Keluargaku, terutama ayah memang selalu berkata, bahwa pacaran tak baik untuk seorang perempuan seperti aku. ayah juga berkali-kali menjelaskan padaku bahwa pacaran memiliki resiko besar terhadap perkembangan kejiwaanku, karena memiliki pacar sama dengan mendekati kemaksiatan. Dan kata-kata ayah itu semakin membuat aku takut untuk berpacaran.
Namun belakangan aku mulai risau dengan perasaanku sendiri, hal ini berawal saat aku bertemu dengan seorang laki-laki, sebut saja namanya Hendra (bukan nama sebenarnya). Entah mengapa laki-laki ini begitu membuatku terpesona, sangat berbeda dengan laki-laki yang sebelumnya banyak aku kenal. Dan tak seperti biasanya, aku sangat sulit untuk melupakannya, sampai-sampai terbawa dalam mimpi.
Ketika hal itu aku ceritakan pada teman dekatku, ia bilang bahwa aku sedang jatuh cinta. Ada perasaan bahagia sekaligus takut dengan hal tersebut. Bahagia karena aku ternyata bisa jatuh cinta, dan takut karena jika perasaan itu aku lanjutkan maka aku akn mendekati perbuatan maksiat, seperti apa yang sering ayah katakan kepadaku.
Namun ternyata, perasaan takut itu hilang dan tenggelam oleh perasaan cinta yang semakin hari semakin menggebu. Walau dengan jalan sembunyi-sembunyi, akhirnya aku memutuskan untuk menjalani cinta kasih itu dan untunglah Hendra menyadari dan memenuhi keinginanku tersebut. Dan mulai saat itu aku resmi menjalin cinta dengan Hendra.
Ternyata apa yang selalu didengung-dengungkan ayah soal resiko berpacaran tak terjadi terhadap hubungan kami, sebaliknya aku malah merasa sangat nyaman dan bahagia. Dan keadaan itu semakin menambah motifasi terhadap semua kegiatannku, mulai dari belajar, beribadah dan prilaku keseharianku.
Perubahan itu ternyata membuat semua kelurga merasa bingung dan curiga dengan apa yang terjadi saat itu. Dan akhirnya hubungan cinta kasihkuku dengan Hendra terbongkar juga. Ayah sangat marah terhadap apa yang kau lakukan, beliau memaksaku utnuk segera mengakhiri hubungan itu dan tentu saja aku menolak. Ujungnya aku akhirnya di ungsikan kerumah sanak familiku yang berada di luar pulau Jawa dan itu membuatku tak bisa lagi berhubungan dengan Hendra.
Singkat kata, selama tujuh tahun aku tak lagi bertemu dengan Hendra dan selama itu juga aku tak pernah lagi merasakan jatuh cinta. Sampai akhirnya orang tuaku datang menyampaikan sebuah berita, bahwa aku baru saja dilamar seorang pria dan lamaran itu sudah diterima, dan aku diharuskan kembali ke Pulau Jawa untuk berkenalan dengan Imran (bukan nama sebenarnya).
Singkat cerita, aku memang tak bisa menolak dengan keadaan itu, setelah bertemu Imran, aku memang memiliki kesan yang lumayan baik tentang dirinya. Ia cukup tampan, romantis dan sangat memperhatikan tata karma kesopanan. Namun dibalik itu semua aku memang belum mengtahui secara persis tabiat Imran yang sebenarnya.
Dan ketidak tahuan itu akhirnya membawaku kesebuah situasi yang sulit saat Imran mengajakku kesuatu tempat yang menurutnya sangat romantis. Imran berkata bahwa ia telah meminta izin kepada orang tuaku dan mereka mengizinkannya. Dan akhirnya berangkatlah kami menuju tempat yang dikatakan Imran cukup romantis itu.
Ternyata tempat yang dikatakan Imran adalah sebuah taman yang cukup sepi. Dan ditaman itulah akhirnya aku menemukan pengalaman indah sekaligus pahit. Imran yang semula begitu santun ternyata lihai membangkitkan gairah seks perempuan, dan ditaman yang sepi itu aku akhirnya terbenam dalam kenikmatan oleh pelukan dan rabaan, dan bahkan ketika tangan Imran mulai meraba pangkal pahaku, aku seperti kehilangan akal sehat, hingga akhirnya Imran berhasil menelusupkan satu jarinya. Ada rasa nyeri saat itu tapi kenikmatan menutupi semuanya.
Dan itulah awal mala petaka yang aku hadapi. Karena setelah kami menikah, Imran menuduhku pernah melakukan persetubuhan, karena saat malam pertama aku tak mengeluarkan darah seperti yang diharapkan Imran, padahal saat ia menelusupkan jarinya itulah yang kuperkirakan telah merobek selaput keperawananku, tapi tak mau mengerti dengan penjelasanku.
Akibatnya sejak malam pertama itu Imran tak lagi muncul dirumahku, ia hanya meninggalkan sepucuk pesan mealui surat bahwa ia menyesal telah menikahi perempuan yang sudah tak perawan, dan ia juga berkata bahwa ia tak akan kembali lagi untuk selamanya. Saat itu aku tak tahu harus berbuat apa selain mengadukan hal ini terhadap keluarga, parahnya keluargakupun tak tahu harus berbuat apa, sementara keluarga Imran tetap mempercayai kata-kata Imran. Hingga saat ini aku tak tahu apa satusku, sebagai istri aku tak memiliki lagi suami, sebagai janda perceraianpun belum aku terima. [Vivi Tan / Jakarta / Tionghoanews]
------------------------------------------------
Mari membaca dan bergabung bersama http://tionghoanews.com dengan ponsel klik http://m.tionghoanews.com dan e-group http://asia.groups.yahoo.com/group/tionghoanews
------------------------------------------------