KISAH | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Minggu, 04 Desember 2011

CHINESE CRY (8A): PEREMPUAN LARINYA KEPELUKAN LELAKI

Musim  panen tahun itu hasilnya melimpah. Banyak sekali beras yang tertampung di penggilingan. Gudang  menjadi penuh. Akung bolak-balik membawa beras dan menjualnya ke pasar kecamatan, kadang-kadang ke pasar Kabupaten. Perjalanan ke pasar kecamatan membutuhkan waktu sekitar 3 jam.   Kalau ke Kabupaten bisa 5 sampai 8 jam -tergantung cuaca dan kondisi jalan. Imei senang Akung ke kota, pulangnya ia bisa berjalan sendirian dan melepaskan kangen  pada kekasihnya.

" Kamu sudah banyak berkorban untukku, Mei. Aku belum bisa memberimu apa-apa." Yogi sudah mendengar pergunjingan seputar lamaran Siegit hingga pembatalannya.

" Cinta adalah kesediaan untuk berkorban, Yo. Kamu tak harus memberiku apa-apa. Cukup memberiku ketegaran dan kedamaian hati."

" Itik-itik putih kita bertelor lagi. Aku mengeramkan telurnya." Yogi memberitahu. Mereka berjalan beriringan.

" Semoga semua anaknya berwarna putih. Aku suka sekali itik putih…" bisik Imei.

" Rambutmu sudah panjang…" Tangan Yogi meraba rambut Imei. Imei membiarkan. Keduanya bertatapan. " Aku semakin tertinggal darimu, Mei…" desah Yogi.

" Kenapa kamu bilang begitu ?"

" Semua orang di desa kita tahu  abangmu sudah dua kali melarikan diri karena bertengkar dengan Papamu. Kalau abangmu tak kembali, kamulah pemilik penggilingan padi. Aku… aku hanya seorang pengangon itik, sungguh tak serasi." ucap Yogi minder.

" Aku tidak mempersoalkannya, Yo. Aku hanya mengharapkan suatu saat kita menikah dan hidup bahagia, seperti itik putih kita, bertelur dan anaknya dua belas." Kata Imei terputus-putus, tersipu-sipu, yang semakin menambah manis lesung pipitnya. Yogi memandang Imei dengan tatapan semakin kagum. Tak ada ucapan yang terujarkan. Dua pasang tangan yang saling menggenggam erat menyiratkan segala-galanya.

………

Hampir seminggu Akung bolak-balik menjual beras ke kota. Suatu malam Akung tak pulang, dan keesokan harinya seorang polisi membawa kabar buruk ke penggilingan. Akung kecelakaan dan sedang berada di rumah sakit kecamatan. Imei kaget mendengar berita itu. Ia mengucapkan terima kasih dan segera  pulang memberi tahu Mamanya. Penggilingan ditutup sementara.

Imei bersama  Lan Nio dan Asun bergegas menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan Imei selalu merangkap tangan berdoa agar Akung tidak apa-apa. Sampai di rumah sakit mereka mendapati Akung masih belum sadarkan diri. Luka yang dideritanya cukup parah.

Imei mencari polisi yang menemuinya tadi. Polisi itu mengatakan mobil Akung menabrak pohon di pinggir jalan. Mungkin sopirnya terlalu lelah dan jalanan licin akibat hujan. Imei mengucapkan terima kasih dan memberikan sebuah amplop sebagai tanda terima kasih.

Seminggu Akung terbaring di rumah sakit. Imei pontang-panting antara  penggilingan dan rumah sakit menjenguk papanya. Hari kedelapan Akung sadarkan diri.  Lan Nio kadang-kadang menjaga di rumah sakit, kadang-kadang pulang. Melihat Akung sadarkan diri, keduanya merasa senang.

" Aku ingin pulang," kata Akung ketika perawat datang memeriksa.

" Paling cepat seminggu lagi bapak baru boleh pulang. Luka di dada bapak belum boleh banyak bergerak." Perawat memberitahu. Akung mendengus kesal mendengarnya.

Seminggu kemudian Akung diijinkan pulang. Sesampainya di rumah Lan Nio mengadakan sembahyang persembahan pada Dewa-dewa sebagai ungkapan terima kasih atas keselamatan yang diterima suaminya. Para handai taulan berdatangan. Akung senang melihat keramaian rumahnya. Melihat keramaian yang ada, Imei menyelinap sambil membawa makanan menemui Amung. Tak lupa juga makanan halal buat Yogi.

" Apa kata dokter ?" tanya Amung pada Imei.

" Dua tulang rusuk di dadanya bergeser akibat benturan keras. Mulai sekarang Papa tak boleh bekerja keras."

" Sepantar dengan dosa yang dibuatnya." Ucap Amung.

" Kenapa Paman  menyumpahi Papa ?" tanya Imei.

" Kamu belum kenal siapa Akung. Kalau kamu tahu apa yang telah dibuatnya di masa lalu, kamu akan menyumpahinya habis-habisan!"

" Kalau Paman tak cerita, bagaimana aku bisa tahu ?" pancing Imei.

" Kalau dia sudah mati,  baru aku cerita."

Imei kian penasaran mendengar kata-kata Pamannya. Putuslah harapannya untuk mengetahui penyebab pertikaian antara Akung dan Amung, antara Akung dan Sobirin, serta sebuah lukisan yang tergantung mistrius di kamar loteng.

………

Tahun 1988 disebut  tahun Naga, yang oleh Keturunan Tionghoa dianggap sebagai tahun yang penuh berkah, justru awal tahun itu panen merosot tajam. Orang-orang menyalahkan ulah manusia yang kian banyak dosanya. Imei tak memedulikan hal itu. Tugasnya kini semakin berat. Dengan sakitnya Akung berarti semua tanggung jawab sebagai kepala keluarga jatuh ke pundaknya.

Kesehatan Akung setelah pulang  semakin memburuk. Kadang-kadang  tak bisa bangun sama sekali. Jika duduk terlalu lama, ia mengeluh dadanya sakit, pusing, dan mual.

Lan Nio dan Asun sudah membawa Akung berobat ke berbagai tempat. Jika di bawa ke dokter, jawaban dokter bersifat medis. Tulang rusuk Akung patah, beberapa persendian bergeser akibat benturan keras,  jika terlalu banyak bergerak akan menyebabkan nyeri. Dokter memberinya obat penahan nyeri. Obat itu hanya mengatasi jika terserang nyeri, tapi tidak menyembuhkan secara total. Jika dibawa ke Sinshe, Akung dikatakan mengalami sirkulasi darah yang tak lancar. Beberapa titik darahnya tersumbat sehingga menimbulkan kesakitan bila dadanya digerakkan. Pengobatannya juga tak pernah  tuntas. Jika di bawa ke Kelenteng, para Tatung –pengusir roh jahat, mengatakan Akung terkena kutukan karena karmanya di masa lalu. Segala pengobatan dilaksanakan, segala doa dipanjatkan, segala persembahan dihelatkan, hasilnya Akung tetap terbaring  dan semakin sakit.

Berlarut-larutnya pengobatan membuat Akung kesal dan uring-uringan. Kadang-kadang ia marah tanpa alasan, membanting-banting barang, atau  mengibas makanan yang dibawa Lan Nio hingga berserakan.

" Kamu Sundal Sialan ! Aku jijik melihatmu. Kalau aku mati, aku akan menjadi hantu dan memakan jantungmu !" maki Akung. Lan Nio menundukkan wajah dan membersihkan kamar. Imei merasa kasihan melihat Mamanya yang hanya bisa diam mendapat perlakuan kasar itu. Lan Nio keluar dengan kepala tertunduk. Tapi, meski sekasar apapun perlakuan Akung, ia tak pernah melihat Mamanya meneteskan airmata. Imei merasa salut atas ketabahan Mamanya.

" Kenapa Papa memaki Mama dengan makian kasar begitu? Kata-kata itu sepertinya tak pantas diucapkan pada istrinya,"  tanya Imei.

" Dia laki-laki pemarah, Mei. Semoga kamu tidak mendapat suami seperti dia," jawab Lan Nio.

" Tapi, sebelum malam cekikan itu, rasanya aku tak pernah mendengar Papa memaki Mama dengan sebutan demikian," Imei mengemukakan kejanggalannya.

" Lelaki yang gagal mudah kalap, Mei, pahami itu !" kata Lan Nio sambil berlalu sebelum mendapat pertanyaan yang lebih berat. [Deri Chua / Jakarta / Tionghoanews]

Sambungan: 1A/1B, 2A/2B, 3A/3B, 4A/4B, 5A/5B, 6A/6B, 7A/7B, 8A/8B, 9A/9B, 10A/10B, 11A/11B, 12A/12B, 13A/13B, 14A/14B, 15A/15B

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: BUDAYA

ARTIKEL: KEHIDUPAN

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: BERITA