KISAH | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Rabu, 13 April 2011

PERANGKAP (11-12)

Selama beberapa hari Anella memang tak pergi ke luar kota, dan bahkan tak pergi ke kantornya. Ia hanya mendiktekan pesan-pesan pada sekretaris di kantornya, dan selebihnya memilih untuk mematikan HP dan tidak terima telepon. Ia kelihatan terus memikirkan cara terbaik untuk segera lepas dari masalah yang membelit. Ia juga berusaha keras menepis kecemasan akan datangnya ancaman lebih buruk dari Gunawan yang mungkin tak sabar ingin segera menuntaskan masalah dengan mengirimkan langsung foto-foto itu pada Hendri.

Meski demikian, Anella berusaha tetap tenang. Ia bahkan masih bisa bercengkerama dengan Devi dan Prisma walau dengan tatapan mata kosong dan tanpa gairah. Ia juga masih bisa berkunjung ke sekolah Prisma dan Devi untuk mengambil rapor semester mereka.

Dan kepada Hendri, Anella masih sedingin biasanya. Rupanya, ia masih menganggap tubuhnya terlalu kotor untuk disentuh pria yang sangat mencintainya. Dan Hendripun sepertinya memberikan lebih banyak keleluasaan kepada Anella dengan keadaan dan suasana hati yang tak pernah Hendri fahami.

Sri alias Diandra, masih menyapu, mencuci pakaian, membersihkan kolam renang, membuat garlic bread dan menggoreng French fries buat anak-anak.

Hendri, karena tak menemukan tempat yang tepat untuk berkeluh kesah, sesekali mengajak Sri berbincang di ruang kerjanya manakala Sri membuatkan kopi malam hari pada saat Anella dan anak-anak sudah tidur. Hendri seperti bisa bebas bercerita tentang Anella yang tidak pernah berubah menjadi hangat meski sudah lebih sering tinggal di rumah atau soal telepon-telepon di kantor atau di rumah yang tiba-tiba saja dimatikan saat diangkat.

Pada saat-saat tertentu Sri makin sering mendapatkan sms Hendri di HP-nya yang berbunyi “saya perlu ngobrol lagi dengan kamu nanti malam” atau “keluarlah dari kamar. Saya ingin ngobrol di dekat kolam renang”

***.

Sri mendapati Prisma gembira luar biasa hari ini.

“Hebat! Mama dan Papa hebat. Mama dan Papa ambil cuti. Setelah lama nggak liburan, kami akan pergi liburan sama-sama ke Bali. Tahu tidak, Mbak Sri, itu karena Kak Devi dan aku sama-sama dapat ranking 1 di kelas. Mama senang karena sebelumnya paling banter kami cuma dapat ranking 7. Kak Devi bilang pada Mama itu karena Mbak Sri yang ngajarin. Dan hebatnya lagi, Mbak Sri boleh ikut berlibur ke Bali. Kita naik pesawat. Mbak Sri ‘kan nggak pernah naik pesawat. Asyik nggak sih!” rona wajah Prima benar-benar berbinar-binar.

“Wah, asyik sekali!” Sri turut senang, dan dalam hati berpikir apakah ini bagian dari usaha Anella untuk mulai merajuti kembali keluarganya yang terancam terkoyak-koyak. Bagaimana dengan ancaman Gunawan? Ah, barangkali untuk sementara waktu soal Gunawan sebaiknya dikesampingkan dulu.

Petugas dari travel agent membawakan tiket pesawat pesanan Anella satu jam sebelum mereka berangkat ke bandara untuk terbang ke Bali. Devi dan Prisma sedari pagi menyiapkan sendiri keperluannya, dan benar-benar sibuk dengan tetek-bengek persiapan liburan itu.

“Aku takjub melihat mereka jadi lebih mandiri. Thanks to you,” Anella menepuk punggung Sri sambil mengamati anak-anak. Sri menunduk hormat menerima pujian tulus itu.

“Papa kok bawa laptop segala, memangnya mau kerja?” celetuk Prisma.

“Nggak juga, sih. Tapi Papa masih punya hutang buat banyak laporan. Nanti bisa Papa kerjakan malam hari. Yang penting, liburan kita nggak terganggu, oke?” kata Hendri.

“Oke, deh!” Prisma mengacungkan jempol.

***.

Pesawat Garuda mendarat di Bandara Ngurah Rai Denpasar. Devi dan Prisma tak sabar segera melompat turun. Taksi mengantar mereka ke Hotel Novotel Coralia Benoa Bali, di kawasan Nusa Dua.
“Aku dan kak Devi mau kamar sendiri,” kata Prisma ketika mereka check-in di Novotel.

“Oke, satu kamar buat Papa dan Mama, satu buat Mbak Sri dan satu buat kalian,” kata Anella. Sri mendengar kata ‘satu kamar buat Papa dan Mama’ yang keluar dari mulut Anella. Pasti suasana romantis hotel dengan sentuhan tradisional, dan bangunan-bangunan beratap ilalang serta kamar yang dilengkapi taman dan menghadap langsung ke laut lepas, akan mencairkan kebekuan mereka. Satu permulaan yang bagus, pikir Sri.

“Ayo dong ke pantai!” Devi tak sabaran untuk segera meluncur ke pantai.

“Ya, nih. Aku pingin segera naik banana boat,” tambah Prisma, mengganti pakaian dengan celana pendek dan kaos santai.

Untuk ke pantai, Anella tampil seksi dengan kaos ketat putih dan celana pendek nian berwarna hitam, seolah membiarkan kakinya yang indah dibelai sinar matahari.

“Kamu juga musti menyesuaikan diri. Pakai ini,” Anella mengangsurkan satu setelah pakaian santai baru buat Sri, yang tak diduga-duga semodel dengan pakaian yang dikenakan Anella. Yang berbeda cuma warnanya. Punya Sri, kaosnya oranye dan celananya, yang juga pendek sekali, warna putih.

“Woi, Mbak Sri seksi, nih!” komentar Devi begitu Sri keluar lagi kamar dengan pakaian liburannya. Meski sebenarnya ia risih juga dengan pakaian minim di bagian bawah, ia terkekeh kecil mendengar keceriaan anak-anak.

Siang itu anak-anak benar-benar senang di pantai. Devi dan Prisma sudah bikin jadwal sendiri, mau berperahu, naik banana boat, ikutan para-sailing dan segala macam yang mereka bisa buat dalam daftar mereka.

“Sri, biar aku yang temani anak-anak. Kau tunggu dan jagai barang. Bapak juga nggak mau ikut,” kata Anella, di luar dugaan.

Tadinya Sri mengira ia yang bertugas mengawal anak-anak dan Anella akan mengambil kesempatan untuk berdua-dua saja dengan Hendri. Tapi mungkin Anella memprioritaskan anak-anak dulu, dan giliran Hendri nanti malam. Baguslah kalau Anella yang pergi dengan anak-anak, agar kerinduan mereka terhadap Mamanya bisa terobati.

Sri mengambil tempat duduk di bawah payung pantai, duduk menyilangkan kaki, pakai kacamata hijau pekat duapuluh ribuan yang dibeli di kotak sale di koridor mall beberapa hari lalu, dan menebar pandangan jauh ke samudra Tanjung Benoa.

Semula ia mengira Hendri akan jalan sendiri menyusuri pantai dan membiarkan Sri sendiri menjagai tas Anella dan anak-anak. Tapi ternyata Hendri lebih suka mengambil duduk di seberang Sri, dan mulai membaca.

Dari kejauhan Devi dan Prisma melambaikan tangan. Hendri dan Sri membalas lambaian itu.

“Anak-anak senang sekali,” komentar Hendri.

“Ya, Pak. Saya juga senang Ibu bisa menghabiskan waktu dengan anak-anak. Seharusnya Pak Hendri ikut juga dengan mereka,” kata Sri, melepas kacamata

“Nggak, ah. Tahu tidak, saya takut melihat air yang demikian banyak, he he he,” seloroh Hendri.

“Bener? Bapak takut air?” tanya Sri.

“Bener!” Hendri meletakkan bukunya di atas meja. “Dulu waktu saya belajar renang, instruktur renang bilang masalah utama saya adalah takut air, jadi saya nggak cepat bisa. Hampir putus asa dia ngajari saya renang. Perlu tiga bulan bagi saya untuk berani mengambang di air dalam,” kata Hendri.

“Tiga bulan? Saya belajar renang cuma dalam waktu tiga hari,” kata Sri.

Hendri tertawa dan menekuk pinggangnya ke belakang.

“Saya bosan duduk. Mau jalan-jalan. Ikut?” Hendri berdiri.

“Saya? Nggak ah, Pak. Lagian kan saya harus nungguin tas Ibu dan tas anak-anak,” kata Sri.
“Susah amat, titipkan di locker itu,” Hendri menunjuk satu counter penitipan barang. “Sini, biar saya titipkan,” Hendri langsung menyambar tas-tas itu dan membawanya ke penitipan.

“Nah, sekarang kau bebas! Ayo jalan,” ajak Hendri. Ragu-ragu Sri mengikuti Hendri.

“Pak Hendri nggak malu dilihatin orang jalan sama pembantu?” tanya Sri.

“Perduli amat. Siapa yang tahu kamu pembantu. Lihatlah kamu! Kamu sama sekali nggak mirip pembantu. Kamu bahkan berpakaian mirip Anella. Kamu merupakan pemandangan bagus di pantai ini. Kulitmu seksi, tahu nggak!” kata Hendri tiba-tiba.

Sri menatap Hendri sejenak, tak percaya apa yang didengarnya. Tak siap dia menerima pujian mendadak dari Hendri. Tatapan Sri itu membuat Hendri salah tingkah. Tapi ia tak kelihatan menyesal melontarkan pujian itu.

“Sudahlah, ayo jalan sedikit!’

Sri mengikuti Hendri perlahan, dan mengambil jarak sekitar setengah meter di sebelahnya.
“Kalau kau menjauh begitu, kau akan terlihat seperti pembantu betulan! Sini, di sebelah saya!” ujar Hendri. Perlahan tapi pasti Sri berjalan berdampingan dengan Hendri. Anella, Devi dan Prisma tak tampak dalam pandangan. Mereka pasti jauh ke tengah laut dengan banana-boat.

Sri tak menyangka Hendri banyak bicara juga. Berjalan di sepanjang pantai itu bersama Sri, beberapa kali ia bercerita kisah-kisah konyol semasa mudanya.

“Waktu di SMA, guru Bahasa Indonesia kami namanya Tasmuin. Kebetulan di kelas ada cewek namanya Indah. Setiap pulang sekolah, saya suruh Indah meninggalkan tasnya di kelas. Lalu saya teriak-teriak ‘In, tasmu, In. In, tasmu, In! Dan tahu tidak, Pak Tasmuin, dari atas Vespanya, menoleh marah mencari sumber suara yang dikira meledekinya,” Hendri terkekeh sendiri. Sri tergelak.

“Saya malah pernah berkelahi dengan preman sekolah,” sela Sri.

“Oh, ya. Gimana ceritanya?”

“Di kelas ada cowok Cina. Dia sering diledeki ‘Cina…Cina’ dan dimintai uang oleh anak-anak lain. Saya kasihan dia diledekin gitu terus. Suatu hari anak yang paling bandel dan bergaya preman di sekolah mengolok-olok anak Cina itu. Saya belain dia. Eh, si anak nakal yang badannya gede itu marah dan mendorong saya. Saya tantang dia berkelahi. Siangnya, sepulang sekolah saya dihadang di belakang sekolah. Saya tak banyak bicara. Langsung saya pukul hidungnya. Dia jatuh dan hidungnya berdarah. Ia marah besar dan membalas dengan sebuah pentungan yang disembunyikan di balik bajunya, kena pelipis saya. Ini bekasnya,” Sri menyibak rambutnya dan menunjukkan bekas luka sepanjang satu centimeter di kening pojok kanan atas.

“Mana?” Hendri mencari luka yang ditunjukkan Sri.

“Ini!” Sri menunjukkan. Hendri mendekat, membantu menyibak rambut dan mengusap luka itu lembut. Aroma segar tubuh Hendri menyergap hidungnya Entah kenapa Sri bergetar dengan sentuhan kecil itu. Segera Sri menurunkan rambutnya. Hendri mundur selangkah.

“Kamu bandel juga rupanya,” komentar Hendri. “Saya juga pernah mau berkelahi. Tapi langsung mundur ketika lawan saya enam orang gede-gede banget,” Hendri tertawa sendiri. Sri ikut tertawa.

Dan Hendri melontarkan cerita lagi. Sri juga. Kadang Sri harus menahan perut karena kejang kecil terlalu banyak tertawa. Hendri benar-benar ceria. Tak pernah Sri melihat Hendri segembira itu. Sungguh keduanya sangat menikmati siang ceria di tepi pantai itu. Sampai-sampai seorang pasangan bule lanjut usia yang berpapasan dengan mereka perlu berkomentar “You really are a nice couple,” –kalian pasangan yang asyik, dan dijawab “Thank you” oleh Hendri.

“Pak Hendri bilang ‘Thank you!”. Andai saja bule itu tahu saya hanya pembantu, he he he!” seloroh Sri.

“Atau barangkali mereka pikir saya sopir kamu,” ujar Hendri tergelak, menyentuh bahu Sri.

“Ah, Pak Hendri bisa saja,” Sri menumpuki tangan Hendri di bahunya, bukan menyingkirkannya.

“Eh, kita sudah terlalu jauh, Pak. Apa nggak sebaiknya kita kembali?” kata Sri. Hendri menempelkan telapak tangan sejajar di atas mata dan melihat payung mereka di belakang.

“Ya, sudah jauh. Kita balik, yuk!”

Ketika sampai di payung mereka, Anella dan anak-anak sudah menunggu. Sri cepat memperlambat langkah untuk mengambil jarak dari Hendri.

“Wah, asyik banget! Coba Papa dan Mbak Sri tadi ikut,” teriak Devi.

“Kami jalan-jalan sedikit,” kata Hendri. Sri tertunduk, merasa tak enak telah jalan bareng Hendri. Tapi ia tak melihat Anella keberatan dengan itu.

Mereka balik ke hotel jam lima sore. Ketika sampai di lobby hotel, HP Anella berdering. Anella menjauh dan menjawab HP itu. Ia kelihatan tegang ketika berbicara di HP selama beberapa menit. Sebentar ia kemudian kembali ke Hendri dan anak-anak.

“Mas, aku harus balik ke Jakarta sekarang juga. Kantorku berantakan. Orang kantor bilang ada yang sengaja mengacak-ngacak kantor. Anak-anak, maafin Mama, ya. Kalau sudah beres, besuk Mama kembali lagi ke sini,” Anella bergegas ke kamarnya dan berkemas.

“Nel, sebentar! Apa sebaiknya kita semua pulang?” kata Hendri selagi Anella berkemas.

“Tidak. Tidak perlu!. Jangan mengganggu liburan ini. Kasihan anak-anak sudah terlanjur senang. Aku yakin aku bisa mengatasi ini dan kembali besok!” timpal Anella. “Nggak apa-apa, kan, anak-anak?”

“Nggak apa-apa, deh, Ma. ‘Kan ada Mbak Sri!’ kata Devi dan Prisma hampir bersamaan, tak terlihat terlalu keberatan mamanya harus mendadak pergi.

Anella mendapatkan taksi di depan hotel dan langsung meluncur ke bandara.

***.

Untunglah, mungkin karena sudah terbiasa tanpa Anella, anak-anak tetap bisa menikmati makan malam itu. Devi senang dengan suasana restauran yang dikelilingi struktur-struktur kayu dan beratap ilalang, dan para pelayan yang berbusana tradisional Bali.

Hendri tak kelihatan terpengaruh dengan kepergian Anella yang mendadak dalam liburan ini. Ia tetap bisa bercanda dan bergembira dengan Prisma dan Devi. Hendri juga senang Sri bisa menghibur anak-anak dengan tebakan-tebakan lucu di meja makan malam mereka.

“Hayo tebak buah-buahan apa yang bikin bingung?” Sri melontarkan tebakan. Devi berpikir sebentar. “Nyerah, deh. Nggak tahu” kata Devi.

“Rambutan!” kata Sri.

“Rambutan? Kok rambutan?” tanya balik Devi bingung.

“Nah, bingung kan. Apa aku bilang!”

Devi dan Prisma terkekeh-kekeh. Begitu juga Hendri.

“Kalau begitu Papa juga punya tebakan,” kata Hendri, “Binatang apa yang suka nggak percaya?”

“Kuda!” kata Prisma.

“Salah!” potong Hendri.

“Kambing!” Devi coba menjawab.

“Salah besar!” kata Hendri.

“Gajah!” celetuk Sri.

“Juga bukan!”

“Apa dong?” desak Prisma.

“Monyet!” jawab Hendri.

“Kok bisa, Pa?” tanya Prisma.

“Nah, itu buktinya! Nggak percaya, kan?” Hendri menunjuk hidung Prisma.

“Papa, ah!” Prisma merengut. “Masak aku disamain monyet!”

Sri benar-benar tak dapat menahan tawa. Lepas saja ia terbahak-bahak. Hendri melihat tawa renyah dengan bibir terbuka lebar itu mengantarkan sisi cantik lain Sri sang pembantu.

***.

“Nah, ini sudah malam. Kalian tidur dulu, besuk kita jalan-jalan lagi. Mbak Sri balik ke kamar Mbak Sri, ya? Kalau perlu Mbak Sri, telepon aja di kamarnya Mbak Sri. Kalian tahu caranya ‘kan. Nih ada di petunjuk telepon sini. Tekan angka sembilan, terus nomor kamar,” kata Sri.

Devi dan Prisma hampir tak memberikan sahutan. Mereka terlanjur menyelam ke dalam selimut. Terlalu mengantuk mereka.

Sri balik ke kamarnya dan menatap samudra lewat jendela yang terbuka. Ia berendam selama setengah jam di bak mandi terbuka berair hangat dan merasakan nikmat di sekujur tubuh setelah seharian lelah beraktivitas. Seusai mandi, ia membuka tas dan mengeluarkan satu tank-top favouritnya yang tak pernah dipakai karena terlalu seksi untuk dikenakan saat bekerja di rumah Hendri. Masih dengan celana pendek ketat pemberian Anella tadi siang, Sri menatap dirinya sendiri di cermin dan berputar-putar. Ia baru menyadari kelebihan warna kulit dan tubuhnya yang padat berisi, dan ia baru menyadari pula ia memang terlalu menarik untuk seorang pembantu rumah tangga.

Dan telepon berdering.

Itu pasti Prisma atau Devi. Mungkin mereka perlu sesuatu. Sri mengangkat telepon.

“Halo, Sri!” itu suara Hendri.

“Ya, Pak!” Sri menyahut. Entah kenapa ia tergetar mendengar suara Hendri.

“Anak-anak bagaimana?” tanya Hendri.

“Waktu saya tinggalkan di kamar mereka, mereka sudah tidur,” jawab Sri.

“Kamu sendiri belum tidur?” tanya Hendri.

“Belum, Pak. Masih mau membaca buku petunjuk wisata,” jawab Sri.

“Anella tidak telepon kamu?”

“Belum, Pak!”

“Ya, sudah! Malam!”

“Malam, Pak!” Sri menutup telepon, menelungkup di tempat tidur, mulai membaca.

Telepon berdering lagi.

“Sri!” Hendri lagi.

“Ya, Pak!”

“Saya sedang menulis laporan pakai Microsoft Excel. Ada data ketikan yang bertumpuk-tumpuk satu sama lain di file yang sama dan saya tidak bisa memisahkannya. Kau faham excel, ‘kan?” kata Hendri.

“Ya!”

“Daripada saya angkat-angkat laptop dan bawa berkas ke tempatmu, kamu bisa ke sini?” pinta Hendri.

Sri diam sesaat. Ke kamar Hendri? Tanya Sri dalam hati. Ah, kenapa tidak. Bukankah untuk tujuan yang jelas.

“Saya segera ke tempat Bapak!”

Sri meraih kaos di gantungan, dan mengenakan kaos itu untuk menutupi tank-top. Ia mengambil jepitan, dan menjepit rambutnya ke atas. Kemudian ia keluar kamarnya dan mengetuk pintu kamar Hendri.

“Masuklah,” Hendri membuka pintu, dan menutupnya kembali ketika Sri sudah berada di dalam. Sri tak langsung beranjak dari belakang pintu. Tak enak sekali rasanya berdua saja di kamar hotel dengan Hendri.

Tapi sekali lagi, ini untuk tujuan yang jelas, yakni membantu masalah Hendri dengan Microsoft Excel-nya, dan lagi pula, jauh dalam lubuk hati, Sri merasa mulai suka dekat dengan Hendri yang makin enak jadi teman ngobrol.

“Kamu lucu dengan rambut dijepit begitu,” komentar Hendri melihat rambut Sri.

“Oh ya?” tak sadar Sri melepas jepit rambut dan membiarkan rambutnya terurai. Hendri mengikuti gerakan burai rambut itu, terlihat demikian terpesona.

“Ini lihat, tulisan bagian bawah tertutup tulisan lain di atasnya,” Hendri menunjukkan layar laptop di atas meja. Sri mendekati laptop. Hendri berdiri di belakangnya. Tercium jelas harum tubuh Sri.
“Oh, itu mudah, Bapak taruh cursor di teks yang atas lalu klik, nanti akan keluar kotak yang mengelilingi teks. Kemudian klik tepat di garis kotak bawah, dan angkat dengan menekan klik kanan mouse. Teks yang atas akan terangkat dan teks bawah akan tampil utuh,” kata Sri. “Silakan Bapak coba”

Hendri melalukan instruksi Sri. Sebentar kemudian masalah ketikan Hendri beres.

“Mudah sekali. Bodoh nian saya,” gumam Hendri.

“Ya, udah kalau gitu, Pak. Saya balik,” kata Sri.

“Ya, ya. Silakan, eh nggak mau minum dulu!” kata Hendri. Matanya seperti memohon agar Sri tidak langsung pergi.

“Kayak tamu jauh aja, Pak. Di kamar saya juga ada minuman,” kata Sri.

“Ya, ya. Betul. Silakan. Terimakasih, Ya!” Hendri membukakan pintu. Sri memberinya senyum kecil yang bagi Hendri terasa amat menggoda.

“Selamat malam, Pak!”

“Malam, Sri!”

Sri balik ke kamarnya, melepas kaos luar dan berbaring di tempat tidur. Benarkah Hendri tak faham masalah sekecil itu dengan Microsoft Excel-nya? Pikir Sri. Kenapa ia perlu memanggilnya ke kamarnya? Perlukah tawaran minum itu?

Dan pikiran Sri melayang ke enam bulan lalu, saat Hendri menghentikannya di jalan untuk meminta ia kembali ke rumah setelah menolong Prisma yang jatuh ke selokan. Sri ingat, dengan kaos bau dan belepotan ia duduk di boncengan Hendri yang juga bau keringat sehabis jogging.

Sri bisa pula melihat wajah Hendri ketika sedang bingung atau kelelahan dan mimiknya saat bercerita kisah konyol masa mudanya di pantai tadi siang. Dan bisa dibayangkan betapa hangatnya lelaki itu bila menatapnya. Wajah itu selalu kelihatan ganteng, menyenangkan dan enak ditatap. Kenapa pula Anella bisa tergoda lelaki bernama Gunawan yang kalau dilihat-lihat dari fotonya tidak seganteng Hendri? Ah, barangkali memang tak diperlukan wajah ganteng atau paras cantik untuk membuat satu cinta!

Terdengar ketukan pelan di pintu. Sri turun dari tempat tidur. Jangan-jangan itu Prisma yang tiba-tiba minta ditemani tidur. Bergegas Sri membuka pintu. Hendri berdiri di depan pintu.

“Pak Hendri!” Sri menutup bahu dan bagian atas dadanya dengan telapak tangan. Tak sempat ia melapisi tank-top dengan kaos biasa. Tak enak bila harus memamerkan belahan dadanya dengan sengaja.

“Kau lupa ini!” Hendri mengacungkan penjepit rambut Sri yang tertinggal di meja kamar Hendri.

“Oh, ya. Maaf,” Sri mendapatkan kembali jepit itu dari tangan Hendri. “Terimakasih,” ucap Sri.

Tapi Hendri masih berdiri di pintu.

“Well?” tanya Sri.

“Well, mm, oke, saya balik,” kata Hendri, kikuk sekali. Tapi tak bergerak sedikitpun.

“Mm, barangkali mau minum dulu?” tanya Sri, menirukan ucapan Hendri di kamarnya tadi. Jempolnya tergerak ke belakang, menunjuk bagian dalam kamar.

“Mm, saya ada minuman di kamar saya. Tapi, minum seteguk di sini bolehlah,” kata Hendri. Sri beringsut memberikan ruang bagi Hendri untuk masuk. Sri menutup pintu.

Hendri duduk di kursi dekat jendela. Sri meraih kembali kaosnya dan siap mengenakannya untuk menutup tank-top.

“Lagi-lagi kamu lucu. Aku sudah lihat kamu pakai tank-top itu. Tak perlu repot-repot pakai penutup. Aku janji nggak akan lancang memandangi kamu,” seloroh Hendri, tak enak merepotkan Sri dengan kegiatan pakai-lepas kaos itu.

Sri urung mengenakan kaosnya. “Bapak tidak keberatan saya pakai ini?” tanya Sri.

“Sama sekali tidak. Kau dan kalung ‘big mama’ itu, pemandangan yang menyenangkan, malah!” Hendri sedikit mencuri pandang ke liontin yang dengan damainya bersemayam di belahan dada Sri di atas garis atas tank-top.

Sri berjalan ke arah jendela, dan membuka tirai jendela makin lebar, mengirimkan pemandangan tanaman penghias dengan latar belakang debur ombak Tanjung Benoa.

“Bapak mau minum apa?” tawar Sri.

“Kau punya apa?”

“Es teller, es cendol, dan bajigur, ” Sri tertawa. “Bercanda, Pak. Tentu saja minuman ini sama dengan yang ada di kamar Bapak!”

“Sialan kamu! Coca cola kalau begitu,” Hendri tergelak.

Sri menuangkan Coca cola di gelas dan mendorong gelas di atas meja perlahan ke arah Hendri. Gerakan itu, terasa magis dan mendebarkan. Hendri menatap setiap gerakan Sri dan tak menyiakan-nyiakan kesempatan untuk memandangi Sri.

“Bapak tadi janji tidak memandangi saya. Saya jadi risih,” Sri tersenyum.

“Oh, ya, maaf”

“Silakan diminum, Pak!”

Hendri mengangkat gelas itu sedikit gemetar. Tak tahu kenapa tiba-tiba suhu badannya meningkat dan tangannya gemetar. Sri bisa melihat buncahan busa Coca-cola dalam gelas bergoyang-goyang.

“Bapak kenapa?” tanya Sri.

“Nggak apa-apa,” kata Hendri, meneguk sedikit Coca-colanya.

“Barangkali saya agak deg-degan karena hendak mengaku salah sama kamu. Dan sungguh gugup saya untuk memulai minta maaf,” tiba-tiba kata Hendri.

“Minta maaf untuk apa?” Sri heran.

“Maafkan saya harus minta kamu mengembalikan pakaian pemberian Alex karena saya benar-benar tak suka Alex membelikan pakaian itu. Maafkan saya karena selalu gagal untuk tidak menatap kamu. Maafkan saya karena saya lama memandangi kamu ketika berenang dini hari itu sebelum saya berdehem padamu dan maafkan saya karena gagal pegang janji untuk tidak memandangi kamu saat memberikan minuman ini,” kata Hendri.

Tak biasanya pria yang biasa bicara tegar dan tegas itu menjadi kikuk dan salah tingkah, seperti anak kecil yang baru saja melakukan kesalahan.

“Oh, itu! Bapak tidak perlu minta maaf untuk yang begituan. Saya tidak keberatan,” kata Sri.

“Tidak?”

Sri menggeleng dan menatap Hendri dengan lembut. Bahkan gelengan kecil itu amat mempesona Hendri.

“Sebagai pembantu, saya demikian tersanjung menerima ungkapan jujur Bapak. Sama sekali saya tidak keberatan,” Sri menyilangkan kaki, membiarkan kulit kakinya yang bersih dan bercahaya ditatap dengan sengaja oleh Hendri yang makin membuat Hendri gugup.

Hendri meneguk sedikit lagi minumannya dan berdiri.

“Baiklah, sudah beberapa teguk saya minum. Saya harus kembali ke kamar saya,” kata Hendri. Sri memandanginya sesaat.

“Tapi minumannya belum habis,” ujar Sri menunjuk gelas Hendri.

“Kamu kebanyakan nuangnya,” kata Hendri, meletakkan gelas.

“Baik, Pak. Silakan!” Sri kemudian ikut berdiri, dan membuntuti Hendri yang berjalan ke pintu.
Baru saja Hendri hendak membuka handel pintu ketika ia tiba-tiba berbalik. Ini membuat Sri terkejut karena tak sempat menghentikan langkah. Ia berdiri amat dekat, terlalu dekat pada Hendri. Hendri berdiri mematung beberapa saat, dan menatap Sri penuh-penuh.

Sri tak mengabaikan tatapan ini. Sejak lama sebenarnya ingin ia memberanikan diri membalas tatapan Hendri dalam jarak dekat yang menggetarkannya seperti saat ini.

“Oke, Sri, selamat malam!” kata Hendri kemudian.

Sri tersenyum. “Ini kali ketiga Bapak bilang ‘selamat malam’ malam ini”

Hendri tertawa kecil, dan berbalik ke pintu untuk meraih handel pintu. Sri tak bergerak dan menantikan. Dalam hitungan ketiga, Hendri pasti berbalik lagi. Dan Sri benar. Hendri berbalik lagi.

“Mm, eer….Sri, sebetulnya aku….saya, ingin……. kamu menahan saya untuk tidak pergi. Saya sudah kehabisan akal untuk tetap di sini terus. Saya sebetulnya menantikan kamu mengatakan sesuatu atau paling tidak mengisyaratkan sesuatu agar saya tak lekas pergi. Tidakkah kamu ingin saya di sini lebih lama?,” kata Hendri terbata-bata. Ia pasti perlu keberanian luar biasa untuk mengucapkan itu.

“Bapak ingin berada di sini lebih lama?” desis Sri.

Hendri mengangguk.

“Untuk apa?” Sri menengadah. Bibirnya merekah. Nafas segarnya menyapu wajah Hendri. “Beri saya alasan kenapa Pak Hendri pingin lebih lama dengan saya malam ini?”

Dengan jarak sedekat itu, Hendri tak punya alasan lain selain perlahan meraih pipi Sri dengan tatapan penuh, dan perlahan pula mendekatkan wajah itu ke wajahnya. Sri memejamkan mata tatkala bibir Hendri menyapu bibirnya lembut, makin lembut, berubah hangat dan makin bergairah.

Sri membalasnya, melumat bibir Hendri, dan mendekapkan dadanya ke dada Hendri dan memeluknya erat, erat sekali.

Dan entah siapa yang mulai, tanpa saling melepaskan pagutan, mereka beringsut, saling dorong atau saling tarik, ke arah tempat tidur. Dan selebihnya keduanya saling melepaskan desah-desah indah. Sangat indah.

Di luar jendela, ombak laut Tanjung Benoa berderak hebat dalam gelap. Buih-buih putih membuncah di kejauhan, berkejaran, bertautan. Malam boleh kelam, ombak laut boleh berhamburan, dan bara api boleh bergelora di kamar itu.

***.

Rona merah muda keunguan menghiasi jendela kamar. Hendri membuka mata. Aroma tubuh Sri masih menebar di sekelilingnya. Entah berapa kali mereka mereguk kenikmatan semalam, dan Hendri tak ingin malam segera berlalu.

Hendri mendapati Sri tengah duduk tertunduk dengan kedua belah tangan menopang kening. Selimut membalut tubuhnya, sebatas bahu yang kini sedang terguncang-guncang.

“Sri. Kenapa?” Hendri menyibak selimut, turun dari tempat tidur dan mendekati Sri.

“Saya tak pernah terlalu menyukai laki-laki. Saya tak pernah punya kekasih yang serius dalam hidup saya. Saya tak sering dicium atau mencium lelaki, dan saya tak pernah bercumbu sehebat itu.
Saya tidak tahu kenapa saya melakukan ini dengan Pak Hendri, dan kenapa pula pengalaman pertama ini justru merupakan hal yang bisa saya sesali karena dosa saya terhadap istri dan anak-anak Bapak,” kata Sri. Air mata meleleh deras di pipinya. Hendri berlutut di karpet, persis di hadapan Sri. Disibaknya rambut itu, dihapusnya air mata dari pipi Sri.

“Tidak ada yang perlu disesali, Sri. Tatap aku. Aku cinta kamu!” ujar Hendri. Jantung Sri berdebur bersamaan dengan bunyi debur ombak.

“Cinta? Tidak, Pak. Tidak! Jangan bilang cinta! Bapak punya Anella, Prisma dan Devi. Cinta itu milik mereka, dan saya telah merusaknya. Saya sungguh menyesali ini terjadi pada kita. Saya terlalu terpesona pada Bapak sampai saya lupa diri. Saya sangat….. sangat bersalah,” Sri mulai menangis sesenggukan. Hendri meraihnya dan memeluknya.

“Tak perlu ada sesal. Bagi saya ini adalah keterlanjuran yang menyenangkan,” kata Hendri. Sri tiba-tiba melepaskan pelukannya dan menyentakkan Hendri jauh-jauh.

“Tidak bagi saya! Saya telah merusak upaya Ibu Anella untuk kembali memperbaiki kehangatannya pada Bapak. Bapak tahu, Ibu saat ini sedang berusaha kembali kepada Bapak, berusaha menjaga keluarga dari kehancuran!” Sri setengah berteriak. Hendri mencengkeram bahu Sri.

“Kamu ini bicara apa?” tanya Hendri.

“Bapak tahu selama ini Ibu mendapatkan kehangatan dari pria lain setiap kali Ibu pergi ke luar kota. Istri Bapak selingkuh,!” akhinya lepas juga kata-kata yang tak pernah direncanakan untuk dilontarkan kepada siapapun itu.

Di luar dugaan. Hendri tidak terkejut mendengar bicara Sri.

Sri melanjutkan “Ada orang yang mengirim dua puluh lembar foto berisi………”

“Gambar-gambar mesra, persetubuhan, percumbuan antara Anella dengan lelaki bernama Gunawan,” lanjut Hendri.

“Bapak tahu?” Sri mereda tangisnya.

“Semua gambar itu ada di laptop-ku, dikirim melalui e-mail misterius tiga hari lalu. Dan entah kenapa aku tidak terlalu terperanjat melihatnya. Jauh-jauh hari aku sudah bisa merasakan Anella tidak sekadar pergi ke luar kota untuk bisnis semata selama ini,” kata Hendri.

Sri menatap Hendri. Hendri melanjutkan bicaranya.

“Dan aku tahu Anella sengaja merancang liburan ini, memberikan kesempatan ini, membukakan peluangku untuk berdekatan denganmu. Kepergiannya kembali mendadak ke Jakarta kemarin sore adalah bagian dari rencananya agar kita makin leluasa untuk saling berdekatan. Aku tahu ini karena sebelumnya Anella pernah memanfaatkan Astrid untuk membuat aku jadi seorang peselingkuh. Hanya saja ia gagal karena aku tak pernah tergetar oleh Astrid. Sama sekali beda dengan yang kurasakan terhadapmu. Ini selingkuh yang aku mau, ingin dan rela kulakukan,” kata Hendri.

Tiba-tiba Sri teringat ucapan Anella tentang guilty-trap, jebakan rasa bersalah, yang sengaja ditebarkan untuk menyamakan skor, agar Hendri sama-sama punya angka selingkuh dengan Anella. Dan Anella kali ini berhasil. Hendri telah menyetubuhi pembantunya sendiri.

“Tapi kenapa saya?” teriak Sri sedikit histeris.

“Karena Anella yakin kali ini akan berhasil. Itu karena ia tahu aku punya benih-benih kasih terhadapmu dan mungkin iapun yakin kau punya perasaan yang sama terhadapku,” kata Hendri. “Katakanlah, akuilah, kau menyukaiku, menginginkanku, sama dengan aku menginginkanmu”

Sri tertunduk lesu. “Saya bohong kalau saya bilang tidak,” kata Sri. Hendri tersenyum, dan mengecup kening Sri sekali.

“Sekarang tak usah kau bilang ini semua harus disesali dan biarkanlah yang sudah terjadi berjalan apa adanya. Aku sungguh merasa beruntung mendapatkan kehormatan itu darimu,” tutur Hendri.

“Pak Hendri, sayalah yang harusnya merasa sangat tersanjung menerima ini dari Bapak. Bapak bisa rasakan saya benar-benar menikmati itu,” kata Sri lirih. “Tapi bagaimana dengan rencana Ibu? Kalau skor sudah sama-sama, bukankah itu tiba saatnya Bapak dan Ibu menetapkan untuk saling melupakan kesalahan dan bersatu kembali?” nafas Sri kali ini naik-turun. “Bagaimana dengan saya?”

Sri tahu Hendri tak menemukan jawaban pertanyaan ini. Hendri terduduk lesu menyandar di tempat tidur. Sri menyusul mendampingi Hendri.

“Saya tahu saya cuma korban perangkap ini. Saya harusnya tahu pula saya cuma alat, cuma pembantu, cuma babu. Apa susahnya memperalat seorang seperti saya. Seharusnya saya menyesal terbuai cinta bapak yang mungkin tidak berbalut cinta betulan. Tapi sekali lagi, saya anggap ini bukan penyesalan. Ini kebahagiaan yang tak akan pernah saya lupakan,” Sri mendekap kepala Hendri dan mencium bibirnya sekali. “Saya akui saya cinta, selalu rindu dan amat berhasrat Bapak belai”

Hendri mencium bibir Sri hangat. Sri segera melepaskan ciuman itu.

“Hari telah terang. Anak-anak sebentar lagi bangun! Bapak silakan kembali ke kamar Bapak”

Sri berdiri, melepas selimut yang membalut tubuh, dan mengenakan pakaian.

Hendri menatap Sri sejenak dan dengan keengganan luar biasa, perlahan kembali ke kamarnya setelah mengenakan pakaian. Semilir angin pagi dan debur ombak mengikuti langkah Hendri ke kamarnya.

PART.12

“Kok telepon Mbak Sri nggak diangkat, sih?” Prisma jengkel karena gagal  menelepon Sri dari kamarnya.

“Masih tidur, atau mandi barangkali,” kata Devi. “Biar aku samperin”

Devi mengetuk pintu kamar Sri dan melongoknya lewat jendela yang terbuka.

Sri tak terlihat ada di dalam. Lama Devi menggedor-gedor pintu.

“Ada apa?” Hendri dan Prisma menyusul.

“Kayaknya Mbak Sri nggak ada di dalam, Pa!” kata Devi, memencet-mencet nomor HP Sri, yang hanya mendengungkan jawaban ‘Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif’.

“Coba ketuk lagi,” ujar Hendri.

Lama mereka mengetuk pintu, tetap tak ada jawaban.

“Mungkin jalan-jalan ke pantai,” kata Devi.

“Mungkin juga. Ya sudah, kita tunggu saja!” kata Hendri.

Sampai jam 9 Sri belum muncul di kamarnya. Hendri berusaha menyusuri pantai dan sama sekali tidak menemukan sosok Sri. Akhirnya ia menuju ke respsionis.

“Ibu Sri menitipkan kunci ini jam 6 pagi tadi. Ia membawa tas, pesan taksi dan pergi entah kemana,” kata resepsionis.

“Dia tidak meninggalkan pesan?” tanya Hendri

“Maaf, pak. Tidak ada pesan”.

“Bisa saya minta kunci kamar?” kata Hendri.

“Silakan,” resepsionis itu menyerahkan kunci.

Hendri langsung membuka kamar itu. Secarik kertas tergeletak persis lantai di bagian belakang pintu. Hendri memungutnya.

“Pak Hendri, maaf saya harus pergi. Sekali lagi saya mohon maaf!”

Devi dan Prisma menghampiri Hendri.

“Mbak Sri pergi!” kata Hendri.

“Pergi kemana?” tanya Devi dan Prisma bersamaan.

“Papa nggak tahu!”

“Kok bisa pergi, sih. Mbak Sri kenapa, ya?” desah Prisma.

Dan sepagian itu Hendri berusaha mencari Sri di sekitar Nusa Dua bahkan sampai Kuta dan Sanur. Puluhan kali nomor HP Sri dihubungi dan tak pernah ada sahutan melegakan kecuali mesin penjawab ‘nomor di luar jangkauan atau sedang tidak aktif’.

Hendri berharap Sri cuma kesal sesaat dan ingin menyendiri. Tapi sampai menjelang sore Hendri tak bisa menemukan Sri.

“Kita kembali ke Jakarta sore ini. Papa takut ada apa-apa dengan Mbak Sri,” kata Hendri.

***.

“Bi Nani, Sri sudah pulang?” tanya Hendri begitu taksi sampai di rumah.

“Lho, bukannya pergi dengan Bapak, Ibu dan anak-anak ke Bali!” tanya balik Bi Nani.

“Ibu kemana?” tanya Hendri lagi, menanyakan Anella.

“Lho, bukankah Ibu juga ke Bali dengan Bapak, Sri dan anak-anak?” polos saja Bi Nani bertanya balik. Menurutnya, pertanyaan Hendri sungguh berbelit-belit.

“Jadi Ibu juga belum sampai di rumah? Ibu balik ke Jakarta kemarin malam!” kata Hendri.

“Belum ada yang sampai ke rumah kecuali Bapak dan anak-anak sekarang ini, ” tutur Bi Nani.

Hendri mengusap kening. HP Anella juga cuma mendengingkan mesin penjawab dengan pesan yang sama dengan HP Sri.

“Memangnya kenapa?” tanya Bi Nani.

“Mama balik ke Jakarta tadi malam, dan Mbak Sri lenyap dari hotel pagi tadi!” jelas Devi.
“Aduh, Mak. Esa hilang, dua terbilang! Kacau biola! ” gumam Bi Nani, entah apa pula yang dimaksud Bi Nani dengan ‘biola’. Mungkin maksudnya ‘balau’

Hendri tak henti-hentinya mengurut kening. Dua perempuan hilang hampir di saat yang bersamaan.
Hendri meraih telepon, mulai berusaha cari informasi dari kantor Anella, ke HP Astrid dan dari semua orang yang mungkin bisa memberi petunjuk. Semuanya nihil.

Hendri mengaduk-aduk kamar Sri dan mencari apa saja yang bisa dijadikan petunjuk. Tapi tak ada satu bendapun yang bisa mengarahkannya untuk mencari Sri.

Sebetulnya, Hendri tak terlalu ambil pusing dengan Anella. Ia bisa menduga Anella kini tengah asyik masyuk dengan Gunawan di suatu tempat. Itu karena dari orang kantor Anella diperoleh penjelasan Anella sama sekali tidak ke kantor dan sama sekali tidak terjadi apa-apa pada kantor, yang menunjukkan bahwa kata-kata Anella yang menyebutkan bahwa kantor diacak-acak orang itu bohong belaka.

Hendri kini lebih prihatin atas menghilangnya Sri. Kenapa Sri harus meninggalkan mereka begitu saja? Hendri menyesal ia tak pernah menyimpan informasi sepotongpun tentang alamat Sri di Malang, dan ia tak ingat secuilpun di belahan Malang mana Sri tinggal.

Malam benar-benar telah larut ketika sms sampai di HP Hendri. Ia berharap itu dari Sri. Ternyata itu dari Anella. “Ibu Anella, maafkan saya. Pak Hendri dan saya telah melewatkan malam bersama di kamar saya. Maafkan saya”. Itu pasti pesan Sri ke Anella, yang di-forward ke HP Hendri. Begitu tahu HP Anella mulai aktif, Hendri hendak memencet nomor Anella. Tapi sms berdengung lagi. Dari Anella lagi. “Hendri, aku baru saja mengirim e-mail ke kamu”

Hendri bergegas membuka laptop, menyambungkan ke koneksi internet, dan membaca e-mail Anella.

“Hendri suamiku, aku sudah sampai di ujung penyesalan dan menggunungnya rasa berdosaku padamu dan pada anak-anak. Kau pasti sudah soal aku dengan Gunawan. Seperti dugaanmu, dari Bali, aku menemui Gunawan. Semula kami sepakat aku akan minta cerai darimu dan Gunawan akan menceraikan istrinya, dan selanjutnya kami mengesahkan hubungan. Tapi ada hal yang tak terduga. Istri Gunawan memaafkan Gunawan dan memintanya kembali. Aku merasa terlalu kejam kalau aku tetap meminta Gunawan menikahiku. Aku tadinya berpikir kau mungkin akan melakukan hal yang sama, mengijinkan aku kembali padamu, tapi kemudian aku merasa ini terlalu banyak. Aku telah salah menilai kamu. Aku tahu kau tak pernah punya hubungan khusus dengan Liandra. Dan itu kelemahanku. Aku tak mampu mencegah diriku sendiri untuk tidak menjadi seorang pengkhianat. Itu dosaku yang terbesar padamu dan anak-anak. Dan aku akan menebus dosa itu dengan caraku. Aku harus mengucapkan selamat tinggal padamu dan anak-anak. Aku tahu aku tidak dibutuhkan lagi. Pasti akan ada orang yang bisa menggantikan aku, seseorang yang jauh lebih baik, dan jauh lebih ‘Mama’ dari pada aku. Tak perlu kau cari aku. Aku bertekad mencari jalanku sendiri. Ini karma yang harus aku telan. Aku sayang padamu. Peluk ciumku untuk anak-anak,” demikian e-mail Anella. Dan ada satu tambahan di bawah nama Anella.
“PS : Aku senang kau bisa berbagi kehangatan dengan Sri. Meski hatiku tersayat-sayat, tapi aku senang. Setidaknya aku bisa merasakan betapa terkoyaknya engkau manakala kau tahu aku berhubungan dengan Gunawan”

Hendri terpaku di depan layar komputer. Sekujur tubuhnya terasa dingin. Dingin sekali. Tak bisa ia menggerakkan tulang-tulangnya.

***.

Tiga hari telah berlalu. Tiga hari pula Hendri dibuat sibuk menggali informasi untuk menemukan kedua perempuan itu. Tapi tak ada titik terang, tak ada dering telepon, tak ada sms. Ia terpekur di meja kerjanya di rumahnya sepagi itu. Wajahnya kusut masai.

Dan telepon berdering. Perlahan Hendri mengangkatnya.

“Halo”

“Selamat pagi! Benar ini rumah Ibu Anella Priscillia?” suara di seberang serius sekali.

“Benar. Dari mana?”

“Dari kepolisian. Bapak suami Anella?”

“Ya, saya Hendri, suaminya!”

“Bapak bisa datang ke Hotel Medallion, langsung ke kamar 415? Sangat penting. Diulang, sangat penting!”

“Ada apa dengan istri saya?” tanya Hendri.

“Bapak datang saja. Segera!” telepon ditutup. Hendri bergegas mencari mobil di garasi dan mengemudi secepat angin ke hotel di pinggiran Jakarta itu.

Dari kejauhan Hendri bisa melihat garis polisi warna kuning melingkar di seputaran Kamar 415 hotel itu. Berdebar-debar hati Hendri.

Anella terbujur kaku di tempat tidur kamar itu. Wajahnya membiru, mulutnya penuh busa, matanya terbuka lebar. Sebuah gelas kosong tergeletak di samping serakan butiran-butiran obat dan sekaleng cairan pembasmi serangga yang setengah kosong

“Petugas kamar menemukan mayat Anella satu jam yang lalu. Kami memperkirakan ia tewas sehari sebelumnya, diduga karena menelan puluhan butir obat tidur dan cairan pembasmi serangga!” kata seorang petugas polisi.

Hendri terduduk lemas di samping tubuh Anella yang membujur kaku. Tak kuasa Hendri menahan air mata.

“Anella! Anella! Maafkan aku! Maafkan aku!” bahu Hendri terguncang-guncang di antara kilatan lampu kamera sejumlah wartawan. Seorang petugas polisi membantu Hendri berdiri. Beberapa petugas paramedis memindahkan tubuh Anella ke alat usung, dan sebentar kemudian terdengar suara ambulans meraung-raung.

***.

Devi dan Prisma terdiam dalam dekapan Hendri. Astrid dan Alex berdiri berdampingan, keduanya melelehkan air mata. Jenazah Anella diturunkan perlahan ke liang lahat. Beberapa orang menyeka air mata dari pipi. Tak beranjak mereka meski hujan rintik mulai turun membasahi bumi.

“Mama tadinya bilang mau nyusul kita lagi ke Bali. Kenapa Mama malah pergi dan tak akan pernah menyusul kita lagi?” gumam kecil Prisma.

Hendri dan Devi mendekap Prisma lebih erat.

Para pelayat satu persatu beriringan pergi meninggalkan makam. Prisma dan Devi menata taburan bunga di atas gundukan tanah makam.

“Pris yakin Mama akan tenang di atas sana. Maafkan kesalahan Pris, ya Ma!” Prisma dan Devi memeluk pusara dan menciumnya.

Liandra berdiri di belakang Hendri dan menepuk pundaknya.

“Pak Hendri, terimalah belasungkawa saya. Saya benar-benar sedih. Andai saja saya bisa memberikan lebih banyak bantuan pada Pak Hendri. Andai saja saya tahu permasalahan Pak Hendri lebih awal,” kata Liandra, memeluk Hendri, meneteskan air mata.

“Terimakasih, Bu. Terimakasih! Mungkin semuanya sudah takdir. Saya yakin Anella lebih tenang di sana!” jawab Hendri.

“Satu lagi, Pak Hendri. Kali ini saya mohon pertolongan Pak Hendri,” Liandra menarik nafas berat sesaat. Hendri menunggu Liandra bicara.

“Ini tentang Sri. Bisakah Pak Hendri segera menemukannya? Saya berhutang sesuatu padanya, satu hutang yang membebani pikiran saya selama bertahun-tahun. Berjanjilah Pak Hendri membawa Sri pada saya!” kata Liandra.

Hendri menatap Liandra, tak faham maksudnya. Kenapa pula Liandra punya perhatian pada hilangnya Sri? Tapi ia tak ingin bertanya lebih jauh, sebab Hendri yakin Liandra tak ingin membahasnya sekarang. Jauh dalam hati Hendri berjanji akan mencari Sri, sampai kapanpun dan dengan cara apapun.

***.

Sebulan penuh Hendri menghabiskan waktu melacak Sri. Selama pencarian itu Hendri banyak dikejutkan oleh kenyataan-kenyataan atas jati diri Sri. Dari Astrid, Hendri tahu Sri Purwanti sang pembantu, adalah Diandra Almira, seorang lulusan sarjana S2 Amerika, dan dari Astrid pula Hendri mendapatkan alamat Sri di Malang yang masih diingat betul oleh Astrid beradasarkan KTP Sri yang pernah dilihatnya. Namun, ketika Hendri mencarinya di Malang, ia hanya mendapati Sri Purwanti asli, yang pernah mengabdi pada keluarga Diandra sebagai pembantu rumah tangga. Dari Sri Purwanti asli, Hendri mendapatkan alamat Sugiarto, orangtua Sri di Batu, Malang.

Hendri meluncur ke Batu menemui kelarga Sugiarto. Tapi dari mereka diperoleh jawaban Diandra hanya mampir seminggu di rumah dan pergi lagi entah kemana. Tak seorangpun di rumah tahu kemana Sri menghilang.

Ini tidak mematahkan semangat Hendri. Sri boleh jadi Diandra. Tapi bagi Hendri, Sri tetaplah Sri, dan wajahnya tak akan pernah hilang dari benak Hendri. Senyumnya, kerlingnya, manisnya, candanya, semuanya mengganggu tidur Hendri setiap malam. Itulah sebabnya, sesulit, seribet dan serumit apapun, Hendri tetap mencoba mencari Sri.

“Pokoknya Papa harus cari Mbak Sri,” kata Devi dan Prisma. Dan ini sungguh makin mengobarkan semangat Hendri.

Hendri mendapat secercah harapan dalam pencarian itu tatkala sms Astrid menyebutkan ia Astrid akan coba menghubungi Fitri, teman se-apartemen Diandra tatkala ia tinggal di Amerika. Astrid pernah mendapatkan alamat Fitri di mall waktu itu. Astrid berencana akan tanya panjang lebar tentang Diandra, paling tidak untuk mencari tahu tempat-tempat yang mungkin biasa dijadikan tempat oleh Diandra untuk menenangkan diri.

***.

“Mbak Dian, sudah dulu kerjanya. Nanti kecapekan, lho!” remaja laki-laki kecil itu mengingatkan seorang perempuan bertopi lebar yang asyik memindahkan sejumlah kubis dari pinggir ladang ke keranjang besar.

“Ya, sedikit lagi, tanggung!” jawab Diandra. Semilir angin dingin pengunungan Tengger menyapu tengkuknya. Kabut dingin sesekali turun perlahan di atas permukaan ladang, mengaburkan pandangan ke sekeliling.

Manakala keranjang itu penuh kubis, Diandra bergeser dan duduk di bawah rindangnya pohon pinus, dan menatap salutan kabut di antara pepohonan di lereng bukit yang tinggi di hadapannya. Sesekali matanya tersapu ke arah sejumlah wanita di antara kabut tipis yang riang melemparkan kubis dari tengah ladang ke rekan yang siap menangkapnya di sisi ladang.

Diandra benar-benar merasa damai di desa itu. Merasa demikian tenang bisa berbaur dengan penduduk desa, mengulurkan tangan dengan sukarela saat panen kubis. Dan Yoschi’s Hotel, hotel kecil yang dimiliki pasangan suami istri Yoyok asal Kraksaan dan Ursel asal Jerman, yang bertengger di perbukitan di seputaran Gunung Bromo itu merupakan tempat ia menyendiri sejak ia masih kuliah dulu.

Diandra masuk ke kamar nomor 10, kamar sejuk berdinding anyaman bambu, yang sudah menjadi ‘rumah’nya selama sebulan ini. Ia meletakkan topi, meraih selembar koran lama yang telah dibaca dan dibaca ulang

Dari atas meja, ia meraih satu foto Hendri, Prisma dan Devi yang dipotret saat jamuan makan malam. Sebentar kemudian ia membasuh muka di wastafel di bagian luar kamar, dan merasakan sejuk air pegunungan menyergap mukanya.

Ia kembali ke tempat duduk favoritnya di bawah pohon pinus yang menghadap lereng dengan semilir angin sejuk, kembali menekuni kata demi kata berita koran sebulan lalu, tentang Anella yang ditemukan tewas di kamar Hotel Medallion. Setiap ia membacanya, air mata menggenang di pelupuknya. Dan selalu pula ia mendekap carik koran itu.

“Mbak Sri,” tiba-tiba seutas suara kecil menyapanya dari samping. Diandra tak segera menoleh. Pasti ada seseorang bernama Sri di sekitar sini. Dan itu pasti bukan dirinya.

“Mbak Sri!” suara itu makin keras, dan samar-samar ia ingat betul suara itu. tapi siapa pula di desa ini yang memanggilnya dengan nama itu.

“Mbak Sriiiiii,” makin dekat suara itu.

Diandra menoleh. Prisma tak jauh sampingya. Senyumnya cerah dan lebar.

“Prisma!” teriak Diandra, nyaris tak mempercayai pandangannya.

Prisma menghambur menubruk Sri. Seorang lagi tiba tiba menubruknya dari belakang. Itu Devi.

“Mbak Sri susah banget nyarinya!” kata Prisma terus mendekapnya.

“Kok kalian ada di sini?” tanya Diandra di antara linangan air mata.

“Nyari Mbak Sri. Kak Fitri yang kasih tahu Mbak Sri suka ke sini,” kata Devi.

“Mbak Sri seneng nggak sih ketemu aku dan Kak Devi?” tanya Prisma.

“Seneng banget! Seneng banget! Nih, Mbak Sri sampai nangis! Eh, kalian sama siapa?” Sri melayangkan pandangan ke sekelilng. Tak ada orang lain.

“Sama saya,” tiba-tiba seorang perempuan muncul dari balik rerimbunan perdu.

“Bu Liandra!” seru Diandra. Ini kejutan yang luar biasa.

“Mama Liandra!” ralat Liandra, memeluk Diandra erat.

“Kamu anakku. Aku mamamu. Diandra Almira, maafkan, Mama. Maafkan Mama pernah mencampakkan kau dan papamu! Aku telah bersimpuh di kaki Papamu dan mohon maaf. Aku senang papamu bisa mendapatkan Retno yang penyabar dan menyayanginya”

“Saya tahu, Mama. Saya tahu,” Diandra memeluk Liandra erat. Prisma dan Devi tersenyum bahagia melihat hari ini banyak sekali air mata berlinangan.

Tiba-tiba Prisma mengguncang tubuh Diandra dari belakang.

“Mbak Sri, eh, Mbak Diandra. Ada yang mau ketemu, katanya minta dibikinin kopi!” kata Prisma. Sekali lagi Diandra mencari-cari dan kelegaan segera merasuk hati dan mewarnai rautnya. Hendri berdiri menanti, dan tak sabar segera menghampiri Diandra. Diandrapun mendekat. Mereka berdiri mematung beberapa saat, berpandangan. Senyum kecil tersungging di bibir Diandra.

“Sri atau Diandra, atau apalah namamu. Aku kangen kamu, anak-anak kangen kamu…..aku cinta kamu, anak-anak sayang kamu. Aku mau kamu, anak-anak mau kamu. Kami mau kamu kembali ke rumah kami di Jakarta,” kata Hendri. Diandra menyungging senyum kecil, tak segera menjawab.

“Kamu mau, kan?” tak sabar Hendri menunggu jawaban. Wajah Devi dan Prisma ditekuk manyun pura-pura hilang kesabaran..

Diandra meraih kalung berliontin adenium ‘big mama’ yang pernah diberikan Devi padanya. dari saku celana.

“Sudah sebulan saya tidak mengenakan kalung ini. Di hadapan kalian, saya akan pakai lagi kalung ini, dan tak akan saya lepas selamanya. Tapi berjanjilah kalian mau tinggal di sini barang dua tiga hari lagi sebelum kita balik ke Jakarta?” Sri membagi rata senyum cerahnya kepada Hendri, Prisma dan Devi.
“Kita?” sambut Devi senang.

“Ya, kita semua!”

Sri langsung mendapat serangan peluk hebat dari Devi dan Prisma. Tak kuat menahan dorongan kedua makhluk kecil itu, Diandra terhuyung. Ketiganya terjerembab ke tumpukan kubis di belakangnya.
Dari jauh seorang wanita berteriak-teriak, “waduh, sudah nyampe kok Bibi ndak dibangunkan to!,” Bi Nani menghampiri mereka. Terbengong ia melihat Sri.

“Oala, Sri. Kamu ada di sini, to! Pekerjaan Bibi jadi menumpuk banget. Kami ikut balik ke Jakarta, kan?” Bi Nani menghampiri Diandra.

“Bi Nani,” sela Devi, “Kayaknya Mbak Sri balik ke Jakarta bukan buat bantuan Bibi, deh”

“La, terus untuk apa? Bukankah nila setitik…… eh, kura-kura dalam….eh…..apa ya peribahasa yang tepat untuk……?”

Untuk sementara tak ada yang menjawab pertanyaan Bi Nani. Mereka biarkan Bi Nani terus terbengong-bengong dan mencari peribahasa yang tepat untuk situasi yang tak difahaminya.

Hembusan angin dingin Bromo melambai-lambaikan pucuk-pucuk dedaunan di punggung-punggung perbukitan. Kabut tebal turun perlahan. Sejuk. Damai. [Tamat]

Disalin oleh: Chen Mei Ing

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: BUDAYA

ARTIKEL: KEHIDUPAN

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: BERITA