KISAH | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Minggu, 04 Desember 2011

CHINESE CRY (9A): 25 TAHUN CINTA MATI BERSAMA

Senja temaram. Burung-burung bernyanyi sambil pulang ke sarang dengan perut kekenyangan. Imei menggoyang-goyang dahan rambutan. Bunyi kantongan plastik berisik menimpa dedaunan.

" Paman percaya pada ramalan?" tanya Imei sambil bergantungan dan berayun di dahan yang paling rendah.

Amung duduk di pematang menatap tingkah keponakannya, ia menggelengkan kepala.

" Kata Papa, ia akan meninggal di bulan ketujuh,"  tambah Imei. Ia baru pulang dari penggilingan dan sengaja mengunjungi Amung untuk memberitahukan hal itu.

" Dia bilang begitu ?" Amung memperlihatkan wajah kaget yang tak dibuat-buat.

" Ya. Setelah berbulan-bulan sakit, kini tubuhnya  tinggal tulang berbalut kulit. Setiap hari hanya makan beberapa suap. Setiap malam tak bisa tidur kalau tidak meneguk sebotol arak." cerita Imei.

" Arak ?" Amung berseru kaget.

" Ya, apa Paman tak tahu ?" Imei menghentikan kegiatan dan bersandar pada batang pohon.

" Tak mungkin !" serunya keras. "  Aku kenal Akung dari kecil. Ia alim dan pendiam, belum pernah kulihat ia meminum arak, bahkan di pesta sekalipun,"

" Kalau begitu, Paman sama sekali tak mengenalnya." Kata Imei dengan nada kecewa.

" Siapa bilang aku tak mengenalnya? Sejak kecil dia itu egois, jaga image, jaga kepentingan pribadi, mementingkan diri sendiri, perasaan orang lain sama sekali tak dihiraukannya." Tukas Amung segera. Nafasnya  memburu oleh suara bernada kecemburuan.

" Kalau tak menghiraukan perasaan orang lain, kenapa setiap panen ia menggantung satu stel pakaian dan rokok  buat Paman ?" bantah Imei.

Amung menatap Imei seakan-akan tak memercayai pendengarannya," Kau ! Kau membelanya ? Setiap saat ia memukulmu,  membotaki rambutmu, dan hampir membunuhmu, tapi kamu malah membelanya?" tuduh Amung dengan nada iri yang semakin kentara.

" Tak tahulah, Paman. Aku  merasa jalan pikiran Papa tak sesederhana yang kupikirkan. Setiap hari kulihat ia bersikap baik terhadap orang lain. Mungkin benar ia memukuli kami karena tindakan kami…  salah." Jawab Imei.

" Kamu ! Apa yang dijanjikannya sehingga kamu berubah pikiran? Kamu membelanya ? Lupakah pada rasa sakit yang selama ini menderamu ?" mata Amung melotot dengan  lebar.

" Kalau Paman menyangka aku membela Papa karena menginginkan penggilingan, Paman salah ! Papa sudah berpesan padaku untuk menjaga penggilingan dengan baik, tapi itu hanya sampai Koko Luk pulang. Setelah Koko Luk pulang, aku diharuskan menyerahkan penggilingan padanya." Imei tak berani ngomong terlalu blak-blakan lagi, takut Amung kalap seperti dulu. Ia berdiri di bawah pohon.

" Gila ! Lukman mempermalukannya habis-habisan, tapi dia tetap mewariskan penggilingan padanya. Sinting! Mungkinkah menjelang akhir hayatnya, ia berubah menjadi gila?" Amung bertanya bagai orang bodoh.

" Bagi Papa, Koko Luk tetap putranya, penerus tradisi dan generasi. Tak ada yang bisa mengubah takdir ini. Katanya, Koko Luk cuma mencari bayang-bayang kehidupan. Kalau tak menemukan, suatu saat pasti kembali. Ia percaya Koko Luk putra yang berbakti."

Amung  tercengang mendengar kata-kata Imei. Mungkin sedang memikirkan apa yang barusan didengarnya -yang tidak sesuai dengan jalan pikirannya.

" Papa meramalkan usianya paling lama hanya sampai bulan ketujuh. Kalau itu benar, selagi papa masih hidup, apa Paman  tak bersedia menjenguknya ?" tanya Imei.

Kepala Amung terdongak memandang keponakannya. Tampak sekali kekagetannya. Lama setelah tidak mendapat jawaban, perlahan-lahan Imei bergerak menjauhi Amung yang masih tetap terbengong di tempat semula.

Setelah Imei tak tampak, barulah Amung berteriak dengan keras. " Gila ! Serba tak masuk akal ! Yang Siau Kung, apakah kamu sedang mempermainkanku !" Ia berteriak sambil berlarian ke gubuknya.

Ketika melewati kolam itik, Imei sempat melihat seseorang bertopi biru berjalan menjauhi kolam. Imei tidak memanggil. Yogi sedang membopong ramban -dedaunan untuk makanan kambing. Di permukaan kolam  beberapa pasang itik putih sedang berenang dengan riangnya, di belakangnya mengikuti beberapa itik-itik kecil yang mungil. Tahun demi tahun berlalu. Itik putih semakin banyak. Imei tersenyum menatap panorama itu. Ketika ia teringat bulan ketujuh tinggal 2 bulan lagi, wajahnya berubah kelam.

" Apakah Papa akan memintaku supaya tidak menikah dengan Yogi ? Apakah Papa akan tetap memintaku menerima lamaran Siegit?"

Siegit tampaknya belum putus asa. Berkali kali dia datang ke kelenteng Kertosari dan pura pura singgah ke penggilingan.

" Kalau Papa meminta, apakah aku harus  patuh ?" Ia bertanya dengan pikiran kalut.  " Kalau di hari-hari biasa, mungkin aku melawan. Tapi, jika Papa meminta di saat  ajalnya menjelang, sanggupkah aku menolaknya ? Sanggupkah aku menolak amanat seseorang yang sedang tiba ajalnya? " Hati Imei bimbang, sangat bimbang.

Saat Asun berangkat ke kota menjual beras, Imei memintanya mencari Lukman. Imei berharap abangnya pulang sebelum bulan ketujuh. Namun Asun pulang dengan tangan hampa. Tak ada yang tahu di mana Lukman berada. Asun meminta teman-teman Lukman, jika bertemu Lukman, mengabarkan  Akung sedang sakit keras.

Purnama di bulan keenam itu sangatlah indah. Akung meminta Imei menuntunnya  ke bangku di bawah pohon durian. [Deri Chua / Jakarta / Tionghoanews]
Sambungan: 1A/1B, 2A/2B, 3A/3B, 4A/4B, 5A/5B, 6A/6B, 7A/7B, 8A/8B, 9A/9B, 10A/10B, 11A/11B, 12A/12B, 13A/13B, 14A/14B, 15A/15B

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: BUDAYA

ARTIKEL: KEHIDUPAN

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: BERITA