KISAH | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Kamis, 20 Oktober 2011

KEHILANGAN KEHIDUPAN

Cerpen: "Tolong, kau pegang tanganku! Sekuat tenagamu!" gadis itu berteriak tertahan sambil mendongakkan kepalanya, mencari tenaga tersisa untuk menarik temannya dari bibir jurang itu. Suaranya memang tidak terlalu keras, tetapi erangannya cukup menimbulkan gema karena pantulan dinding jurang. Ia berusaha menarik temannya dari lubang kering itu. Ia masih menggenggam pergelangan tangan temannya walau keringat yang licin yang akan menentukan nasib mereka berdua. Sementara burung-burung gagak melintasi tempat itu. Suaranya memecah sunyi membawa warnanya sendiri.

"Sudahlah, Nia. Kau tak usah bersusah payah menolongku. Aku sudah memilih," sahut temannya itu sambil berusaha melepaskan genggaman Nia, gadis yang berupaya menyelamatkan hidupnya itu. Nia tidak menggubris ucapan temannya itu. Ia masih mencari celah-celah pada batu sebagai tempatnya bertolak. Agar ia mampu menarik sahabatnya itu keluar dari ancaman maut. Tapi?

"Aku mau mati saja, Nia! Sebaiknya kau lepaskan peganganmu!" temannya itu meronta. Tubuhnya bergelayutan seperti pelepah daun kelapa yang hendak jatuh. Tertiup angin melambai-lambai terlihat dari bawah. Tangan kirinya yang bebas berusaha menggapai jemari Nia yang tercengkeram kuat. Bukan menambah eratnya pegangan itu, ia malah berusaha melepaskan jari Nia dari pergelangan tangannya satu per satu.

"Kubilang lepaskan, Nia!" bentaknya dengan wajah penuh amarah.

"Kau ngomong apa? Apa kau pikir aku akan ngelepasin kau gitu aja? Aku akan menarikmu ke atas. Aku bisa menyelamatkanmu, Ri! Percayalah!" Nia berusaha meyakinkan sahabatnya yang bernama Riri itu dan makin mempererat genggaman.

"Percuma! Toh, aku ga mau hidup lagi. Jadi, lepasin aku!!!" Riri marah tetapi, di balik bola matanya yang merah, tersimpan mendung yang sendu. Perlahan air matanya menitik dan mengalir membasahi kedua pipinya. Tapi, ia buru-buru menatap ke bawah. Terlihat sebuah ceruk yang sangat dalam yang akan menjadi makamnya beberapa saat lagi. Tempat air matanya yang jatuh menjadi titik-titik bening. Seperti bintang yang bersinar karena mentari senja.

Tapi, ceruk yang dalam itu tidak terlihat dasarnya. Dan entah kenapa Riri bisa sampai tergantung di bibir jurang tanpa pijakan pula. Dan sekarang Nia, sang sahabat berusaha menyelamatkannya.

"Kau kenapa? Kalo kau ada masalah, kenapa ngga cerita-cerita samaku?" Nia perlahan menyadari bahwa ada suatu masalah yang dihadapi temannya itu. Ia merasa yakin karena ucapan Riri yang tadi. Pribadi Riri yang tertutup menyebabkan hanya ada Nia seorang diri sebagai tempat dia mengadu. Maka, Nia bisa merasakan jikalau Riri sedang menghadapi suatu masalah.

Riri diambil dari panti asuhan 16 tahun yang lalu oleh orang tua Nia. Ibu Nia tidak boleh melahirkan lagi karena suatu penyakit. Dan, pasangan orang tua itu mengadopsi seorang gadis cilik yang manis yang baru berumur 3 tahun. Dialah Riri yang sekarang tergantung menunggu malaikat kematian membawanya terbang menuruni tebing jurang. Menuju alam peristirahatan.

"Aku sayang samamu, Ri. Aku akan tetap berusaha menolongmu. Jangan takut! Kumohon agar kau tetap tenang dan jangan meronta. Tanganku juga sudah tak kuat lagi," erang Nia yang masih mencium kering berdebunya tanah. Ia tersungkur sambil masih memegangi tangan Riri.

"Kau tak sayang aku! Kau malah udah nyakitin aku. Kenapa kau tega, Nia? Padahal aku percaya sepenuhnya samamu! Kenapa?!" meledaklah tangis gadis yang malang itu di udara. Suaranya meraung-raung diselingi isak tangis. Nia menjadi sedih sekaligus tak mengerti ucapan Riri barusan.

"Kau kenapa, Ri? Aku sayang padamu! Kita adalah saudara dan juga sahabat. Kau juga tahu itu kan?" katanya masih berusaha menghibur jiwa Riri yang kesakitan sambil tetap menyimpan tanya.

"Kau tahu Rio kan?! Kau tahu kalau aku dan dia... Kau tahu kan, Nia?! Tapi, sudahlah. Aku relakan. Jadi, tolong! Lepasin tanganmu sekarang!! Lepasiiiiin!!!" Riri meronta sekuat tenaga hingga tubuhnya bergerak kesana-kemari. Karena tebing yang berbentuk sedemikian rupa, ia tidak bisa menjejak apa-apa kecuali udara senja. Lalu, tubuhnya berputar-putar hingga tangan Nia pun ikut berputar. Keringat yang bercucuran malah membuat keadaan bertambah lebih buruk.

"Ri!! Jangan meronta! Tanganku!!!" teriak Nia kesakitan. Ia berusaha mengikuti arah perputaran itu dengan memutar tubuhnya juga. Tapi, itu tidak berguna sama sekali. Pangkal lengannya sudah kram dan perih. Sementara debu berhembus masuk ke dalam matanya, hingga ia tak tahu harus bagaimana menyeka.

"Sudah kubilang kan? Lepaskan tanganku! Atau kau pun ikut terbunuh, Nia!" ancam Riri hendak memberat-beratkan tubuhnya. Ia berusaha melonjak ke atas dan menghempaskan tubuhnya ke bawah. Namun, tanpa pijakan hal itu sangat sulit dilakukan.

"Ri! Tanganku sudah licin! Jangan meronta lagi! Kumohon!" Nia malah menghiba dengan tangis terisak. Perlahan, Nia mulai terseret ke bibir jurang itu. Sekuat tenaga ia mencari celah-celah tebing bagian atas tempat ia berpegangan. Namun, terkadang tak ada banyak batu. Hingga ia terseret semakin jauh.

Nia bisa melihat tubuh Riri yang menolak untuk diselamatkannya. Dan, rambut Nia tergerai turun dan menciptakan wajah yang gelap karena sinar mentari terhalang rambutnya itu. Keringatnya seperti butir-butir air di dedaunan kala pagi hari di halaman rumah. Nia kelelahan terlebih ketakutan akan kehilangan saudari satu-satunya. Riri malah sudah memutuskan akan meninggalkan dunia dengan menjatuhkan diri.

Kini Nia sudah terlalu jauh ke bibir jurang. Bagian atas tubuhnya sudah mulai turun seolah-olah ingin menjemput Riri.

"Aku benar-benar tak tahu soal Rio. Yang aku tahu, kau adalah sahabatku. Aku akan menolongmu sekuat tenagaku, Ri. Tapi, jika aku ada salah, aku minta maaf. Jangan pergi dan tinggalkan aku," ucap Nia lirih. Air matanya menitik jatuh tanpa menyentuh pipinya yang kurus dan berkeringat. Air matanya jatuh tepat mengenai rambut Riri. Riri menyadari hal itu dan mendongak ke atas. Dan dilihatnyalah wajah sendu dan takut sedang memandanginya. Bibir Nia tergetar, seolah-olah sadar kalau tidak ada gunanya lagi berusaha mengajak Riri tinggal di dunia bersamanya, karena Riri memutuskan untuk pergi.

"Siapa nantinya temanku cerita kalau kau pergi, Ri?" tangis Nia pecah. Emosi jiwa yang satu itu keluar dan malah menguras tenaganya. Perlahan, genggamannya mengendur dan, Riri terlepas jatuh.

"Ririii...." Nia berteriak dengan telapak tangan terbuka hendak meraih tubuh Riri yang detik demi detik mengecil dalam pandangan.

Tapi, Nia tidak begitu saja melepas Riri dari hidupnya dan dengan sedikit tenaga tersisa, ia melompat ke mulut jurang dan meluncur turun dengan cepat. Terlihat tubuh dua perawan itu melayang jatuh seperti bintang. Jauh-jauh karena jurang itu cukup dalam. Mereka masih sempat berbicara sebelum bayangan dinding menyembunyikan kematian.

"Kenapa, Nia?" suara Riri tertelan angin. Tapi, Nia masih bisa mendengarnya. Tubuh mereka sudah dekat.

"Sekarang kita berdua tak tertolong," sahutnya pelan. Namun, pembicaraan itu seperti sudah dari hati ke hati. Atau mungkin mereka sudah mati.

"Kita akan selalu bersama, Ri. Sela..."

"Dhuaakk!" kepala Nia terbentur ke dinding jurang. Dan ia tewas dalam sekejap tanpa merasakan apa-apa. Darah bercipratan mengenai wajah Riri. Jasad Nia terbentur berkali-kali hingga bisa dipastikan tubuhnya sudah tak berbentuk lagi.

Sementara Riri terus bergerak turun. Lapisan angin seperti mencabik-cabik tubuhnya. Menciptakan rasa sakit yang tak terasa lagi. Dalam kelu bibir dan sendu matanya, Riri menangis terbungkus rasa sesal.

"Maafin aku, Nia. Aku akan menyusulmu segera,"

Terdengar suara sesuatu tercebur ke air. Dan gaung suara itu merambat ke langit melalui dinding jurang yang kejam. Tiga hari kemudian, tubuh Riri yang lemah tak berdaya ditemukan oleh beberapa pemburu di muara danau. Ia selamat tetapi kehilangan ingatan. Dan, mungkin juga kehilangan kehidupan. [Susi Ng / Balikpapan / Tionghoanews]

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: BUDAYA

ARTIKEL: KEHIDUPAN

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: BERITA