kadang aku merasa berdosa telah memborong hampir semua waktunya. Ketika aku mengutarakan hal tersebut, Restu menatapku tajam dengan mata yang berkaca-kaca. "Tak ada hal berharga di dunia ini yang bisa aku lakukan selain memenuhi apapun keinginanmu Sas! ucapnya perlahan. Ucapannya berarti luas bagiku, termasuk menyesali keputusanku menikahi Hendra, karena aku tak juga memperoleh kejelasan status hubunganku dengan Restu.

"Aku merasa berdosa dengan kondisimu ini, andai aku bisa membalikkan waktu, aku hanya ingin menjadi orang pertama yang melamarmu," ucapnya terbata. Ada penyesalan yang besar dari raut wajahnya.

Kian lama, hubunganku dengan Hendra kian meruncing. Puncaknya saat aku melahirkan, ia malah tak datang menemaniku. Restu ingin sekali datang, tapi ia tak mungkin datang sendiri. Akhirnya setengah memaksa ia datang bersama salah seorang teman sekantorku. Hari ketiga baru Hendra datang. Dengan segudang alasan yang menurutku dibuat-buat dan aku hanya menatapya kosong. 

Saat itu adalah hari terakhir aku di rumah sakit dan aku tengah membereskan pakaianku. Hendra datang dengan senyum kemenangan tanpa rasa berdosa tak menyaksikan kelahiran anaknya. Aku melihat kedatangannya, mengamati gerak geriknya hingga dia duduk manis sembari menatapku. Aku balas menatapnya, betapa aku membenci tatapannya saat itu. Tatapan yang menyiratkan over confidence yang berlebihan.

"Besok aku sudah boleh pulang dari rumah sakit," ucapku membuka pembicaraan.

"So?" jawabnya sembari mengangkat bahu.

"Sudah kamu bereskan administrasinya?" tanyaku kesal.
"Kenapa harus aku? Kan kamu sendiri yang pingin punya anak?" balasnya dengan gaya sok jagoan.
"O! gitu? Oke! aku tak minta kamu membereskan administrasi rumah sakit ini ! pernyataanku dijawab anggukan kuat yang menyiratkan kemenangan.

"Tapi tolong bereskan administrasi perceraian kita, aku ingin kita sudahi pernikahan ini," ucapanku ini membuatnya diam. Tubuhnya seperti kaku, matanya terlihat panik. "Tapi ! Kenapa kamu lakukan ini Sas?" Aku tak perlu menjawab itu, semua ada di berkas tuntutan cerai yang sudah aku buat !

"Setidaknya biarkan aku tahu masalahnya, Sas !

Aku menatap Hendra suamiku. Seakan segunung uneg-uneg sudah akan lepas dari dadaku. Aku menghela nafas. "Sejak aku hamil, pernah kamu menemaniku di rumah? Bahkan melihat tubuhku yang membuncitpun kamu benci," ucapku perlahan.

"Selama aku hamil, pernahkah kamu memenuhi keinginanku sebagai perempuan hamil? Tengah malam kamu biarkan aku mencari sendiri makanan yang aku suka," lanjutku

'Sampai aku melahirkanpun kamu tak hadir menemani, sementara ini adalah kelahiran anak pertamaku, jadi menurutku, kamu bukanlah suami yang bertanggung jawab," pungkasku.

Itu adalah kali terakhir aku bertemu Hendra. Dari rumah sakit aku tidak pulang ke rumah. Aku malah ke rumah Restu. Di rumahnya yang terletak di pinggiran kota itu, ia tengah menyirami tanamannya saat aku tiba. Begitu melihatku, tergopoh ia berlari menjemputku di pagar rumahnya.

Begitu dekat, aku bisa melihat sebutir embun meluncur dari ujung mata indahnya. "Selamat datang, Sasya !" ucapnya sembari memelukku dan bayiku. "Kita akan urus semuanya bersama, rumah ini sudah aku persiapkan lima tahun lalu untukmu." Untuk kali pertama aku merasakan kebahagiaan yang tak terkira. Begitu panjangnyakah jalan untuk memperoleh sedikit saja rasa bahagia itu? [Joana Ang / Bandoeng]

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: BUDAYA

ARTIKEL: KEHIDUPAN

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: BERITA