Lukisan pertama berupa pemandangan sebuah danau luas dengan air jernih membiru. Permukaan airnya yang tenang bak cermin alam indah dikelilingi gunung-gunung menjulang tinggi.
Suasana alam itu terasa damai dalam selimut birunya langit yang dihiasi awan putih tipis. Siapa pun yang melihat pasti akan mengatakan lukisan itu menggambarkan kedamaian.
Kanvas kedua melukiskan pegunungan yang gundul dengan jurang dan lereng terjal. Di atas terlihat langit gelap dengan awan tebal. Di atas terlihat langit gelap dengan awan tebal.
Butiran-butiran air hujan yang amat deras tampak berkilat-kilat tak ramah karena pantulan kilatan petir. Di bawah lereng gunung, tertumpah air terjun yang berbuih-buih. Dari pemandangan ini memang tidak terlihat ada suasana damai.
Namun ketika Raja memeriksa lebih lanjut lukisan tersebut, ia melihat di balik air terjun itu ada semak kecil yang tumbuh pada sebuah ceruk batu cadas. Di dalam semak tersebut seekor induk burung sedang membangun sarangnya.
Di situlah, di tengah-tengah riak dan kerasnya deburan air terjun, burung tersebut mengerami telur-telurnya. Sungguh pemandangan yang penuh kedamaian.
Akhirnya Sang Raja memilih lukisan kedua sebagai pemenangnya. "Karena," ujar Raja, "kedamaian tidak tergantung pada tempat yang hening dan sepi.
Tidak selalu harus tanpa kesulitan, dan kerja keras. Tapi kedamaian bisa tercipta di tengah suasana hiruk pikuk dan yang penting hatimu tenang dan bisa terus berkarya."
Bisa jadi inilah yang dimaksudkan oleh David Herbert Lawrence - penulis Inggris yang kontroversial - dalam Reflection on the Death of A Porcupine and Other Essays (1925), …. Memang tidak menyenangkan kalau harus berperang melawan lingkungan sekitar. Tetapi terkadang itu adalah satu-satunya cara untuk bisa mempertahankan kedamaian jiwa. Kedamaian kehidupan, perjuangan hidup manusia. [Selvia Chang / Gorontalo / Tionghoanews]