Dengan cara amat manusiawi, para pemburu menggunakan sebuah botol besar dengan leher yang sempit sebagai perangkap. Umpannya berupa kacang-kacangan dan buah-buahan. Umpan itu ditaruh di dalam botol. Tujuannya, agar monyet bisa ditangkap hidup-hidup tanpa terluka. Pagi hari botol-botol itu ditaruh di hutan, lalu esoknya para pemburu datang lagi.
Bagaimana kaum monyet itu diperdaya? Begini, karena tertarik oleh warna dan aroma buah yang menyengat, para monyet mendatangi botol-botol itu. Mereka lalu mencoba meraih kacang atau buah itu dengan memasukkan tangannya ke dalam botol. Kalau sudah begini, mereka tak akan bisa menarik tangannya keluar botol selama tangannya menggenggam kacang atau buah. Mereka juga tak mampu membawa lari botol itu karena berat.
Barangkali itu akan menertawakan betapa tololnya monyet-monyet itu. Padahal, tanpa sadar kita sering berperilaku seperti mereka, memegang erat-erat problem hidup yang kita hadapi. Ibaratnya, menenteng-nenteng "botol problem" ke mana-mana. Artinya, kita membiarkan diri terperangkap dalam botol problem itu. Mengasihani diri, seolah merasa sebagai manusia yang paling menderita, paling sengsara, paling miskin, dan sebagainya. Ke sana kemari pasang muka memelas, minta belas kasihan orang lain, berdoa siang-malam memohon pertolongan-Nya.
Padahal kita tahu, Tuhan tak akan memberi beban yang tak bisa kita tanggung. Dari sini bisa ditarik kesimpulan atas pesan yang disampaikan Butterworth. Salah satunya, praying is listening. Bukan melulu minta agar sesuatu menjadi baik, tapi melihat sesuatu dengan sebaik-baiknya. Mengamati sesuatu dari tempat yang tinggi, agar mampu melihat "lebih dari sekadar yang tampak". Dengan begitu kita akan bisa menemukan jalan keluar. Tidak perlu harus terperangkap dengan tangan dalam botol. Dengan begitu kita bisa bersyukur. [Elisabeth Wang / Banda Aceh / NAD / Tionghoanews]