KISAH | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Minggu, 05 Juni 2011

MENUNGGU DEMI CINTA

Baru-baru ini saya menerima surat dari seorang teman baik. Jay bekerja di sebuah kota kecil di Tiongkok selama beberapa tahun, namun belakangan ini, ia berencana kembali ke Amerika.

Melihat kemampuan Jay, sebenarnya ia dapat memperoleh posisi yang memuaskan di tempat manapun di dunia. Alasan mengapa ia memilih Tiongkok memang sulit dimengerti. Saya pernah menanyakan masalah ini.

Jay menjelaskan bahwa dirinya memiliki kecintaan tersendiri terhadap kebudayaan timur, bahkan merasa dapat hidup lebih dekat dengan tempat yang pernah menjadi kampung halaman orang yang ia cintai, meskipun hubungan mereka sudah semakin mendekati kehancuran.

Istri Jay berasal dari keluarga miskin di Tiongkok, namun ia sangat cerdas. Selama bertahun-tahun ia berjuang dan berhasil menjadi tenaga pengajar di sebuah perguruan tinggi terkemuka di Amerika. Sewaktu di Tiongkok, istri Jay pernah menikah dan bercerai, setelah berpacaran dengan Jay tak lama kemudian mereka menikah. Mungkin karena manusia biasanya tidak dapat menghargai sesuatu yang sudah diraihnya, setelah menikah, sang istri tidak lagi memiliki cinta.

Setiap kali membicarakan hal ini, Jay selalu menertawakan dirinya, dan mengatakan bagaimanapun tinggi IQ-nya, tetap juga tidak mampu memahami istrinya. Perempuan yang sedemikian pandai, cantik dan berkepribadian anggun, mengapa dapat membenci pernikahan. Setelah bertengkar beberapa kali, mereka hampir berada di ambang perceraian, namun beberapa kali sang istri selalu mundur.

Dugaan Jay, mungkin karena konsep tradisional Tiongkok bahwa perempuan yang sering bercerai adalah tidak baik, sehingga ia tidak lagi mengungkit hal ini. Selain itu masih terdapat hal-hal yang berkaitan dengan asuransi dan masalah lainnya, sehingga jika terjadi perceraian akan menjadi lebih runyam.

Demikianlah pernikahan gabungan antara Tiongkok dan Barat ini mengalami keretakan, sedangkan yang bersangkutan justru berlagak pilon memandang tanpa melihat. Jay datang ke Tiongkok untuk cinta yang pernah dialami, seolah di sanalah dia dapat menemukan bayang-bayang orang yang dicintainya pada pandangan pertama, sedangkan di Amerika semuanya seolah-olah telah menjauh. Lebih tepatnya, yang dicari Jay di Tiongkok hanyalah perasaan, seolah sang kekasih pujaan hatinya masih berada di sana.

Setelah melewati tahun-tahun tanpa badai, proses perceraian Jay dan istrinya berhenti sampai pada hidup terpisah, tidak kunjung sampai pada perceraian. Mereka hanya berjumpa setahun sekali untuk menyelesaikan berbagai masalah kemudian berpisah lagi, menempuh hidup masing-masing yang terpisahkan samudera luas, sehingga untuk bertengkar pun menjadi sulit. Di dalamnya memang terkandung kekonyolan dan terlebih lagi kepedihan, sang istri mengarungi samudera ke Amerika mencari cinta dan pernikahan, sedangkan sang suami akhirnya meninggalkan tanah airnya, pergi ke daratan Tiongkok yang jauh dan asing untuk menangkap secercah bayang-bayang cinta.

Baru-baru ini, istri Jay divonis mengidap kanker. Dia bertahan untuk hidup sendiri, namun Jay dengan tegas memutuskan ingin melaksanakan kewajiban sebagai suami. Akhirnya, jiwa yang telah mengembara bertahun-tahun itu telah pulang. Jay tidak bersikukuh tinggal bersama sang istri, melainkan bekerja dan menetap di kampung halamannya sendiri. Entah sang istri dapat atau tidak mengerti jerih payah Jay, tetapi ia tidak ingin memaksa istrinya menyetujui atau memberikan tekanan apapun. Hanya dengan diam-diam menunggu di sampingnya, menunggu kemungkinan saat-saat sang istri membutuhkan pelayanannya.

Suatu kehidupan yang biasa, namun ketulusan Jay menunggu demi cinta jauh lebih menyentuh daripada cerita hingar bingar di televisi. Cinta memiliki taraf yang berbeda, mencapai tanpa ego, tanpa aku, berkorban demi pihak lain barulah yang paling tulus. Proses menunggu demi cinta mungkin sangat menderita, namun ketulusan itu mungkin sudah tidak lagi ada di masyarakat modern yang terpikat dengan kemewahan.

Pada hakikatnya, manusia seharusnya tidak mendua dan seyogyanya bertanggung jawab demi cinta. Sekalipun keadaan tidak seperti yang diinginkan juga harus berpegang teguh pada sumpah janji semula, tak peduli dalam keadaan mujur ataupun malang, sulit atau derita, tidak meninggalkan ataupun mencampakkan sang kekasih. (*)

http://yinnihuaren.blogspot.com
Email dari: Siao Fung, Pontianak

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: BUDAYA

ARTIKEL: KEHIDUPAN

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: BERITA