Malam kemarin secara tak sengaja aku temukan kembali sebuah kertas surat kumal yang telah termakan oleh waktu yang jatuh dari arsip lamaku saat aku membereskan tumpukan kertas di kamarku.
Aku kenal surat itu, aku tahu isinya, dan aku tak pernah melewatkan membaca kembali surat itu, entahlah apa yang ada dibenakku saat aku menemukan kertas berwarna biru langit itu, aku selalu ingin membacanya dan terus membacanya, seperti juga saat malam kemarin kutemukan.
28 Januari 1998,
Aku yang selalu menunggu ketika kau pulang dengan segenap harapan, selalu menganyuhkan kakiku dengan cepat agar aku bisa menatap matamu yang teduh didepan rumahmu, karena kamu pernah berkata ada kenyamanan saat aku berada di depan pintu rumahmu, dan aku pernah berjanji, aku akan selalu ada di depan pintu rumahmu saat kau pulang,"
Ketika kau berikan cintamu kepadaku, aku seperti menemukan kembali sesuatu yang pernah ada dihatiku. Sejak saat itu aku selalu ingin menjadi pelabuhan ketika kau merasa sedih dan senang, ku ucapkan terimakasih atas cinta yang kau berikan kepadaku, kau datang di saat yang tepat, saat hidupku hancur berkeping dihantam sebuah penghianatan, saat tubuh lunglaiku terbalik ditelan gelombang kepedihan, mengantam karang dan mencerai beraikan semua harapanku akan hadirnya matahari pagi yang indah.
Sepenggal kisah cinta yang kita alami itu memang telah berakhir, karena kamu memang menginginkan itu, tetapi selama kakiku masih menjejak bumi yang indah ini kenangan itu tak akan pernah berakhir, tidak akan pernah hilang untuk selamanya, tidak akan pernah pudar walau jaman menggilasnya dengan kejam.
Pun ketika bumi berumur ratusan tahun, bahkan ribuan tahun, ketika jasadku terbaring kaku di pelukan bumi dan kembali bangun atas kehendakNya, kehangatan cintamu tak akan pernah lenyap walau setitik, cintamu akan selalu abadi dalam hidup dan matiku, dan itu janjiku padamu
Dari aku yang mencintaimu….
Selembar kertas kusam berwarna biru itu kembali mengingatkan kisah laluku yang sangat indah dengan sesorang, sekelumit kisah yang sebenarnya telah terangkai dalam anganku bertahun-tahun lamanya namun tertahan oleh keegoanku sendiri, terbelah oleh kemarahan sesaat yang sampai saat ini aku sesali, sampai akhirnya aku terbuang dalam keheningan yang membekukan jiwa dan ragaku.
Sepuluh tahun kenangan itu telah berlalu, saat hiruk pikuk kehidupan telah menampakan perubahan, saat jaman telah menghapusnya secara perlahan, saat kelembutan dan keteduhan tatapan matanya mulai pudar dalam bayangan ingatanku, saat senyum dan tawanya mulai sayup terdengar ditelingaku, ia kembali menampakan kelembutannya dalam mimpi-mimpiku.
Walau hanya sesaat, bayangan itu kembali mengusik kehidupanku, lambaian tangannya seolah memanggilku untuk mencumbunya, menghadirkan kembali kehangatan-kehangatan yang pernah aku berikan. Mimpi itu memaksaku mengingat semua, membuat mataku selalu ingin terpejam dan seolah memaksaku untuk mencari dan kembali padanya. Tetapi aku tak pernah bisa menemukanmu untuk sekedar meminta maaf dan mencium tanganmu yang lembut. [Liana Yang / Surabaya / Tionghoanews]