Saat itu aku yakin bahwa Lili adalah gadis lugu yang kuimpikan bisa berubah gaya hidupku yang euphoria, penuh dengan pesta pora, hura-hura, bahkan tak jarang bergelut dengan dunia seks bebas dan drugs.
Kami menikah tahun 2002 lalu. Pernikahan kami awali dengan masa pacaran yang terbilang singkat hanya sekitar 3 bulan. Dalam waktu tiga bulan tersebut aku memang belum mengenal watak Lili, namun aku yakin dengan pilihanku saat ini.
Aku yang sudah matang dalam usia dan mapan dalam pekerjaan, kemudian meminangnya. Orang tua Lili yang sudah kenal betul dengan ayahku yang seorang pengusaha sukses di kota ini, tak berpikir panjang untuk menerima lamaran itu.
Setelah menikah, kami tinggal di rumah pemberian ayahku, yang dihadiahkan sebagai hadiah pernikahan kami. Tak sebagus rumah orang tua Lili memang, namun asri, sederhana dan cukup untuk membina sebuah keluarga kecil yang bahagia. Dengan dilengkapi sebua mobil, dan satu orang pembantu, sepertinya aku tak perlu lagi memikirkan apa apa.
Malam pertamapun aku jalani dengan lancar, dan sekali lagi aku bisa membaca prilaku Lili yang lugu dan malu-malu. Lili tak bereaksi aktif ketika aku mencoba mencumbunya, ia hanya memejamkan matanya dan sedikit melenguh saat mulai menemukan irama kenikmatan malam pertama, setelah hampir satu jam kamipun terkulai lemas.
Aku betul-betul bahagia bisa menikah dengan gadis pujaanku. Dengan Lili, aku berharap bisa merubah gaya hidupku yang gemerlap, dan kembali menjalani kehidupan normal lanyaknya seorang suami dan ayah bagi anak-anakku kelak. Keadaan yang dulu cuma menjadi sebuah hayalan dan mimpi-mimpi indahku saat aku terlelap dalam tidur.
Namun, impian tak sejalan dengan kenyataan yang harus kudapatkan. Lili yang dulu terlihat sangat sederhana, lugu dan seperti tak tahu apa-apa tentang kehidupan malam, ternyata justru menyimpan prilaku yang terpendam yang lebih parah dari kelakuanku saat belum menikah. Lili seorang pemuja kehidupan malam, dan setelah menikah pun Lili masih sulit melepaskan diri dari ketergantungan di dunia yang penuh kesenangan semua itu.
Dan semua itu aku rasakan setelah beberapa bulan menikah, Lili juga menolak untuk memiliki anak. Lili beralasan tak mau direpotkan mengurus anak. Lili ternyata masih ingin bebas, seperti saat ia belum memiliki pasangan, menikmati masa-masa mudanya dan tak mau dikekang, meski statusnya kini telah menikah
Belakangan, aku makin dibuat bingung karena hampir setiap malam ia dijemput teman – teman gaulnya yang rata – rata anak-anak orang berada. Entah kemana mereka setiap malam, yang pasti kadang kudapati Lili pulang dalam keadaan mabuk. Tak jarang pula di saku bajunya kutemukan pil ekstasi. Sungguh salah aku menduga tabiat Lili selama ini. Ternyata, kehidupannya jauh lebih bebas dariku.
Aku dibuatnya tak berkutik ketika kucoba sadarkan dia. Ia selalu menjawabnya dengan enteng, " Nikmati saja hidup ini, kenapa mesti susah-susah. Kita memang sebagai suami isteri, tapi kamu tidak bisa mengekang kebebasanku. Kalau mau pergi, pergi saja," kalimat inilah yang selalu jadi jawaban yang keluat dari mulut Lili.
Aku mulai ragu kalau-kalau perempuan yang kunikahi ini, tak suci lagi. Karena aku tahu betul kehidupan malam tak bisa dipisahkan dengan kehidupan seks bebas. Aku tahu itu, karena aku pernah menjadi bagian dari kenistaan itu.
Kini, di saat aku belajar untuk melupakan semua masa lalu dan mencoba hidup baru, aku malah diuji lewat istri. Mampukah kuhadapi semuanya ? Entahlah, sampai kapan aku mulai bertahan. Lili makin bebas saja, sampai kadang semalaman tak pulang ke rumah. Beruntung aku belum pernah mendapatinya dengan lelaki lain, sehingga pernikahan tetap coba kupertahankan. [Vivi Tan / Jakarta / Tionghoanews.com]