Aku berbaring diatas kasur. Membiarkan jendela terbuka. Agar anginnya dapat menyusup kedalam dan menemani malam ini.
"Sayang, kamu sangat menyenangkan",Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibirnya. Aku memandangi wajahnya yang bulat. Raut wajahnya tidak mengisyaratkan bahwa dia berusia 29 tahunan seperti yang dia katakan padaku waktu itu. Mana mungkin pria ini belum menikah dan mempunyai anak.
"Hingga tiap malam aku merindukanmu, merindukan pelukanmu, bibirmu dan semuanya", Lelaki itu tersenyum. Gombal. Aku mempermainkan rambutnya dengan jari-jemariku.
"Kalau aku hamil bagaimana ?", Mulutku yang sejak tadi bungkam kini bersuara.
Aris diam.
"Sex terputus, tau kan", Kata-katanya mengingatkanku kembali pada mata pelajaran biologi semasa SMP dulu.
"Kalau kebablasan", Kataku lagi.
"Sebisa mungkin menghindarinya", Aris tersenyum dan berusaha melepas satu demi satu pakaianku.
"Jangan…", Aku menolak dengan halus.
"Aku hanya ingin memelukmu, aku nggak menginginkan ini",Aku bangkit dan menyingkirkan kepala Aris yang masih berada dalam pangkuanku.
Aku menuju jendela. Memandangi purnama yang kesepian. Aris mengikuti langkahku.
"Kita menikah saja, baru kita melakukan itu", Aris mendekap tubuhku.
***
Aku tidak bisa tidur malam ini .Dan bayanganku dengan Aris masih saja terngiang-ngiang di pelupuk mataku. Di malam itu.Di saat pertama kalinya Aris menodai kesucianku.
"Mungkin aku hamil",Batinku.Aku tidak pernah mengenakan alat pengaman saat berhubungan dengan Aris. Sambil mengingat-ngingat kembali pertama kalinya aku berhubungan sex dengan Aris.
Malam berkisar antara pukul 1 hingga pukul 2 malam. Namun aku masih belum mengantuk. Tiba-tiba aku merasakan kerinduan yang besar pada Aris. Pria yang belum dapat di sebut sebagai kekasihku.
***
Pagi itu. Saat aku terbangun , Mily sudah berada dalam kamarku.
"Ga…aku sedang jatuh cinta",Aku tertawa mendengar adik kecilku mengatakan kata-kata itu. Mily memang selalu memanggil namaku. Kalau lagi mood baru memanggilku "Kakak".
"Ah…masa,siapa pria beruntung itu", Aku masih tiduran diatas kasur dalam kondisi rambut acak-acakan.
"Soni".
"Nama yang indah, pasti orangnya tampan", Aku tertawa.Mily ikut-ikutan tertawa. Memperlihatkan deretan giginya yang rapi. Mily mulai beranjak dewasa dan aku berfikir sudah saatnya untuk jatuh cinta buat gadis seumuran dia.
"Pasti senyumnya manis".
"Apakah perasaanmu berbalas",Aku membelai rambut Mily.
"Sepertinya ia",Mily tersenyum.
"Dapatkan pangeranmu",Aku berbisik di telinganya.
***
Pagi itu saat aku berpamitan pada Bapak.
"Pa…jangan terlalu memikirkan Elga.Elga akan baik-baik saja",Aku menggenggam tangan ayah.
Wajah ayah tampak pucat. Sudah 3 bulan lamanya kaki Bapak tidak dapat digerakkan. Kemungkinan lumpuh.
"Elga…kuliah yang serius ya,ayah ingin suatu saat nanti kamu menjadi orang sukses. Tidak seperti ayah dan ibumu. Masih ada sedikit uang di bank untuk biaya kuliahmu", Matanya memandangku tajam.
"Ibu…Elga pamit", Aku memeluk tubuh ibu.
"Hati-hati sayang", Mata ibu berkaca-kaca.
Meisya dan Mily bergantian memelukku. Hari masih pagi dan kedua adik gadisku belum berangkat kesekolah.
"Meisya…jangan nakal dan rajin belajar ya", Aku jongkok dihadapan Meisya.
"Iya kak", Suaranya polos. Aku mencium pipinya.
"Mily…", Kali ini aku hanya berbisik di telinga adik pertamaku. Masalah orang dewasa. Tentu saja tak kubiarkan kedua orang tuaku mendengarnya.
Mily tersenyum saja mendengarkan nasehat dan pertuah yang kupesankan padanya. Lalu kami sama-sama tertawa. Membuat ibu terheran-heran.
Pagi ini aku akan melanjutkan perjalanan kekota. Padahal kalau mau, siang harinyapun masih bisa. Sebenarnya tadi ibu mencegahku dan menyarankan untuk pergi siang harinya. Namun aku ingin lekas buru-buru. Aku sudah tidak sabar. Ada order manis dari Aris untukku. Katanya dia akan menjemputku sesampainya aku di depan terminal.
"Halo….siapa ini", Aku mengangkat panggilan masuk dari seseorang yang tidak kukenal.
"Gue Sani ", Kata suara dari seberang sana.
"Hei…kok nomor hapenya ganti sih…nggak bilang-bilang lagi", Balasku.
"Ada apa non…tumben telepon, pasti ada maunya nih".
"Pinjem Buku Jermanmu donk..".
"Bukannya di kamu non"
"Nggak ada tuh…, Udah dicariin ", Katanya berkeluh kesah.
"Okey…ntar nyampe di kost tak cariin deh".
"Danke say…,eh emank loe dimana nih ?".
"Aku di perjalanan dari kampung".
"He..he…Elga mudik nggak ajak-ajak...".
"Ah..masa pulang kampung kudu bilang-bilang sama kamu…".
"Ya..udah, pulsa gue udah sekarat nih…di tunggu oleh-olehnya ya".
"Ye….maunya".
"Bye….bye….".
"Bye…", Kututup telepon dari Sani, teman baikku.
Masih setengah perjalanan lagi. Bis yang kulalui mulai meninggalkan pangkalan. Melewati perbukitan lalu hutan, Bendungan dan akhirnya semuanya menghilang. Aku ketiduran.
***
Tiba-tiba kurasakan tubuhku diguncang oleh seseorang. Aku terkejut dan mencoba membuka mataku. Dan guncangan itu semakin hebat kurasakan.
"Mbak….tiketnya", Sapa seseorang berbaju biru muda yang telah berdiri dihadapanku.
"Ini Mas…", Aku menyerahkan selembar tiket kepada lelaki yang terkesan sangar itu. Ia merobek tiketnya. Lalu pergi meninggalkanku.
"Jam berapa Mas…", Sapaku pada lelaki muda disebelahku yang nampak sebuah jam melingkar dipergelangan tangannya.
"Jam delapan Mbak..", Balas lelaki itu .
"Makasih Mas…", Balasku.
"Aku kangen padamu Ris…", Hatiku berbisik. Sebentar lagi aku akan menemuimu. Akan melihat kamu. Aku ingin memeluk tubuhmu. Seperti kamu juga yang menginginkan hal yang sama sepertiku.
Aku kembali memejamkan kelopak mataku, memeluk tas.
***
Langit mendung, menandakan sebentar lagi hujan akan turun. Terminal penuh sesak. Aku menuruni tangga bis sambil melihat sekeliling. Sekitar terminal di padati oleh penjaja makanan,minuman dan rokok. Peron terminal dibatasi oleh pagar besi. Membatasi ruang tunggu dan bagian luar. Di sepanjang pagar besi itu berjejer pengemis dengan berbagai kondisi. Ada yang kakinya buntung, matanya buta, ada wanita tua yang kurus dan sebagainya.
Aku trenyuh melihat kondisi seperti ini. Dimana perhatian pemerintah mengatasi orang-orang seperti ini. Paling tidak memberikan sebuah rumah dan pekerjaan yang layak buat mereka.
Aku duduk di peron terminal dengan ransel di pangkuanku. Mataku mencari-cari seseorang. Aris, yang katanya akan menjemputku sesampainya aku di terminal. Mana lelaki itu ?
Sayangnya aku tak memiliki pulsa untuk menghubunginya. Masih ada sedikit kesabaran untuk menunggunya. Semoga ia cepat datang atau paling tidak menghubungiku di telepon untuk menjelaskan alasan keterlambatannya. Dan bayangan itupun terukir kembali di pelupuk mataku. Dimalam itu.
"Sudah punya pacar", Aris bertanya padaku.
"Belum…. kenapa bertanya seperti itu", Aku memandang wajah Aris. Bibirnya tersenyum.
"Kenapa….",Aris ingin tahu.
"Kenapa belum memiliki pacar", Pertanyaannya diulanginya kembali untuk memperjelas makna dari pertanyaan itu.
"Belum nemuin yang cocok aja…", Balasku.
"Kenapa tidak kamu saja yang menawarkan diri untuk menjadi pacarku…", Aku menggenggam tangannya.
Aris diam.
"Hanya menginginkan tubuhku, tak menginginkan cintaku ", Aku membatin sambil memperhatikan wajahnya yang mulai tegang.
Selalu saja tidak dihiraukan, setiap kali aku berbicara seperti ini. Jangankan menyebutkan keinginanku untuk menikah dengannya. Membicarakan masalah ini saja tak digubris sama sekali olehnya. Aku masih belum paham dengan watak lelaki ini.
"Kenapa…?"A ku mengelak saat Aris berusaha meraba wajahku.
Lalu ia melepaskan tangannya dan memandang jauh kedepan. Kulirik wajahnya. Raut ketidakpuasan disertai kekecewaan. Aku menyesal dan berusaha merebut hatinya kembali. Aku tidak senang melihat raut wajahnya seperti itu.
"Cium saja ", Aku memejamkan mata. Memberikan kesempatan padanya untuk menciumku. Supaya hatinya kembali seperti semula.
Tangannya menggenggam erat tanganku. Lalu perlahan bibirnya menyentuh bibirku.Aku menikmatinya.
***
Bunyi hujan membuyarkan lamunanku. Titik-titik air mulai berjatuhan dari langit. Pertama rintik-rintik kemudian semakin deras. Orang-orang berlarian ke tempat yang lebih aman. Sedangkan aku masih duduk diperon memegangi ranselku. Menunggu Aris. Kulirik handphone didalam tas. Waktu telah menunjukkan angka 11.23 wib. Tanpa terasa hampir satu jam aku menunggunya.
Bersambung ...
[Selvia Chang / Gorontalo / Tionghoanews]