Mengenakan rok pendek merah menyala, kemeja krem muda, seorang perempuan berambut pendek turun dari sedan mewahnya. Dengan tubuh langsing dan wajah menarik, ia melangkah penuh percaya diri meninggalkan tempat parkir. Beberapa pasang mata ikut mengiringi langkahnya memasuki pintu kafe.
Seorang perempuan berkaus hitam memoles ulang concealer untuk menyamarkan kantong matanya. Lalu, dengan santai, ia membuka pintu kafe dan langsung menebarkan pandangan mencari-cari.
Perempuan dengan terusan warna hijau tua terlihat berlari-lari kecil menuju pintu kafe. Rambut ikal panjangnya yang tergerai ikut melambai-lambai. Sambil berlari, sesekali ia mengangkat lengan kiri, melirik jam tangan yang melingkar di sana.
Di suatu sore yang cerah, ketiga perempuan itu duduk bersantai di suatu kafe di sudut jantung ibu kota.
***
"Apa kau masih sering ke kelab malam?" si rambut ikal menoleh ke arah perempuan berkaus hitam.
"Sudah lama berhenti," si kaus hitam menjawab cepat tanpa ragu.
"Hebat kau. Sejak berhenti bekerja, hidupmu malah lebih teratur. Aku dari dulu tak suka melihatmu sering mabuk dan pulang pagi."
Si kaus hitam tersenyum, lalu memalingkan wajah ke perempuan yang mengenakan rok merah. "Eh, Bu Dokter Cantik, apa masih ada pasien yang suka menggodamu?"
Si rok merah tertawa berderai. "Sekarang aku praktik di tempat yang sama dengan suamiku. Mana ada yang berani macam-macam."
Si rambut ikal bersuara dengan serius, "Wah… wah… kalian berdua sama sibuknya, dong, sekarang. Aku rasa, kau dan suamimu kelelahan melayani pasien. Apa kalian tak ingin segera punya anak?"
"Ah, aku dan suamiku santai saja. Kalau belum diberi, kenapa mesti ngotot?"
"Dan kalian baik-baik saja dengan hal itu? Wow, kau beruntung sekali. Suamiku dari dulu selalu ingin punya anak. Banyak anak kalau bisa. Ha...ha...ha...," kali ini giliran si rambut ikal yang tertawa lepas.
"Kau sendiri bagaimana? Dari tadi sibuk bicara tentang orang lain," si kaus hitam mengarahkan perhatian ke si rambut ikal.
"Jadwalku padat sekali akhir-akhir ini. Ah, kalian tak tahu rasanya punya anak 3 dengan kesibukan macam-macam. Sudah tiga bulan ini, tiap akhir pekan aku nyambi menjadi penyiar radio, lho."
Jawaban si rambut ikal membuat kedua temannya memekik perlahan, "Wow...!"
Si kaus hitam terdengar merajuk, "Kenapa baru cerita, sih?"
"Aku tiap hari berkicau di Twitter-ku. Kalian ini yang ketinggalan berita. Kenapa, sih, tidak aktif di media sosial?"
"Tak ada waktu," jawab si rok merah cepat.
Si kaus hitam menyambung, "Anakku masih kecil-kecil. Kalau di rumah rasanya seharian tak cukup menemani mereka. Energimu benar-benar luar biasa."
Lalu, si rambut ikal bercerita panjang lebar tentang profesi tambahan barunya. Betapa senangnya mendapat teman-teman baru. Honor tambahan yang jumlahnya tidak sedikit. Terbawa pergaulan dengan beberapa selebritas ibu kota. Biarpun mereka hitungannya mungkin masih artis papan bawah, belum terlalu tenar.
"Mungkin kapan-kapan, hari Sabtu atau Minggu siang, setelah siaran, kita janjian, yuk. Nanti kukenalkan kepada teman-teman baruku."
Si rok merah langsung menolak, "Wah, tiap akhir pekan, aku pasti ada acara berdua dengan suami."
Si kaus hitam tak mau kalah, "Akhir pekan, ya, acara keluarga, dong."
Si rambut ikal angkat bahu, "Terserah kalian saja."
Sesekali obrolan mereka terlempar ke masa lalu. Masa-masa belasan tahun yang lalu, saat mereka masih mengenakan seragam putih abu-abu di sekolah yang sama. Derai tawa sesekali mengundang pandangan mata dari pengunjung kafe yang lain.
"Kau ingat tidak, anak laki-laki kelas sebelah yang mati-matian mengejarmu? Dengar-dengar dia sedang melanjutkan S3 di Eropa. Dia dokter juga, 'kan? Apa kalian dulu satu kampus?"
Si rok merah tersipu malu sebelum berujar, "Tidak, tidak. Itu cuma gosip. Kampus kami juga beda, kok."
"Ah, suamimu sekarang kan tak kalah hebatnya. Ngomong-ngomong, apa tak ingin mencoba bayi tabung saja? Mertuamu pasti punya banyak kenalan dokter hebat."
"Aku kan sudah bilang. Kami baik-baik saja. Tak terlalu memikirkan hal itu. Karier pun sekarang sedang bagus-bagusnya. Tak perlu memusingkan hal yang belum ada, 'kan?" si rok merah menjawab diplomatis dengan senyuman bijak.
"Aku iri sekali pada pasangan seperti kalian."
"Eh, bagaimana denganmu? Apa betah seharian di rumah saja? Mau nggak aku kenalkan pada teman-temanku di radio? Kau ini dulu jurnalis, 'kan?"
"Wah, seharian di rumah bersama anak selalu membuatku berpikir waktuku tak pernah cukup."
"Ini cuma paruh waktu saja. Mana tahu kau tertarik, coba dulu saja."
Si kaus hitam menjawab enggan, "Tidak, ah. Aku masih mau menikmati masa-masa santai bersama anak-anak dulu."
"Aku malah salut padamu. Apa tidak kerepotan dengan kesibukan sepanjang hari? Bagaimana kau bisa punya waktu mengurus ketiga anakmu?"
Si rambut ikal menjawab dengan percaya diri, "Itu masalah pengaturan waktu saja. Anak-anak semua tak ada masalah, kok. Semuanya berjalan normal."
"Kalau akhir pekan kau pun bekerja, kapan kau berlibur dengan anak-anak?"
"Berlibur tidak mesti ke luar rumah, 'kan? Dan tidak mesti akhir pekan. Tiap hari aku selalu punya waktu untuk mereka."
Si kaus hitam memandang temannya dengan kagum.
"Benar-benar supermom," katanya.
Beberapa cangkir kopi sudah hampir kosong. Piring-piring kecil berisi roti dan kue sudah tergeletak tak beraturan. Tapi, suara mereka masih terdengar penuh semangat.
Beberapa kali si rambut ikal tampak memperlihatkan foto anak-anaknya melalui layar ponselnya. Si rok merah tertegun cukup lama sebelum bergumam, "Cantik dan ganteng-ganteng, ya."
Si rambut ikal tersenyum bangga, "Aku beruntung sekali. Mereka anak-anak yang hebat."
Si kaus hitam menceritakan dengan detail tingkah pola anak-anaknya di rumah. Dan betapa senangnya menjadi orang yang pertama menyaksikan semua hal kecil namun luar biasa itu. "Kenikmatannya tak bisa diukur dengan uang," ujarnya, penuh semangat.
Si rok merah juga ikut berbagi pengalaman menghadapi berbagai macam pasien. Dan sedikit bergosip mengenai roman picisan antara dokter dan suster yang tidak jarang ditemuinya di rumah sakit. Kedua temannya tampak tertarik, menyimak dengan serius ucapannya. "Perawat-perawat yang baru masuk, banyak yang mencari-cari kesempatan untuk menggoda dokter-dokter muda."
Si kaus hitam menggodanya, "Kau yakin tak pernah terlibat cinta lokasi seperti itu? Tak pernah naksir dengan teman doktermu yang laki-laki?"
"Eh, aku rasa malah teman dokternya yang tergila-gila kepadanya."
Si rok merah mendelik sambil tertawa kecil, "Sembarangan saja kalian. Jangan lupa, aku praktik di rumah sakit yang sama dengan suamiku."
Sekali waktu tampak mereka mengomentari pengunjung lain yang duduk di sekitar mereka. Berbisik-bisik mengenai seorang wanita muda yang tampak duduk gelisah seperti menanti seseorang. Menebak-nebak hubungan antara seorang perempuan yang sudah cukup berumur yang duduk berhadapan dengan seorang pria tampan yang usianya jauh lebih muda.
"Tidak mungkin itu anaknya," si kaus hitam berbicara dengan suara rendah.
"Mungkin keponakannya," kata si rok merah, mengedipkan matanya.
Si rambut ikal memicingkan mata, "Aneh betul bertemu dengan keponakan sore-sore di kafe seperti ini."
Lalu mereka saling melempar pandangan. Berusaha menyembunyikan tawa.
Gelap sudah memenuhi langit ketika mereka melangkah ke luar dari kafe. Berpelukan di pintu kafe dan berjanji untuk pertemuan berikutnya yang mungkin bisa berlangsung beberapa bulan lagi.
***
Denisa menutup pintu mobil perlahan setelah mengempaskan tubuh ke dalam sedan mewahnya. Perasaannya tak menentu mengingat kalimat-kalimat yang terlontar dari mulutnya tadi: "Ah, aku dan suamiku santai saja. Kalau belum diberi, kenapa mesti ngotot?"
Profesinya sebagai dokter sedang meroket. Setelah setahun lalu menggenggam gelar spesialis, resmi menjadi seorang internis, dia mulai praktik di sebuah rumah sakit. Bapak mertuanya, salah seorang dokter ternama di sana, ikut memuluskan jalannya.
Siapa bilang enam tahun mengarungi kehidupan rumah tangga tanpa kehadiran anak membuat dia dan suaminya biasa-biasa saja? Hubungan mereka makin lama malah makin dingin.
Masing-masing tenggelam dalam kesibukan menangani pasien dan terus berburu ilmu yang seolah tiada habisnya untuk profesi yang cukup melelahkan ini. Akhir pekan pun diisi oleh seminar-seminar atau tenggelam dalam tumpukan diktat.
Denisa iri membayangkan kedua temannya yang sudah punya buah hati. Ada yang punya 3 malah. Kapankah Tuhan memberikan kepercayaan itu? Mungkin kehadiran seorang bayi mungil akan sanggup mengembalikan kehangatan cinta mereka kembali. Air matanya menitik sambil mengelus-elus perutnya, "Tuhan, beri aku satu saja."
***
Arumi menghela napas panjang. Tidak sekali, tapi berkali-kali sebelum akhirnya memacu mobilnya meninggalkan halaman kafe.
Memiliki 3 anak, berada di puncak karier sebagai salah satu senior marketing manager, siapa yang tak iri padanya? Bahkan, sebagai penyiar saat akhir pekan di salah satu radio wanita ibu kota, namanya mulai dilirik.
Tapi, siapa yang tahu, semua hanya pelarian terhadap kekecewaannya atas kondisi dua anak terakhirnya. Mereka mungkin tidak cacat, tapi mendapat vonis sebagai anak berkebutuhan khusus.
Ditutupnya rapat-rapat cerita ini kepada siapa pun. Dia takut, segala puji yang sudah telanjur disematkan untuknya, mungkin akan berbalik. Mereka akan mengarahkan telunjuk menghakimi kepadanya. Seolah ini adalah hukuman atas pilihannya sebagai ibu yang lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah.
Arumi bahkan tak sanggup menghadapinya langsung. Empat tahun terakhir ini, dia memboyong keluarganya kembali tinggal bersama ibunya. Menitipkan pengawasan anak-anak kepada sang ibu dan beberapa pengasuh anak.
Kalau boleh memilih, ingin rasanya melepaskan diri dari pencitraan palsu yang gencar diembuskannya melalui media sosial ini. Ingin rasanya melepaskan diri dari puja-puji, melewati waktu yang lebih panjang bersama anak-anak di rumah.
***
Rinjani menutup mata sambil menenggak tegukan terakhir dalam botol alkohol di genggamannya. Tinggal ia sendiri yang duduk di bar. Rinjani memang pernah berhasil menjauhi botol-botol alkohol yang membius itu. Tapi, itu dulu. Sejak dua tahun terakhir ini, begitu dia menyudahi masa-masa berkarier, dia gagal menghalau keinginannya untuk kembali mabuk-mabukan.
Berpura-pura menikmati masa-masa berhenti bekerja adalah hal konyol yang sering dilakukannya di hadapan orang lain. Padahal, hingga kini, hatinya masih sulit berdamai dengan keputusan besar itu.
Menghabiskan waktu lebih banyak di rumah malah membuatnya merasa terperangkap tak berdaya. Pernah ia mencoba untuk menjadi penulis lepas. Sekadar melampiaskan hasratnya yang pernah lama berkarier di bidang jurnalistik. Tapi, hasilnya sering kali hanya bercangkir-cangkir ampas kopi, buku-buku bertebaran di dekat ranjang, dan dokumen di laptop yang tak berhasil diisi oleh satu kata pun.
Kembali ke dunia kerja juga bukan pilihan tepat untuk anak-anak. Suaminya lebih banyak dinas ke luar kota. Kedua balitanya berada di bawah pengawasan asisten rumah tangga dan pengasuh anak. Rinjani lebih suka menghabiskan waktu dalam kamar, atau berjalan-jalan sendiri ke mal, dan sesekali menyambangi salon.
Rinjani membayangkan kehidupan kedua temannya yang mandiri. Dia terbakar iri kepada si dokter cantik. Biarpun tanpa anak, ia didampingi suami yang sangat pengertian. Ah, seperti apa akhir pekan mereka. Mungkin tiap minggu akan terasa bagai bulan madu.
***
Ketiga perempuan itu menembus padatnya jalanan ibu kota, larut dalam keterpurukan masing-masing. Tanpa menyadari bahwa tiap jalan cerita dalam kehidupan punya rahasia masing-masing. Bahwa seringkali rumput tetangga tak sehijau yang tampak dihadapan mata. [Djuwita Lim / Pontianak]
Note: Salam kenal buat teman-teman Tionghoa yang membaca tulisan ini dan mari kita bersama-sama membagi tulisan ke dalam situs blog ini (Djuwita Lim)
--
Berita | Internasional | Budaya | Kehidupan | Kesehatan | Iptek | Kisah | Kontak
BACA DIBAWAH INI
Di bagian bawah artikel ini kedepan akan ditampikan iklan-iklan baris Maksimal 100 huruf dengan tarif Rp.5.000,- per artikel (Min.100 artikel) dan bagi yang berminat bisa kontak email: tionghoanews@yahoo.co.id