Anak Krakatau diprediksi masih puluhan bahkan ratusan tahun lagi bakal memuntahkan lahar, tapi entah mengapa aku menginginkannya saat ini juga. Ngilu di ulu hati semakin menjadi. Aku mencoba mencari pengobatnya dengan menghirup angin malam sambil bersandar di bawah pohon Akasia di depan rumah. Bintang masih bisa dihitung dengan jari. Rembulan berbentuk sabit sesekali menyembul, seakan mengolokku yang terlalu rapuh mencintai wanita yang tak kunjung mengerti isi hati.
“Lebih baik dicintai daripada mencintai,” itu kalimat Andra dua hari lalu. Tepat setelah ia menyampaikan kabar itu. Kabar pernikahan bidadari yang menyapa indraku di pagi hari. Kejadian itu lima tahun lalu. Tapi seakan baru terjadi kemarin. Kekaguman pada sosoknya yang bersahaja, tertanam dalam benak, melekat dalam kerak hati dan meracuni seluruh denyut nadi. Menjadikan setiap hela nafas yang terhembus adalah namanya, setiap bayangan yang tergambar adalah wajahnya. Ini gila. Lebih gila dari serangan insomnia yang kuderita sejak usia 10 tahun.
Dan ini semakin menyiksa. Di setiap malam, wajahnya menghiasi langit-langit kamar. Puluhan cerita yang terangkai dalam prosa, ratusan puisi hadir begitu saja, dan entah berapa novel yang kudedikasikan untuknya. Tapi rasa itu tak kunjung sirna, bahkan semakin menjadi.
“Tak bosankah kau menjadikannya kekasih yang hanya dalam imaji,” ujar Andra menasihati. Mungkin ia jemu melihatku hanya membisu setelah ia menyampaikan kabar itu. “Saatnya tersadar dari mimpi, bahwa tak selayaknya kau berbuat seperti ini lagi,” Andra menatapku tajam.
Aku mengalihkan pandang. Bulir kecil mengalir dari pelupuk sebelah kanan. Tanpa sengaja. Tak berapa lama, kelopak mata sebelah kiriku pun menghasilkan kristal serupa. Aku menangis. Untuk pertama kalinya aku menangis untuknya. Untuk wanita yang sama sekali tak menyuguhkan hatinya untukku. Bukan sehari dua hari tapi ratusan hari.
Lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk mengamati yang ia lakukan. Andra saja sampai hafal benar perilakuku yang menurutnya seperti orang yang mengidap kelainan jiwa. Mencintai namun tak mau membenci. Itulah ungkapan yang ia sematkan kepadaku karena aku tak kunjung berani menyatakan atau menunjukkan saja secuil hasratku untuk wanita pujaan hatiku itu.
Kadang aku berpikir, butakah mata hati wanita itu, sehingga tak menangkap sedikitpun sinyal yang kuberikan. Meskipun lewat curahan cerita imaji. Aku tak yakin jika ia tak membaca cerpen, puisi, juga novel yang kutulis tentangnya. Apalagi cerita tersebut menghiasi beragam media lokal juga nasional. Rasanya sangat tak mungkin jika ia melewatkan tulisanku begitu saja, secara aku dan dia berada dalam satu kota. Dan aku tahu, ia pun sangat menyukai tulisan sastra. Kabar ini kudapat bukan dari burung, tapi aku pernah memergokinya suatu kali di loper koran Ciceri membeli koran dan majalah di hari Minggu.
Aku masih menangis, untuk apa? Untuk rasa yang tak kunjung memiliki nama inikah? Kutepis bayangan dirinya. Aku kembali ke dunia nyata.
Malam semakin menusuk. Bulan sabit mengoyak habis awan putih di langit. Ia menyembul dengan bangga tanpa penghalang. Bintang-bintang bersinar di kejauhan. Semakin tua malam, semakin ramai bintang berkejaran. Tidak demikian dengan hatiku. Aku kembali ke dalam rumah menuju kamar. Malam yang sangat berat, selain harus melawan insomnia akupun harus melawan dominasi wajahnya yang tergambar jelas di langit kamar. **
Suatu malam yang harusnya aku bahagia. Seperti biasa, aku berselancar di dunia maya. Ia menyapaku begitu saja. Hatiku bergemuruh, antara gembira atau sebaliknya. Sapaannya melalui akun Facebook tak jua kuterima. Selang lima menit kemudian, ia mengirimkan sesuatu ke dinding Facebook ku. Dadaku siap meledak. Gambar itu, lelaki itu, senyum itu, gaun pengantin itu. Seharusnya akulah yang tersenyum dalam gambar berbalut pakaian putih lengkap dengan dasi yang berdiri di sampingnya. Bukan dia. Lelaki yang tak kutahu asal usulnya.
Aku termangu. Bisu sejenak. Mengatur nafas. Memastikan bahwa aku cukup waras untuk melakukan hal-hal di luar logika. Aku tentu tak akan menghancurkan reputasi nama baikku sebagai penyandang psycho hanya gara-gara kartu undangan yang dikirim melalui jejaring maya.
Aku hanya menuliskan satu kalimat di bawah gambar itu. “Terimakasih, semoga kau bahagia di sisi-Nya.”
Aku tersenyum puas. Buatku, lebih baik ia bahagia di sisi-Nya dibandingkan bersama lelaki itu. ***
Langit terasa meranggas. Berkali-kali aku mengelap peluh bercucuran yang membanjiri tubuhku. Dalam hal ini, sedikitpun aku tidak menyalahkan perubahan cuaca karena pemanasan global. Satu hal yang kujadikan kambing hitam, ketidakberdayaanku menaklukan emosi yang membuncah. Lima menit lagi sang bidadari pagi siap hadir di depanku.
“Bisakah kau menunggu lima menit lagi,” begitu ujarnya dalam SMS yang ia kirim enam menit lalu. Lengkap. Tanpa singkatan. Namun penuh penekanan. Aku harap, ia dalam keadaan tenang, seperti saat ia memainkan jemari di atas tuts ponsel miliknya untuk menjawab pesanku yang penuh dengan kegelisahan.
“q d hlte dpan, dmna?” begitulah bunyi SMS yang kukirim delapan menit lalu.
Seperti yang ia janjikan, ia menghampiriku dengan wajah syahdu. Di balik wajah yang tenang itu, aku tahu, ia siap menikam dengan kata-katanya yang tajam usai aku mengutarakan kegundahanku.
“Maaf membuatmu menunggu,” ujarnya di antara rinai hujan yang membasahi halte Kebon Jahe sore itu. Sedikitpun ia tak menyapaku dengan kata, “apakah sudah lama menunggu.”
Tidakkah ia peka melihat bajuku yang cukup kuyup karena menembus rintik hujan hanya tergesa untuk menemuinya di halte itu. Sore itu. Aku mendesah lirih. Kutunggu ia melontarkan kalimat selanjutnya. Aku tersenyum “Tidak terlalu lama untuk menunggumu,” ujarku lirih. Aku melempar pandang, tak berani bersirobok menatap matanya yang syahdu yang selalu membuatku rindu. “Aku hanya ingin minta bantuan pada Kakak,” ujarnya.
Aku mengernyitkan dahi. Bantuan apakah yang bisa kuberikan pada orang yang kukasihi itu. Apapun, akan kulakukan untuknya. “Mohon sampaikan salamku pada teman-teman untuk menghadiri ritual pernikahanku minggu depan,” tangan mungilnya menyerahkan beberapa helai undangan yang terbungkus rapi dalam plastik merah jelaga.
Dadaku berdenyut. Sekit di ulu hati langsung menyerang. Tak tahukah ia apa yang kurasakan saat ini. Aku masih bisa menerima jika ia tak memiliki rasa yang sama meski setetes, tapi tak pekakah ia untuk tidak melakukan itu terhadapku, seseorang yang mencintainya setulus hati meski tak mengutarakannya karena takut dibenci.
Aku menunduk, menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. “Oke, aku akan bantu. Selamat ya,” aku hanya berujar begitu. Nada suaraku terlihat begitu riang. Biarlah, ia takkan tahu yang sebenarnya terjadi dalam hati. Bukankah cinta yang sejati tidak memaksakan untuk memiliki.
Ia menyerahkan tumpukan undangan itu ke arahku dan segera kusambut. Hatiku berdesir saat kulitnya yang halus tak sengaja bersentuhan dengan kulitku. Aku tersenyum setulus mungkin. “Kak, mengapa tak menjawab obrolanku di Facebook semalam,” ujarnya perlahan.
Aku bisu. Memilih diksi yang tepat untuk menutupi keadaan yang sebenarnya. “Aih, maaf. Aku tidak terlalu memperhatikan siapa saja yang online semalam dan mengajakku chatting,” ujarku dusta.
Aku tak kuasa lagi dengan keadaan itu. Akhirnya aku pamit dengan alasan masih banyak kerjaan menanti. Sebelum kuhidupkan motor biruku, ia memanggil. “Kak...” Aku menoleh. “Kakak bakal datang kan?” wajahnya penuh harap.
Aku tersenyum, lalu mengangguk. Kunyalakan mesin motor dan melaju sekencang mungkin. Hari belum begitu senja. Namun hatiku terbakar oleh jingganya. Rinai masih membasahi bumi, namun hatiku lebih gerimis dari itu. ***
Seminggu sudah aku menyembunyikan diri di dalam kamar di pedalaman Pandeglang yang dingin. Sengaja kutinggalkan Kota Serang, menjauhi resepsi wanita yang kucinta dengan alasan pergi keluar kota. Aku memang keluar kota, meskipun bersebelahan dengan Kota Serang. Maaf aku berbohong, Dinda. Itulah nama wanita itu, Dinda Kirana. Nama yang menghiasi hariku tanpa putus asa. Selalu muncul di benakku kapan saja dan secara tiba-tiba. Meski dalam alam khayal, aku bahagia.
Aku pikir, hidupku akan semakin tenang setelah mengasingkan diri di Pandeglang. Seminggu rupanya tak cukup. Aku memperpanjang semediku hingga berminggu-minggu lamanya. Masih saja tak cukup. Aku semakin asyik dalam dunia imaji, menyaksikan diriku bersanding dengannya memakai gaun pengantin serba putih dan tertawa hangat di tepi danau.
Aku berlari mengejarnya yang dengan riang memutari taman. Angsa-angsa putih yang konon jelmaan para peri menari riang, sesekali terbang ke angkasa dan hilir mudik mendatangi kami. Kelinci-kelinci mungil berbulu putih bersih, melonjak-lonjak menghampiri pangkuan Dinda minta diangkat dan diputar-putar. Dunia seperti di syurga. Aku tersenyum, tergelak-gelak, bahkan terpingkal.
Tak kuhiraukan Andra yang menatapku resah karena mendapatiku di pojokan kamar dengan rupa yang tak beraturan. Berkali-kali ia menasihatiku untuk 'eling' dan menyebut nama Allah. Aku tersenyum dan tergelak lagi. Kuusir dia dengan bantal, guling, dan seprai serta apapun yang berada di sampingku.
Esoknya ia datang lagi. Bahkan hampir setiap hari. Namun aku masih begitu. Aku menganggap Andra hanya penganggu kebahagiaanku dengan Dinda yang setiap hari merayakan pernikahan imaji kami ditemani angsa dan kelinci putih.
Tapi pagi itu, Andra tidak datang sendiri. Tiga temannya berseragam putih langsung memaksaku masuk dalam kendaraan berlogo palang merah. Aku pernah melihat logo itu saat bergaubung di PMR di SMA. Aku kembali berteriak. Lambang itulah yang mempertemukanku dengan Dinda saat SMA. Dahulu, dia adik kelasku yang lugu. Dan akulah yang membujuknya untuk masuk organisasi sekolah yang bergerak di bidang kesehatan itu.
Aku melolong seperti serigala lapar di tengah malam. Seseorang dari tiga orang berseragam putih menyuntikkan sesuatu ke tubuhku. Aku diserang rasa kantuk maha dahsyat dan selanjutnya tertidur lelap. **
Aku terjaga saat seseorang memanggil namaku. Aku begitu bahagia saat kutahu Dinda muncul di depanku. Tapi itu tak berlangsung lama. Tiba-tiba rasa kecewa mendera, hatiku seperti disayat sembilu. Aku memintanya untuk tak mendekatiku. Aku berteriak sekuat mungkin, meminta siapapun untuk mengusirnya. Telaga bening di kedua pelupuk mataku mencair, menganak sungai mengaliri pipiku. Sebelum Dinda pergi, kulihat matanya berair. Aku tak peduli.
Aku pun dilanda kantuk saat wanita bereseragam putih memasukkan cairan melalui jarum suntuk padaku. **
Aku mulai terbiasa dengan aroma obat, pemandangan serba putih tempatku tinggal kini. Wanita berseragam putih yang kutahu adalah perawat dan para dokter pun nampak bersahabat menyapaku dengan senyum tulus. Senyum yang tak pernah kudapat dari Dinda.
Pagi itu, perawat mengecek keadaanku dan menaruh sarapan pagi untukku. “Suster,” ia menengok dan menunggu kalimatku selanjutnya. “Apakah wajahku terlalu buruk. Sehingga Dinda tak tertarik padaku,” ujarku. Suster itu terdiam. “Siapa bilang!” Andra muncul dari balik pintu. Aku mengacuhkannya. “Tak perlu menghiburku.”
Tidak seperti biasa, Andra tidak meladeniku. Ia justru menyerahkan sesuatu ke arahku, amplop surat. Ingin rasanya aku terkikik, bukankah zaman serba perangkat teknologi canggih alangkah lebih ringkas menggunakan pesan internet atau handphone. Tapi melihat kondisiku yang berbulang-bulan seperti ini, siapapun akan tahu, tidak mungkin aku menggunakan perangkat itu.
“Ia sudah pergi kawan,” Andra berkata lirih saat aku membaca kata demi kata yang ternyata ditulis Dinda.
Dadaku sesak. Antara bahagia, gundah, dan haru campur jadi satu. Aku tak tahu harus berbuat apa. “Ia merasa bersalah melihatmu begini,” kata Andra lagi. “Lalu,” ujarku sambil membaca surat dari Dinda. “Ia terus memikirkanmu, hingga tak mengetahui ia berada di jalan raya yang dilalui banyak kendaraan.” Andra diam. “Ia telah pergi menghadapnya, kawan.”
Ini bukan guntur di siang hari. Aku tercekat. Tepat saat membaca tiga kalimat yang menyentak hatiku, Andra justru mengatakn sesuatu yang membuatku justru tak ingin hidup lebih lama lagi.
Aku membeku. Tatapanku kosong. Dalam benakku, Dinda mengenakan gaun pengantin indah menjuntai tanah. Tangannya yang lebut, dengan gemulai mengajakku ke taman dengan angsa dan kelinci putih menanti.
Kertas surat dari Dinda tergeletak begitu saja. Di akhir kalimat tertulis..
Sejak lama..aku menunggu kata itu..kata yang tak pernah kau ucapkan. Kata yang takut kusalahartikan dari gerak-gerikmu. Tiga kata yang kutunggu dan mengungkapkan bahwa akupun cinta padamu...(*)
Untuk wanitaku yang tak pernah bisa kumiliki.
Disalin oleh: Mei-Ing