KISAH | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Jumat, 28 Januari 2011

LETTER FROM FATHER

Sebatas itu saja Yuri sanggup menorehkan tinta penanya ke atas selembar kertas putih. Matanya tertuju lagi pada sebuah pigura di atas meja samping kasur. Ia pandangi dirinya memangku Lana yang ketika itu berumur 2 tahun. Memandang lama hingga matanya berkaca-kaca. Memandang lama hingga ia jatuh tertidur.

"Mama, kapan kak Lana pulang?" tanya Alina putri bungsu Mala. Perempuan berusia 50 tahun itu masih tampak segar parasnya. Mala membelai rambut Alina yang duduk di sampingnya. "Mama nggak tahu, sayang. Kita doakan saja kak Lana segera pulang, ya?!" jawab Mala sambil tersenyum.

Tampak gigi depannya rapi dan bersih. Keindahan Mala sedari muda masih terjaga hingga tuanya. Ia masih kuat melahirkan Alina 8 tahun yang lalu. Ia pun begitu disayangi Lana. Mala bagaikan sahabat terdekat bagi Lana sampai 23 tahun usia Lana. Sampai suatu masa yang memisahkan Mala dan Lana. Suatu masa ketika Lana memilih untuk pergi meninggalkan Mala, Alina, dan Yuri. Yuri suami Mala yang begitu terpukul dengan minggatnya Lana bersama pacarnya yang entah siapa.

Lima tahun Lana menghilang. Semua usaha dikerahkan untuk mencari Lana. Namun, Lana hilang bagai ditelan bumi. Lana tak pernah ditemukan. Bahkan, pacarnya yang diduga membawa kabur Lana juga tak pernah ditemukan. Semenjak kehilangan Lana, Yuri pun sering jatuh sakit. Sakit diabetesnya menjadi tak terkendali. Setahun kehilangan Lana, Yuri merelakan kaki kirinya diamputasi. Dua tahun kemudian, kaki kiri itu harus diamputasi lagi sampai lututnya. Dan, sekarang tahun kelima kepergian Lana, Yuri tak memiliki kedua kakinya lagi. Penyakitnya bertambah parah. Tubuh Yuri kurus kering. Yuri menjadi tak berdaya. Beruntung ia masih didampingi oleh Mala yang setia. Mala dengan aura kecantikan yang tak sirna dimakan usia.

"Mala, bisa bawa aku ke luar? Aku rindu sinar matahari pagi." Yuri meminta bantuan Mala bangkit dari kasurnya, berpindah ke kursi roda. Mala mendorong Yuri dengan kursi rodanya. Di teras rumah, Yuri dan Mala menikmati hawa sejuk pagi. "Mala, tidakkah kau merindukan Lana?" tanya Yuri. "Ya, aku rindu Lana." jawab Mala ringkas. "Tidakkah Lana merindukan kita juga, Mala?" tanya Yuri lagi dengan suara tenang. "Aku tak bisa menjawab pertanyaanmu itu." Mala menjawab dengan kesah. "Jika Lana rindu, ia pasti kembali pada kita." Akhirnya Mala berkata, namun segera berlalu dari Yuri. Yuri menolehkan kepalanya untuk melihat Mala masuk ke dalam rumah. Ada getir yang ia rasa begitu sangat. Jadi selama ini, Lana tak pernah merindukan dirinya dan Mala? Pertanyaan-pertanyaan yang terus mengaduk pikiran Yuri.

Yuri memandangi langit. Gemawan putih berarak. Ia bayangkan ada pelangi di sana. Lalu, turunlah seorang bidadari melewati tangga di pelangi itu. Menghampirinya yang sekarang cacat. Seorang bidadari yang menyerupai Lana. Memberinya sepasang kaki yang kuat. Sepasang kaki yang membuatnya bisa berlari kencang. Berlari mengejar Lana. *** "Lana..." panggil Yuri menggelegar. Lana terus berlari meniti tangga rumahnya. Lana tak menggubris lagi kata Yuri, ayahnya. Lana membanting pintu kamarnya. Kesabarannya habis. Tekadnya sudah bulat meninggalkan rumah. Ia sesakkan tas ranselnya dengan segala keperluannya. Ia buka jendela kamar. Di luar kelam. Ia harus berhati-hati melangkah. Lalu, terdengar ketukan di pintu. Suara mungil memanggil namanya."Kak Lana..." begitu pelan dan halus.

Alina, batin Lana. Ia kembali ke pintu kamar. Haruskah ia berpamitan pada Alina? Adik perempuan yang membuatnya merasa tersingkir dari ayah dan ibunya. Lana tak membenci Alina. Lana menyayangi Alina. Perhatian ayah dan ibu memang lebih tertuju pada Alina. Lana tak mempermasalahkan itu. Tapi, Lana tak mengerti kenapa ayahnya menjadi lebih keras padanya. Lana merasa terbuang dari pangkuan manja ayah. Lana dididik lebih keras. Tak ada lagi keinginan yang selalu dikabulkan ayah. Lana mencoba mengerti. Ia bukan lagi anak semata wayang yang digadang-gadang selama belasan tahun. Ia memang harus lebih dewasa. Mungkin ayahnya ingin ia menjadi kakak yang teladan bagi Alina. Ya, Lana mencoba mengerti itu, walau ia terus merasa tersingkir. Namun, suatu hal membuat ia harus lari dari rumah. Permintaan Lana untuk menikah dengan pacarnya tidak diindahkan. Lana masih muda, Yuri tak ingin anaknya terburu-buru. Lagian, Yuri tak pernah suka sama kekasih Lana yang pelukis itu.

Lana masih berdiri di balik pintu. Mencoba meraba apakah Alina masih berdiri di sana. Adiknya masih usia 3 tahun, Lana merasa bersalah tak bisa jadi kakak yang baik bagi Alina. Ia putar knop pintu. Pelan, mengintip. Alina masih di sana. "Jangan pergi, kak Lana." kata Alina sedih. Lana berlutut, memeluk Alina. Bagaimana Alina bisa tahu ia ingin kabur. "Maafkan, kak Lana, Alina. Kak Lana harus pergi. Sebentar saja, kok. Okay? Kamu masuk kamar, ya. Jangan bilang-bilang, ayah." Lana menatap mata Alina yang tak bersalah. Dada Lana sesak. Tidak, ia tak ingin menangis di depan Alina. Lana kembali menutup pintunya. Pecah sudah tangisannya. Ia tak ingin lama-lama lagi. Kekasihnya sudah menunggu di seberang jalan depan rumah. *** Suatu malam, Yuri berbaring di kasurnya. Di laci meja samping, ia ambil kertas yang pernah ia tulis beberapa hari lalu. Malam ini, ia tepat berusia 70 tahun. Dengan tangan gemetar, ia coba ukirkan lagi kata-kata untuk Lana.

Lana, anakku tersayang, Apa kabarmu, nak? Semoga kau baik-baik saja di mana pun kau berada. Kapan kau kembali pulang, nak? Tidakkah kau rindu pada ayah? Terlalu lama kau pergi dari pelukan ayah. Ayah sangat merindukanmu, Lana. Sangat rindu hingga harus kutuliskan di atas kertas yang kelak bisa kau baca. Lana, maafkan atas keegoan ayah. Ayah rasakan menjadi manusia tak berarti ketika kau pergi. Ayah menjadi keras padamu karena ayah sangat menyayangimu, Lana. Ayah tahu anak itu tak baik untukmu. Tapi kau bersikeras juga. Kau malah memilih kabur bersamanya.

Kuharap kau benar baik-baik saja bersama pilihanmu itu. Lana, anakku yang sangat cantik bagai bidadari. Tidakkah kau rindu juga pada ibumu? Ibumu sungguh perempuan kuat, Lana. Ia turunkan kecantikannya padamu. Begitu pun kekuatannya semoga kau juga kuat seperti Mala ibumu. Lana, ketika kau baca surat ini, mungkin ayah sudah tak ada lagi. Mungkin ayah sudah pergi dengan kenangan dan kerinduan padamu. Tidak usah khawatir, sayang, ayah pastilah pergi dengan bahagia bersama kenangan-kenangan dan kerinduan itu. Ayah berharap kau tetap akan kembali pulang ke pelukan ibumu, ke pelukan Alina, adikmu yang periang seperti dirimu dulu ketika kecil. Alina-lah sahabat ayah sejak kau pergi.

Alina selalu sabar menghadapi ejekan kawan-kawannya terhadap ayah. "Ayah Alina tua seperti kakek-kakek," begitu Alina mengadu pada Ayah tapi tetap dengan hati riang. Lana, pastilah kau juga merindukan Alina, bukan? Lana, suatu saat nanti, ayah percaya, kau pasti akan mengerti. Semua hal yang terjadi di keluarga kita bukanlah tanpa arti. Semuanya akan tergambar indah ketika nanti kau mengerti, semuanya demi kebaikan kita bersama. Demi kita yang selalu saling menyayangi. Kembalilah pada kehangatan keluargamu, Lana. Jangan pernah kau tinggalkan lagi. Dengan penuh cinta segenap jiwa, Yuri, ayah Lana dan Alina.

Yuri menitikkan air matanya. Ia lipat kertas itu dan ia masukkan ke dalam amplop bercap lambang huruf kanji bertuliskan Yuri. Ia simpan di dalam laci meja samping kasur. Mala, istrinya yang anggun dan setia, telah terlelap di sampingnya. Ia kecup kening Mala, pelan, perlahan. Yuri memejamkan matanya. Memori-memori masa lalu berputar ulang. Surat wasiat sudah ia tulis bersama pengacaranya. Semua harta dibagi dua sama rata untuk Lana dan Alina. Surat istimewa untuk Lana pun sudah ia siapkan.
Yuri merasa siap untuk pergi malam ini. Raganya pun membeku setelah jiwanya yang lima tahun lebih dulu membeku. *** Lima tahun yang lalu. "Cepat, Lana!" suara pria yang menunggangi motor di seberang jalan depan rumah Lana. Lana membonceng di belakangnya. Motor segera melaju. Ia pandangi lagi rumah mewah yang ia tempati belasan tahun. Menangis. Hatinya tercabik luka. Ia merasa sangat bersalah.

"Kenapa kita ke sini, Ndru?" tanya Lana ketika motor yang ditumpanginya berhenti di sebuah gang gelap. Di depan rumah tak terurus baik, Lana keheranan. Lelaki berambut gondrong sebahu itu hanya diam, sambil menarik lengan Lana. "Lana, sudahlah. Kamu diam saja. Aku tahu apa yang harus aku lakukan. Ini demi kita, demi kamu." Lana benar-benar tak mengerti. Ia dijanjikan pergi ke stasiun kota. Ia akan tinggal bersama di sebuah kota terpencil. Jauh dari pantauan keluarga Lana. Untuk sementara waktu. Sampai ia melahirkan dan menitipkan anaknya di panti asuhan di kota itu.

"Aku tidak mau menggugurkan kandungan ini, Ndru." Lana terus berteriak histeris. Ia dipaksa patuh pada kehendak lelaki yang ia kira benar menyayanginya. Lana teringat ayah. Tak berapa lama kemudian, Lana tak sadar diri. Di suatu pagi yang masih berkabut, sebuah kantong hitam terikat dilempar ke arus sungai yang mengalir deras. Lelaki bernama Ndru berhasil menjalankan rencana busuknya.

Kehamilan Lana yang sudah tiga bulan telah digugurkan paksa pada seseorang yang entah siapa. Namun, komplikasi terjadi. Lana tak kuat menahan cara aborsi yang demikian menyakitkan. Lana tewas. Ndru bersekongkol dengan pengaborsi janin Lana. Tubuh Lana dimutilasi. Dan di arus deras sanalah potongan-potongan tubuh Lana dibuang.

Disalin oleh: Mei-ing

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: BUDAYA

ARTIKEL: KEHIDUPAN

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: BERITA