Pertemuanku dengannya berawal di sebuah halte Busway. Kami sama-sama antri di suatu sore saat halte itu dipenuhi calon penumpang. Nadya saat itu menarik perhatianku, bukan lantaran ia cantik, namun karena sikap tenangnya yang luar biasa. Sementara antrian panjang bak ular dan cuaca panas bukan main. Ia hanya bersandar santai sembari membaca buku yang lumayan tebal.
Sejak itu aku berusaha mendekatinya, karena aku sudah mencatat kalau jam 4 sore dia sudah tiba di halte Busway tempat pertama aku melihatnya. Kegigihanku ternyata berbuah hasil, Nadya bukan orang yang sulit didekati. Meski ia tak pernah mengijinkan aku mengantar sampai rumahnya aku tidak peduli. Pesonanya sudah membutakan mata dan otakku. Aku bahkan tidak pernah ingin tahu dimana ia bekerja, hal yang kemudian membuatku menyesal berkepanjangan.
Singkat kata kami memang menikah. Dengan tradisi yang aneh, ternyata Nadya tidak memiliki saudara, ia sendirian di Jakarta. Karenanya Nadya hanya didampingi seorang wali hakim. Tak ada isak haru saat ijab kabul dibacakan, wajah perempuan di sebelahku sangat dingin. Ia tak sedih, tak juga bahagia.
Sebelum menikah, aku bukan lajang. Aku duda sepasang putra putri yang menginjak remaja. Aldo putra sulungku kelas 1 SMP sementara Anis adiknya kelas 6 SD. Aku bercerai dari istri pertamaku, karena ia ketahuan selingkuh. Anak-anak kubiarkan ikut ibunya. Aku hanya mengirimkan mereka uang bulanan untuk biaya sekolah dan sebagainya. Namun sekarang kedua anakku ikut neneknya, istriku meninggal setahun lalu karena kanker rahim stadium lanjut.
Nadya tentunya tahu tentang masa laluku dan ia menerimanya. Bahkan ia yang kerap menjalin komunikasi dengan kedua anakku ketimbang aku sendiri. Aku memang menjaga jarak dengan Aldo dan Anis. Memandang mereka membuatku kembali mengingat ulah ibu mereka. Dan ini tak pernah bisa hilang dari pikiranku. Akibatnya hubungan emosionalku dengan kedua anakku juga tak berjalan baik.
Namun sejak menikah dengan Nadya, semuanya mulai berubah. Anak-anak mulai mau mampir ke rumahku. Meski canggung, aku mulai membuka komunikasi dengan keduanya. Semua berkat Nadya. Selayaknya aku bersyukur menikahinya.
Tak hanya bersyukur, karena sejak kehadiran Nadya, keuanganku tetata rapi. Meski ia juga bekerja, tapi ia tetap istri dan pengelola rumah yang baik. Nadya cenderung pendiam dan sangat santun, karenanya aku jarang bertanya tentang sesuatu yang tak perlu. Bahkan aku juga tak pernah tahu ia bekerja dimana dan posisinya sebagai apa.
Aku tak pernah melihat Nadya mengundang teman-temannya ke rumah, bahkan tak pernah kudengar ia menelpon atau ditelpon temannya. Aku semakin yakin kalau Nadya betul-betul sendirian dan hanya aku yang menemaninya. Kehidupannyapun sangat teratur, setiap hari, kecuali weekend, ia berangkat jam 7 pagi dari rumah dan jam 5 sore sudah ada di rumah. Tak kurang dan tak lebih.
Hanya saja sudah beberapa hari ini, meski tak tiap hari, ia kerap pulang telat. Jam 6 sore baru tiba di rumah. Dengan wajah yang terlihat lelah, ia meminta maaf karena terlambat pulang. Namun keterlambatannya makin menjadi-jadi. Terakhir malah jam 8 malam baru tiba di rumah.
Ini sudah tak bisa ditolerir, aku memarahinya. Emosiku meluap, ingat bagaimana kebohongan istri pertamaku dulu, aku langsung menuduh Nadya selingkuh. Perempuan itu tak bergeming. Ia duduk diam dengan wajah tertunduk dalam. Aku makin pitam, malam itu aku langsung mengusirnya. Nadya masih diam. Kemudian wajahnya terangkat, tetap dingin. Ia beranjak ke kamar, tak sampai setengah jam ia keluar dengan sebuah travel bag dan sebuah kardus kecil. Itu adalah semua yang ia miliki.
Selama setahun pernikahan kami, tak pernah kulihat ia membeli barang untuk keperluannya sendiri. Sebelum membuka pintu, Nadya menoleh ke arahku seperti ada yang ingin dikatakan. Namun aku langsung masuk kamar dan membanting pintu keras. Aku tak ingin memandang wajah itu, polos yang seolah tanpa dosa.
Seminggu setelah aku mengusir Nadya, saat aku pulang kantor, aku melihat sebuah sepeda motor baru terparkir di teras. Menurut Mbok Siyem, pembantuku, Nadya tadi datang ke rumah. Emosiku langsung memuncak mendengar nama Nadya disebut. Hampir saja aku memaki Mbok Siyem, kalau ia tidak keburu memberiku dua buah surat yang tertutup rapi.
Pasti dari Nadya, pikirku. Dua surat itu langsung aku lempar ke atas meja. Namun urung aku melewatinya. Karena di salah satu surat tertulis nama Aldo dan Anis. Tanpa sadar aku membukanya. Itu adalah surat Nadya buat mereka. Isinya hanya singkat, permintaan maaf Nadya karena tak bisa memberikah hadiah yang dijanjikan secara langsung. Di situ Nadya juga berpesan agar bisa terus meningkatkan prestasi belajar Aldo dan Anis. Sebaris kalimat terakhir Nadya membuatku tergetar. "Ayah kalian pasti akan selalu kesepian, kan sudah ada motor, jadi bisa sering menjenguk ayah kan?!
Aku terduduk lemas. Gemetar aku meraih surat kedua yang ditujukan buatku. Tak banyak kata, hanya ada dua alinea saja. Nadya hanya mengatakan kalau ia pulang malam untuk menyelesaikan proyek agar bisa membelikan Aldo dan Anis motor. Karena mereka berhasil meraih peringkat tiga besar di sekolahnya.
Selain itu Nadya ingin agar anak-anak bisa sering mengunjungi aku, agar aku tidak terlalu kesepian di rumah. Surat pendek itu ditutup dengan permintaan maaf karena tidak memberitahu sedari awal, karena ia ingin memberi kejutan buat semua. Aku, Aldo dan Anis. Inilah awal penyesalanku yang tak berujung.
Selama lima tahun setelah kejadian itu aku masih terus mencari Nadya. Sayangnya aku tak pernah bertemu dia, tidak di halte Busway, tidak di gang rumahnya dimana dulu aku sering mengantarnya pulang. Aku ingin minta maaf dan membawanya kembali pulang. [Vivi Tan / Jakarta]
--
Berita | Internasional | Budaya | Kehidupan | Kesehatan | Iptek | Kisah | Kontak
BACA DIBAWAH INI
Di bagian bawah artikel ini kedepan akan ditampikan iklan-iklan baris Maksimal 100 huruf dengan tarif Rp.5.000,- per artikel (Min.100 artikel) dan bagi yang berminat bisa kontak email: tionghoanews@yahoo.co.id