KISAH | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Selasa, 26 Februari 2013

NAMA ITU BUATKU TAK BERNAFAS

Kejadian ini berawal dari 10 tahun yang lalu. Tepatnya di pertengahan tahun 1999. Sosok laki-laki itu tiba-tiba membuat hatiku deg-degan. Tingginya sekitar 178cm, berat badannya, entahlah. Pastinya sesuai karena bentuk tubuhnya amat proporsional. Hm, luar biasa. Ia lelaki pertama yang membuatku bisa jatuh cinta pada pandangan pertama.

Sebagai perempuan mandiri, aku melatih diriku sendiri untuk berfikir penuh logika, bukan rasa yang kukedepankan seperti layaknya perempuan kebanyakan. Ya, aku memang perempuan yang teramat cerdas untuk bisa di tipu daya oleh cinta. Aku tak mudah jatuh cinta, apalagi pada pandangan pertama.

Caraku bisa dekat dengan laki-laki adalah lewat sebuah diskusi. Mungkin ini terdengar aneh, tetapi aku bisa langsung jatuh hati pada lelaki yang cerdas. Bagaimanapun orang cerdas itu terlihat dari gaya bicaranya, kan? Cara berpikir dan cara seorang lelaki memandang kehidupan serta permasalahannya, bisa seketika membuatku tergila-gila. Tetapi lelaki yang satu ini tidak perlu susah payah berdiskusi denganku. Ia telah membuatku hatiku meleleh hanya dengan memandang wajah indahnya.

Sebut saja namanya Ian. Kami bertemu saat sanggar teater yang kuikuti mengadakan acara, sebuah pementasan teater dengan lakon berjudul..., ah lupa.. Sanggar kami membutuhkan tata cahaya agar pementasan yang dibuat makin sempurna. 

"Coba kamu pergi ke universitas "P", anak-anak teater sana punya seperangkat tata lampu yang biasanya disewakan dengan harga miring," tutur pelatihku. Berangkatlah aku ke universitas yang dimaksud. Saat tiba di universitas tersebut, aku disambut oleh para anggotanya yang seluruhnya laki-laki. Demi melihat seorang wanita, mereka jadi sedikit nakal, sampai menanyakan nomor kontak hp-ku segala. Ih, rasanya mau cepat-cepat pergi saja dari keadaan itu. Maklum, aku suka jutek jika didekati lelaki.

Kata salah seorang disana, lampu akan diantar malam ini dan akan dipasang sekalian. Ongkos pasangnya gratis. Kelar membayar duit panjer sewanya, aku segera pulang ke sanggar. Kelar semua artistik yang diperlukan. Aku dan beberapa anggota yang lain, termasuk pelatih kami, Mas Lolo segera pulang dan mempersiapkan mental demi menghadapi pementasan yang akan dilaksanakan 3 hari kemudian.

Tibalah 1 hari menjelang hari "H". Sedari pagi seluruh anggota teater sudah sibuk mendandani Aula Serbaguna kampus sebagai tempat pertunjukan. Tiba-tiba handphone ku berdering, dari nomor yang tak bernama, aku segera mengangkatnya.

"Siapa ya?"

"Ini Boni dari teater universitas 'P'" ujar seseorang di ujung telepon.

"Oh, ada apa, bon?"

"Kita mau antar lighting. Alamat kampusmu yang di jalan besar dan dekat rel kereta itu, kan?" Boni memastikan

"iya, betul banget. Siapa yang akan kesini?"

"Namanya Ian dan Pandu,"

"Okey, aku tunggu disini. Makasih banyak bon," ucapku menutup telepon.

Beberapa jam kemudian, dua orang yang dimaksud datang. Tanpa melihat kearah keduanya, aku segera menge-cek seluruh lampu yang akan dipergunakan. Takut kalau ada yang rusak karena kerusakan lampu yang terjadi setelah kedua orang ini pulang, menjadi tanggung jawab kelompok teaterku.

Saat sedang asyik men-cek lampu, tiba-tiba ada suara.

"Mending dipasang dulu, lalu langsung dicoba sekalian," tutur suara itu.

"Gak usah mas, sebentar lagi kelar, mas bisa langsung pasang dan kami bisa langsung coba ngatur pencahayaannya," jelasku tanpa menoleh kearahnya.

"Oh oke. Kita mau cari makan dulu ya. Kalo ada perlu apa-apa, telepon aja," ujarnya lagi.

Aku hanya mengangguk sembari tetap mencoba lampu-lampu tersebut, satu persatu.

***
Selesai sudah. Tiba saatnya dipasang. Huh, mana dua orang itu? Telepon saja. But, wait, kemana harus meneleponnya? Nomornya saja aku tak tau. Duh, aku memang begitu kalau sudah serius mengerjakan segala sesuatu, hal kecil seperti nomor kontak saja tak kuperhatikan. Akhirnya kutelpon Boni.

Boni memberikan nomor Ian, aku bergegas meneleponnya dan mengatakan kalau aku sudah selesai memeriksa semua lampu. Tak sampai 2 menit, tiba-tiba seseorang mendekatiku, "Mau dipasang dimana?" ujar orang tersebut.

Baru kali ini aku memperhatikan. Bukannya menjawab pertanyaannya, aku hanya bengong. Sialan, ternyata pemuda bernama Ian ini sangat menarik. Aku deg-degan, seketika lidah kelu tak karuan.

"eeeggghhhh...". Ada apa ini? Semua kalimatku yang biasanya terangkai rapi bisa hilang menguap begitu saja.
"Halo, mau dipasang dimana?" Ian bertanya kepadaku sekali lagi.

Bukannya menjawab pertanyaannya, Aku malah memanggil pelatihku, dan meminta bantuannya untuk memberi solusi. Otakku tiba-tiba 'blank'. My God, mahluk ini manis banget. Ya ampun, kenapa aku berantakan banget, sih? Muka belepotan debu, rambut dikuwel-kuwel kayak mbok jamu dan bajuku, duh, tank top dengan hot pants! Bagiku nyaman, bagi dia yang melihat? Seketika aku merasa bodoh mampus.

Saat ia berbincang-bincang dengan pelatihku, aku hanya curi-curi pandang melihatnya dari jauh. Tak berapa lama, temanku Tika mendatangi Ian, lalu mereka berjabatan, ketawa-ketiwi gak karuan. Ternyata mereka sudah saling kenal. Oh, Tika, ayo segera menoleh dan panggil aku. Please! Kenalkan aku padanya. Please, Tika...

Doaku terjawab. Tika memperkenalkan satu demi satu anggota teaterku. Tiba giliranku, sumpah, deg-degan hebat. Semoga jantungku tak copot di depannya.

"Rani"

"Ian"

That's it! Aku tak sanggup berlama-lama di dekatnya lagi. Aku makin nampak seperti orang tolol nantinya. "Oke, ian, urusan lighting mau dipasang dimana, kamu bisa berkolaborasi sama Rani, ya. Dia ketua artistiknya," tutur Tika bagai petir hebat di hatiku. Aku mengutuk sekaligus berteriak hore. Ini dia yang kutunggu-tunggu. Tapi, aku tak tau harus bagaimana bersikap. Ah, biarkan berjalan apa adanya.

"Ran, sebentar ya. AKu pasang dulu lampu ini di box-nya. Nanti kamu tentuin, taruh disebelah mana," ujar Ian manis yang kusambut dengan anggukanku.

Kelar memasang setiap lampu pada box-nya, Ian membantuku menaruhnya di titik-titik yang sudah kutandai. Tuhan memang baik. Meski canggung pada awalnya, namun bisa cair juga. Sejam kemudian, aku sudah bisa tertawa-tawa dengannya. Dia humoris juga, membuatku makin betah berlama-lama dengannya.

Esok pementasan akan dilakukan siang hari. Aula telah tertutup dengan kain hitam sehingga lighting bakal menciptakan efek yang seru. Malam ini kami semua tidur di Aula, sembari menjaga properti yang ada. Tapi mataku masih mampu terjaga. Aku keluar aula sembari membakar sebatang rokok. Malam ini dingin sekali. Segelas kopi nampaknya enak. Hmm...

Tak disangka, segelas kopi tersebut datang. Aku lebih terpanjat, ternyata Ian yang membawanya.

"Ngopi, neng?" tawarnya.

"Boleh,"

Celotehan ringan khas sahabat pun mengalir. Tak terasa hari sudah pagi, aku bersiap mandi sebelum penonton membanjiri Aula untuk menyaksikan pertunjukan. Sebelum berjalan kearah kamar mandi, Ian memelukku sambil mengucapkan semoga sukses. Ya, aku dipeluk! Meski artinya hanya pelukan sahabat sesama Teletubbies, tapi hatiku seakan berceceran. Oh, Tuhan. Kill me now, God. Ian bilang kalau ia sayang padaku. Entah sayang yang seperti apa, aku pun bilang, "Aku juga menyayangimu,"

Hari demi hari kulewati dengannya. AKu rajin mengunjunginya di kampus "P". Dia pun kerap menemaniku dan bertandang ke kosanku. Tanpa ada isyarat ke jenjang yang lebih, aku hanya bisa menahan perasaan karena buatku amatlah gengsi untuk mengatakan "I love you" lebih dulu. Tetapi sikap kami bagaikan sepasang kekasih. Ia selalu menggandengku atau melingkarkan tangannya di pinggangku di depan orang-orang. Kenapa, Ian? Kenapa kau melakukan ini tanpa men-sah kan hubungan kita? Apakah kita sudah jadian atau belum?

Tak hanya aku yang gemas dengan ketidakjelasan status hubungan ini, orang-orang di sekitar Ian dan aku pun ikutan gemas. Teman-teman Ian yang kerap kujadikan tempat curhat sering menggoda Ian untuk secepatnya melamarku. Boro-boro dilamar, bilang cinta aja belum pernah. Kalau sayang, ribuan kali. Ah, tak taulah. Aku kadang menangis pada Tika dan Lina, dua sahabatku yang juga kenal pada Ian. Mereka hanya bisa berkata dengan sederhana, "Yang penting kamu sudah tahu kalau dia sayang padamu," ujar Tika. Ia benar, hal itu cukup membuatku tenang.

Selama 5 tahun aku simpan perasaan itu. Meski intensitas pertemuanku dengannya berkurang, karena aku sibuk skripsi, tetapi aku tetap merawat rasaku padanya. Entah kenapa, aku percaya bahwa ia akan mengatakannya. Akan mengatakan cinta padaku, walau aku tak tau kapan. Tapi tatapan matanya tak bisa dibohongi, dia menginginkanku.

Lulus dari almamater, aku mulai jarang berkegiatan teater. Aku pun jarang ketemu Ian, walau sms masih melayang sesekali menanyakan kabarnya. Kami terpisah oleh keadaan, walau begitu, ia sangat merindukanku. Hal itu dibuktikan dengan isi sms-nya. Tetapi sayang, keterbatasan memori inbox membuat sms-nya harus rela kuhapus. Kamu percaya aku sayang padamu kan, Ian?

Aku diterima bekerja di salah satu perusahaan media terkemuka di Jakarta. Padatnya jadwal liputan membuatku semakin jauh dari Ian. Lupa? Tidak! Karena aku masih deg-degan saat seseorang menyebutkan namanya. Ah, Ian, Kutunggu kau di masa depanku. Aku masih percaya pada rasaku.

Hingga suatu hari, di Minggu cerah ceria, aku mendapat tugas meliput di daerah Bogor. Wah, bisa mampir ke kosan Tika dan Lina, pikirku. Aku pun pergi lebih awal agar bisa bercengkrama dengan dua sohibku itu.

Tiba di kosan mereka, ternyata Tika dan Lina bersiap-siap pergi. Dilihat dari busananya, mereka sepertinya hendak menghadiri pernikahan alias kondangan. Aku pun segera melancarkan rayuan agar mereka mengurungkan kepergiannya. Aku baru saja datang, padahal jarang-jarang punya waktu luang seperti ini.

Tika dan Lina pun berpandangan. Lalu keduanya memandangiku dengan tatapan sayu.

"Kamu pasti belum tahu, ya" ujar Tika.

"Kenapa?" tanyaku penuh selidik.

Berkali-kali mereka meyakinkanku agar tidak shock, tidak menangis, tidak meraung-raung, tidak melakukan tindakan yang bodoh, tidak melakukan hal-hal gila dan lain sebagainya. Ada apa ini?

"Ian menikah hari ini," ujar Lina dan Tika, cepat namun terdengar lirih.

Bagaikan listrik, aku korslet sebentar. Diam, seperti tak bernyawa. Tubuhku lemas namun jantungku masih berdetak meski pelan. Oh, Tuhan, cobaan apa ini? Air mataku menitik satu demi satu. Entah kenapa tak bisa sampai deras. Aku harus tegar. Toh, Ian dan aku tak pernah bersatu dalam ikatan cinta, kenapa harus merasa kehilangan?

"Aku gak pa pa, kok. Santai saja. Ya udah, aku liputan, ya," ujarku langsung pergi. Kupakai sepatuku dan bergegas menuju stasiun terdekat, memesan tiket dan langsung terduduk di bangku yang kosong.

Perasaanku hampa. Aku tak bisa menangis, tak bisa marah, tak biasa kecewa, tak bisa merasa. Aku tau aku tak baik-baik saja, tapi aku bisa mengatasinya. Ah, sudahlah, jalani saja pekerjaanku dengan sebaik-baiknya. Ian, baik-baiklah dengan istrimu. Aku mendoakan.

Hingga suatu hari, ada sebuah sms masuk. Dari Boni, temannya Ian. Ada apa, ya?

"Aku ingin ketemu kamu. Ian menitipkan sesuatu. Dia ingin kamu menerimanya," demikian isi sms dari Boni.

Duh, logika inginkan aku tak menemui Boni, Tetapi hati bersikeras untuk pergi. Oke, kali ini aku harus mengalah pada hatiku. Semoga benar langkahku ini.

Boni pun memberikan bingkisan kecil dan sebuah surat. Segera kubuka bingkisannya terlebih dahulu. Sebuah kalung berbandul kayu dengan ukiran Bali. Bagus. Aku memang suka barang etnik.

Kali ini kubuka suratnya. Ini tulisan Ian!

"Ran, ketika kamu baca ini, aku sudah menjadi milik seseorang. Seseorang yang sama kusayangi seperti dirimu. Dia menemaniku di saat aku galau denganmu. Dia juga yang memberikan solusi kepadaku mengenai segala permasalahan yang sedang kuhadapi. Aku terlalu sering bersamanya dalam duka tetapi sebaliknya, aku selalu berada dalam suka bersamamu.
Maaf Ran, aku sampai pada satu titik dimana semua kebaikan dirinya harus kubalas. Dia terlalu banyak berkorban untukku, Ran. Amat sangat kurang ajar jika aku tak mebalas hutang budi ini.
Ran, apapun yang ada di pikiranmu saat ini. Tak ada yang bisa menggantikan posisimu pada otakku. Kelak waktu akan menjawab semua kegundahan pada kita saat ini."

Tubuhku gemetar. Aku meremas surat itu dan membuangnya. Perasaanku campur aduk. Aku tak tahu. Aku menggeleng. Ian, kenapa kamu masih membuatku gamang? Apakah aku harus mempertahankan rasa ini, Tuhan? Aku betul-betul tak tahu, tak tahu, tak tahu!

Sudah 4 tahun sejak ia menikah. Mungkin anda bertanya, apakah perasaanku masih ada? Coba sebutkan namanya, jika nafasku tertahan sebentar, berarti iya. Rasa itu masih ada. [Margareth Lim / Tarakan]

***
Mari kita bersama-sama dukung Tionghoanews dengan cara kirim berita & artikel tentang kegiatan & kejadian Tionghoa di kota tempat tinggal anda ke alamat email: tionghoanews@yahoo.co.id

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: BUDAYA

ARTIKEL: KEHIDUPAN

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: BERITA