Seminggu kemudian, berangkatlah sang majikan ke luar negeri. Alangkah senangnya si pembantu mendapat proyek basah. Seumur-umur ia belum pernah mengelola uang sebesar ini. Otak liciknya segera berputar. Selama mengerjakan tugas, si pembantu menggelapkan nilai proyek. Caranya, mark-up sana, sunat sini.
Ia memakai material yang sepintas tampak bagus padahal kualitasnya jelek. Toh, nantinya pada saat rumah ini mulai rusak, ia pasti tak lagi bekerja di sini. Begitu pikirnya.
Setahun kemudian sang majikan pulang. Ia menanyakan rumah baru tersebut.
"Beres Tuan! Segala sesuatunya berjalan sesuai rencana. Rumah sudah siap dihuni," kata si pembantu bangga.
"Baik. Nah, apakah kamu sendiri merasa puas dengan hasil karyamu?" giliran sang majikan bertanya.
"Oh, ya tentu saja Tuan."
"Baik, kalau begitu," jawab sang majikan, "Ketahuilah, Aku menyuruh kau membangun rumah ini untuk kenang-kenangan sekaligus penghargaan atas pengabdianmu bekerja di sini bertahun-tahun."
Mendengar ucapan sang majikan, terperanjatlah si pembantu. Perasaannya campur aduk. Ia merasa sangat malu, dan cemas. Betapa tidak? Ia telah menghambur-hamburkan uang hasil korupsinya.
Kini justru ia harus bertanggung jawab atas rumah yang selamanya akan mengingatkannya pada tindak korupsi yang mencoreng integritas dan pribadinya.
Benarlah kata William James, filsuf Amerika yang terkenal dengan pragmatisisme itu, cara terbaik untuk menentukan jenis karakter seseorang adalah dengan memberi kesempatan mereka menunjukkan tingkah laku mental dan moralnya saat mereka merasa sangat aktif dan benar-benar menikmati hidup. Karena pada saat itu pasti ada suara di dalam hatinya yang mengatakan, "Inilah saya yang sebenarnya." [Selvia Chang / Gorontalo / Tionghoanews]