“Hei, mau ke mana? Jangan main jauh-jauh, nanti kau diculik Po Tu Fan!” begitulah ibu kami berteriak setiap melihat kami keluar rumah membekal ketapel atau kail. Tentu, cukup ancaman itu membuat kami menciut, harus berpikir dua kali buat membantah. Seketika, urunglah rencana kami menjelajah lebih jauh ke dalam kerimbunan hutan karet. Hanya berani mencari burung srindit di pinggiran hutan yang berbatas kebun, kendati seringkali tanpa hasil. Batal pula niat kami memancing di hulu sungai atau kolong besar di ujung kampung.
Oh, di kampung kami, di seantero kecamatan, seluruh kabupaten, anak Tionghoa manakah yang tak gentar mendengar nama Po Tu Fan disebutkan? Kata mujarab yang membuat tiap anak patuh di rumah tatkala turun petang.
Kata pamanku: kulitnya hitam legam, tak pernah ia memakai sandal atau sepatu. Pakaiannya kumal dan bau. Konon ia suka mengikat keningnya dengan secarik kain merah, tetapi terkadang ia mengenakan caping pandan lebar untuk sembunyikan mukanya. Aku tercengang, meski tampak jelas paman Hiung setengah mati menyembunyikan tawa. Sun Loi kakakku, pecundang itu—meski umurnya dua tahun di atasku—bahkan terbelalak seperti melihat penampakan setan di siang bolong, terasa tubuhnya gemetaran ketika merapat ke sisiku.
Ah, di benakku pun lantas hadir sesosok lelaki tinggi besar dengan karung goni yang bergerak-gerak dalam panggulannya. Aku membayangkan wajahnya yang angker, dengana mata besar melotot merah, kumis tebal melintang, bibirnya tebal dan hitam, dan ketika menyeringai tampaklah gigi-giginya yang besar dan kuning. Adik perempuanku, A Mui terjerit-jerit saat aku ungkapkan raut wajah yang terlintas di benakku itu. Tak terkira takutnya A Mui, sampai terkencing di celana, waktu Paman Hiung dengan seringai nakal menambahkan jika Po Tu Fan itu banyak sekali jumlahnya. Berkeliaran di hutan dan kebun-kebun orang dengan karung dan aritnya yang tajam.
Begitulah. Tak perlu lagi dikisahkan ulang. Semua orang sudah tahu para To Tu Fan itu mengincar kepala anak-anak untuk dijadikan tumbal yang akan ditanam pada fondasi kaki jembatan. Biar nantinya jembatan itu lebih kokoh, jauh lebih kuat daripada menggunakan kepala kambing, sapi atau kerbau, kata Paman Hiung. Sedikit banyak, ayahku memang suka memotong sapi jika hendak membangun jembatan. “Untuk doa keselamatan,” tambahnya, “Ya, mungkin kayak sesajen kalau kita sembahyang.”
Maka setiap terdengar selentingan kabar ada jembatan sedang dibangun, berubahlah kami jadi anak-anak yang manis di rumah. Lebih penurut dan tentunya jarang keluyuran di jalan.
Tidak jarang kami lari terpontang-panting jika kebetulan bertemu laki-laki dewasa tak dikenal yang berpenampilan sedikit mencurigakan di jalan atau kala memungut buah karet di tepi hutan. Lebih-lebih jika kami cuma berdua atau sendirian. Kerap kejadian, orang-orang yang membuat kami ketakutan itu cirinya persis seperti yang digambarkan pamanku sebagai sosok Po Tu Fan! Lengkap membawa karung dan sabit di pinggang.
“Ai, itu kan orang cari rumput buat ternak,” seloroh ayahku tertawa ketika aku menceritakannya dengan takut-takut di meja makan. Sementara ibuku biasanya akan mendelik dan dengan ketus menghardik, “Makanya sudah dibilang jangan lagi pungut buah karet ke hutan! Lihat tangan kau itu bengkak gara-gara adu buah karet. Tidak bisa menulis baru tahu kau!”
Pernah pula Mang Amrin awalnya kami sangka sebagai Po Tu Fan, sebelum akhirnya kami tahu dia bekerja sebagai pengurus kebun lada Paman Kwet. Maklumlah, kulit lelaki separoh baya itu hitam legam terbakar, jarang memakai sandal ke mana-mana, tampangnya juga tak mengenakan: mata besar seperti melotot, bibirnya sumbing, hidung besar pesek, dan di dadanya yang berbulu terbelintang sebuah bekas luka memanjang seperti bekas sabetan golok.
“Oh, ini bekas luka waktu Amang muda dulu. Kena patahan dahan saat nebang kayu,” katanya tertawa setelah kami mulai mengenalnya lebih dekat. Jika lagi senggang, Mang Amrin suka ngopi di warungnya Bibi Mei Ling, tetangga kami. Ceria ber-hahahihi dengan warga kampung, tua muda dijadikannya teman berseloroh. Tak keberatan ia dikerubungi anak-anak seperti kami. Bahkan seringkali ikut membanting gaple di meja warung hingga larut malam.
***
Apabila kau tahu hantu Mawang—mulutnya membelah ke atas dengan gigi-gigi runcing seperti gigi hiu, suka sembunyi di balik pohon pisang atau kabung—sungguh tak pernah melebihi rasa ngeri kami pada Po Tu Fan yang mengintai kepala anak-anak malang…. Ah!
Namun toh, cukup lama kampung kami adem ayam. Pencurian karet dan lada telah jarang kejadian, paling tidak dibandingkan tiga-empat tahun sebelumnya. Memang masih banyak pendatang yang masuk ke pulau kecil kami, jadi buruh tambang timah atau kuli bangunan. Umumnya para pendatang itu berasal dari Lampung, Jawa, dan Palembang, beberapa dari Padang. Yang terakhir ini, bila tak buka rumah makan, lebih memilih jadi pedagang kaki lima atau tukang servis jam. Ada pula orang Madura yang memilih menebas hutan tak bertuan jauh di pedalaman. Tapi dengan cepatnya mereka berbaur dengan penduduk, tak terkecuali dengan kami warga perkampungan Tionghoa. Sudah mulai jarang terdengar kasus pencurian, jambret, perampokan atau sekadar perkelahian.
Tapi suatu hari—kebettulan hari Minggu—tiba-tiba ibuku pulang dari pasar dengan muka pucat. Ketika itu aku sudah naik ke kelas lima. Begitu meletakkan belanjaannya di dapur, ia langsung menghampiriku di teras.
“Kalian jangan main ding dong lagi ke Gunung Muda, apalagi malam-malam!” tukasnya tegas. Aku yang sedang menggunting gambar-gambar bersama A Bun kaget dan langsung protes. “Tapi, Maa….” Terbayang olehku permainan Riders-ku yang baru sampai level tujuh, terbayang pula bagaimana jagoanku dalam Street Fighter, Ryu, tewas terkena sengatan listrik Blanka, andalan Panjul, teman sekelasku. Rencananya sore itu bakal kubalas kekalahanku. Bukankah aku sudah melemparkan tantangan? Jika tak datang Panjul bisa tambah jumawa dan mengejekku sebagai pengecut.
Namun seperti biasa, ibuku tak mau dibantah: “Silakan pergi kalau mau dibawa Po Tu Fan! Dan jangan harap besok kau dapat uang jajan!”
Awalnya aku mengira beliau sekadar menggertak karena tak suka aku berada di luar rumah sampai malam. Walau tak jauh, hanya sekilo, jalan ke kampung Gunung Muda malam hari cukup gelap dengan tiadanya penerangan. Apalagi jalan tanah kuningnya becek belum teraspal. Biasanya, berdua dengan A Bun, atau kadang berkelompok sekitar lima-enam orang, kami mendayung sepeda ke tempat ding dong Mang Sulai.
Tetapi setelah mendengar sendiri bisik-bisik beliau dengan ayahku malam harinya, aku benar-benar ketakutan. Dua hari lalu di Belinyu, seorang anak sebayaku hilang saat pulang sekolah, kata ibuku dalam kamar.
“Mungkin nginap di rumah temannya. Atau sengaja tak mau pulang karena sering dimarahi. Anak-anak kan kadang-kadang suka merajuk,” sangkal ayahku, “Nanti juga pulang.”
“Ai, kau ini!” suara Ibu terdengar agak ketus, “Orang tuanya sudah cari ke mana-mana dan lapor polisi! Cuma berapa luas sih Belinyu?”
Malam itu, aku baru tertidur menjelang dini hari dan bermimpi kami sedang mencari srindit dalam hutan. Tiba-tiba aku tersadar telah terpisah dari rombongan teman-temanku. Dengan paniknya aku berteriak-teriak memanggil A Bun, Huo Ming, kakakku Sun loi, dan lain-lainnya. Tapi tak ada yang menjawab selain kesunyian hutan karet yang mencekam. Rasa takut membuatku berlari tak tentu arah dan justru masuk kian jauh ke dalam hutan yang remang.
Saat itulah mendadak di hadapanku munculseorang laki-laki tinggi besar berikat kepala merah. Kulitnya keling, dengan kumis melintang dan mata merah melotot persis sosok khayalanku. Karung goni dan arit tajam berkilat tergenggam di kedua tangannya. Aku meraung dan langsung berbalik arah. Namun ia tak membiarkanku lolos begitu saja. Diulurkannya tangannya yang seperti bisa memanjang menjangkau tengkukku. Kerah bajuku berhasil dicekalnya dari belakang, aku menjerit-jerit memanggil ibuku. Di puncak rasa ngeri itulah, aku terlompat bangun. Sekujur tubuhku basah kuyup, begitu juga selangkangan celanaku. Dan ibuku telah berdiri berkacak pinggang di sisi tempat tidur.
Sesampai di sekolah, berita anak hilang di Belinyu itu ternyata telah tersebar luas. Semua anak ramai membicarakannya, tentu saja lengkap dengan bumbu-bumbu. Tampak jelas ketakutan di wajah teman-temanku. Aku sendiri ikut nimbrung dengan hasil kupingan pembicaraan ibuku. Menambah di sana-sini yang kurasa perlu agar ceritaku lebih seram.
Dua hari kemudian, entah dari mana munculnya, mulai berembus isu adanya mobil boks penculik anak-anak. Konon kabarnya ada orang mengaku melihat anak yang hilang itu masuk ke dalam sebuah mobil boks yang melaju ke arah kota Sungailiat. Benar atau tidak, tak seorang pun bisa memastikan. Toh, kisah terlanjur beredar. Dan lazimnya di kota kecil dan kampung-kampung, dengan cepat ia tumbh besar bercecabang. Mobil Culik, kami semua menyebutnya, seketika menjadi teror bagi anak-anak, bahkann ibu-ibu yang gemar bergunjing.
Maka percayalah, nasihat dan ancaman baru pun kerap terlontar dari mulut para orang tua: “Hati-hati, jangan numpang sembarang mobil! Nanti kau diculik!” atau “Kalau ada orang tak dikenal yang tawarin es atau roti, jangan mau!”
“Kalau main jangan di pinggir jalan!” wanti-wanti ibuku cemas.
“Apa sih hubungan Mobil Culik itu dengan Po Tu Fan?” tanyaku penasaran pada Paman Hiung, “Apa sekarang para Po Tu Fan itu bawa mobil?”
Pertanyaan anak sepuluh tahun. Namun sekali ini pamanku itu tidak bisa menjawab. Atau mungkin tak mau menjawab, pikirku. Maklum, semua orang tahu sebelum nganggur, dulu ia pernah bekerja sebagai sopir mobil sejenis, mengantar minuman soda dari Pangkalpinang ke kota-kota kecamatan. Sebelum kemudian dipecat karena satu kecelakaan yang membuat bosnya merugi.
Isu Mobil Culik itu berkembang kian luas dalam berbagai versi. Ada yang bilang mobilnya selalu bercat biru, ada pulayang mengatakan plat nomornya dari luar, tapi yang paling senter adalah ciri-ciri Mobil Culik itu belakang boksnya ditempel gambar gunting. Mereka, kata desas-desus yang menakut-nakuti kami, selalu menunggu anak-anak pulang sekolah, mengintaimu sedang sendirian, lalu menarik dan menyergapmu di dalam boks mobilnya yang kedap suara. Sehingga sekeras apa pun kau berteriak tak ada orang yang bakal mendengar dan menolongmu.
Karenanya tak heran jika kami selalu pulang beramai-ramai. Banyak anak yang rumahnya agak jauh tak berani pulang sendiri jika tidak dijemput orang tua. Apalagi kemudian tersiar kabar Jembatan Merawang di Baturusa sedang diperbaiki. Sepanjang jalan, penuh waspada kami akan menoleh ke sekeliling, takut tiba-tiba sebuah mobil boks menepi di dekat kami. Dengan awas kami selalu memperhatikan mobil-mobil boks rokok, mi instan, soda, sabun, dan lain-lain yang kebetulan melintas atau parkir; mengamati adakah di belakang boksnya gambar gunting. Rasa was-was kami pun meningkat jika moncong mobil itu berwarna biru. Budi misalnya, mengaku pernah diikuti sebuah mobil boks biru waktu pulang sekolah sendiri, padahal saat itu ia sudah hampir sampai ke rumah.
“Aku buru-buru masuk ke halaman rumah tetangga. Tapi mobil boks itu masih bolak-balik tiga kali,” tuturnya penuh semangat.
“Ada gambar guntingnya ndak?” tanya kami tak percaya tapi dipenuhi rasa ingin tahu. Ah, ada tidaknya gambar gunting, toh insiden terjadi. Seorang sales pengemudi mobil boks babak belur dihajar massa di jalan menuju pelabuhan Tanjung Gudang. Persoalannya sepele, ia memaksa seorang anak menunjukkan toko yang dicarinya. Si anak ketakutan dan menjerit-jerit minta tolong, berteriak kalau ia akan diculik. Akibatknya, sekelompok pemuda yang sedang nongkrong di perempatan tanpa banyak tanya langsung menghakimi lelaki malang yang baru dua bulan jadi sales itu.
“Keterlaluan!” kata ayahku dengan wajah kemerahan ketika mendengar berita itu. Sekilas, tampak kulirik wajah pamanku yang tampak memucat. Barangkali ia teringat kecelakaan yang dialaminya dulu, pikirku. Sopir pick-up yang bertabrakan dengannya patah kaki….
***
Daging bekas sesajen—ayam, babi, maupun cumi-cumi dan udang—sama sekali tak enak. Rasanya hambar, sedikit masam terkadang pahit. Maka tidak heran jika banyak orang tak mau makan dan memberinya untuk tetangga usai sembahyang. Kata ayahku, karena saripati semua sesajen itu termasuk kue, buah, arak dan teh, telah ludes dicicipi oleh arwah Kakek-Nenek. Kepada kita hanya disisakan makanan yang tak lagi berasa.
Tetapi separo dari sesajen Bibi Lian, tetangga kami, toh lenyap dari atas meja sembahyang di hari perayaan Chit Ngiat Pan: buah-buahan, dua ekor ayam, cumi-cumi, termasuk dua potong daging babi ukuran besar. Hanya ditinggalkan sedikit kue dan udang. Sebotol arak putih di atas meja tak disentuh sama sekali, juga teko berisi teh. Dupa pun masih menyala cukup panjang tanda sembahyang jauh dari usai. Ah, orang rakus manakah yang tak bermalu mencuri sesajen di siang bolong? Tentunya kau tahu, tidaklah mungkin sesajen itu disikat oleh arwah orang mati yang kelaparan!
Siang itu, Bibi Lian memang meninggalkan meja sembahyangnya begitu saja. Membiarkan sesajen-sesajen yang tergelar di teras belakang rumahnya tak dijaga, lantaran anaknya yang baru berumur tiga tahun menangis terus oleh demam panas. Aha, seketika kejadian aneh itu pun kembali menggemparkan kampung kami. Beragam praduga bermunculan bersamaan meluasnya gunjing. Bahkan kemudian tuding tak segan-segan diarahkan. Si gendut pemalas A Thung misalnya, tak urung jadi sasaran tuduhan, meski bujangan tua itu telah bersumpah-sumpah membawa nama mendiang bapaknya.
Entahlah siapa yang mulanya menyeletuk, nama mendirikan bulu kuduk itu kemudian serta merta terlontar. Seorang Po Tu Fan kelaparan, telah mencuri sesajen itu setelah berkeliaran berhari-hari tak mendapatkan korban! Begitulah kami mengalamatkan segala keganjilan.
“Tapi orang melayu kan tidak makan babi?” kataku terbelalak tak percaya. Antara bingung dan geli membayangkan sosok seram itu mengendap-endap di belakang rumah Bibi Lian dan menyikat sesajen sembahyang ke dalam karungnya.
“Bisa saja! Kenapa tidak? Mereka juga dilarang minum arak, tapi lihatlah sendiri langganan Paman A Khin kan kebanyakan Melayu?” A Bun memberi pendapat. Aku hanya garuk-garuk kepala antara hendak menyangkal dan membenarkan. Sulit memang rasanya bagiku membayangkan ada orang Tionghoa yang jadi Po Tu Fan, meskipun di kampung kami tak jarang orang Tionghoa berkulit gelap dan bermata agak besar. Sementara teman-teman kami yang Melayu lebih mengenal orang-orang jahat sebagai Penebok atau Tebok Ati.
Ah, bukankah perkara inilah yang mebuat Hui Ming dan Hasan sempat beradu mulut, lantas bergulat sengit di halaman sekolah sebelum akhirnya kami pisahkan?
“Kenapa kalian menyebutnya Po Tu Fan?”
“Karena sebutannya memang Po Tu Fan!”
“Jadi kalian anggap pemotong kepala itu Fan Ngin, orang Melayu?!” Hasan meradang.
“Kalau bukan Melayu kenapa disebut Fan?” Hui Ming bersikeras.
“Pengemudi mobil boks juga kebanyakan orang Cina?” Hasan tidak mau kalah.
“Bapakmu juga sopir.”
“Bapakku sopir angkot!” kali ini Hasan benar-benar tersinggung, “Bapakmu itu yang Tebok Ati!”
“Po Tu Fan!”
“Tebok Ati!” teriak Hasan ayunkan tinju. Keduanya bergulingan di halaman becek, dikerubungi dan disoraki oleh anak-anak satu sekolah. Demikianlah. Cerita perkelahian ini tak perlu diteruskan. Siapa pun yang mencuri sesajen, toh Bibi Lian telah mengikhlaskan pencurian tersebut sebagai sedekah. Bahkan menganggap kejadian itu sebagai teguran arwah kedua orang tuanya karena ia jarang berziarah kubur, termasuk belum penuhi janjinya memugar makam saat ziarah Chin Min setahun sebelumnya. Bibi Lian kemudian terlihat sering pergi ke kelenteng.
Ya, sebagaimana kejadian-kejadian lain, cepat kami pun melupakan kejadian aneh itu. Apalagi selepasnya, serentetan peristiwa dan desas-desus silih berganti mengusik dan menghangatkan gunjing di kampung kecil kami. Warung Bibi Mei Ling terbakar oleh ledakan kompor minyak tanah, kalung mas ibu temanku A Kong kena jambret di terminal Pangkal Pinang. Mang Amrin berhenti kerja setelah masa lalunya yang pernah masuk bui karena menusuk orang terbongkar, Liu Kong jadi gila sehabis mengencingi sebuah batu besar di hutan karet, si gendut A Thung mengaku mendapat penampakan Dewi Kwan Im saat mancing di kolong dekat gardu listrik PT Timah, Li Kon Tet juragaan papan di kampung kami ternyata diam-diam punya istri simpanan di kampung Parit Lima, dan yang paling menggegerkan: Pamanku lenyap dari kampung setelah menghamili Ernawati, anak gadis Paman Jun Fong yang baru kelas dua SMP!
***
“Waktu kecil, di kampungku juga ada kisah Orang Rantai yang mengincar kepala anak kecil untuk alas kaki jembatan,” kata Manaf, teman kuliahku yang berasal dari Padang. “Sebetulnya mereka dulunya orang-orang yang dipekerjakan paksa di tambang batu bara Sawahlunto. Biar tak bisa lari, kaki mereka diikat rantai. Tapi ada saja yang berhasil loloskan diri. Sehingga Belanda pun menghembuskan cerita kalau mereka adalah orang jahat, agar tak ada penduduk yang mau menolong. ‘Naiklah ke rumah, ada Orang Rantai kabur!’ begitulah ibuku sering mengancam jika kami nakal.” Manaf lalu tertawa.
Toh, seperti halnya pamanku, anak yang hilang saat pulang sekolah di Belinyu itu tak pernah kembali hingga sekarang. Kejadian apa yang sebenarnya menimpa dirinya? Benarkah ia dibawa Mobil Culik, atau sudah dipenggal oleh Po Tu Fan alias Tebok Ati? Jika tidak, ke mana ia menghilang? Ah, tak seorang pun tahu, tidak juga polisi dan dukun. Tak pernah terungkap. Hingga perlahan ia dan peristiwa itu memudar dari ingatan kami. Demikian pula ancaman Po Tu Fan yang seiring bertambahnya usia kami juga mulai menyisih….
Namun sesekali aku mengingat pamanku, terkadang merasa kangen. Bertahun-tahun berlalu, kami sama sekali tidak tahu keberadaannya. Bahkan apakah ia masih hidup atau sudah mati. Sejak mencoreng nama baik keluarga, ia benar-benar lenyap bagai ditelan bumi. Tak pernah memberi kabar, tak sepucuk surat pun pernah dikirimnya.
Pernah sekali, seorang tetangga lama yang pulang dari Lampung mengaku pernah bertemu Paman Hiung. Katanya pamanku itu lebih gemuk dan sudah menikah. Toh, ia tak bisa memberikan alamat Paman. Kepadanya, pamanku hanya bilang ia buka bengel motor. Ayahku kemudian tak pernah lagi menyinggung soal adiknya itu. Tapi suatu hari kami membongkar kamarnya. Pengap dan berantakan. Ibuku sambil mengernyitkan kening, buru-buru menyingkir. Pakaian, buku, koran dan majalah, alat-alat pertukangan, juga piring, sendok-sumpit, gelas kotor berhamburan.
“Kamar terjorok yang pernah kulihat!” tukas ibuku marah. Aku dan Ayah hanya berpandangan, tidak tahu harus bicara apa. Pun tatkala kami menemukan tulang-tulang ayam yang sudah digerogoti tikus berserakan di bawah dipan tempat tidurnya… Akh.
***
“Kau percaya dengan mitos pemenggal kepala anak-anak itu, Lie?” tanya isteriku sambil mengulum senyum. Aku hanya tertawa kecil. Bagiku, persoalannya bukan percaya atau tidak. Bukanlah itu alasanku menulis cerita ini, Kawan. [Mei-Ing]