Khususnya di Semarang, Ze Hai Zhen Ren secara lazim disebut Guo Liuk Kwan [Kwee Lak Kwa], dipuja di klenteng milik keluarga Guo (Kwee) di Jalan Sebandaran (Klenteng Cek Hay Miaw - Kuil Penenang Samudera).
Guo Liuk Kwan digambarkan sebagai seorang Pejabat Tinggi yang berpakaian ala dinasti Han disertai dua orang pengiringnya. Salah satu dari dua pengiringnya itu, jelas seorang suku Jawa, dilihat dari corak pakaian dan ikat kepalanya.
Dari kisah yang beredar dari mulut ke mulut, disebutkan bahwa Guo Liuk Kwan adalah seorang utusan perdangangan Tiongkok yang datang ke Indonesia untuk melakukan kegiatan perekonomian. Oleh karena itu, ia sering melakukan perjalanan dari kota-kota di pesisir utara Jawa, yang dibantu oleh dua orang asistennya.
Suatu hari, dalam pelayarannya di sekitar pantai Tegal, beliau berhadapan dengan segerombolan bajak laut yang berusaha menaiki perahunya. Dengan wajah tenang, Guo meminta para pembajak bersabar, agar dia diperkenankan mandi dan berganti pakaian. Setelah selesai mandi dan berpakaian, Guo bersama kedua pegawainya turun ke darat meninggalkan perahunya. Sekonyong-konyong angin bertiup dengan dahsyatnya, dan ombak menggulung lenyap perahu beserta para pembajak yang tidak sempat melarikan diri. Sejak itu Guo beserta kedua pengiringnya lenyap.
Tetapi orang-orang dari beberapa tempat mengaku pernah bertemu dia pada waktu yang bersamaan. Karena hal-hal itulah mereka percaya bahwa Guo sesungguhnya adalah seorang yang sakti. Sebenarnya Guo adalah seorang Tao yang telah mencapai taraf cukup tinggi.
Para peneliti beranggapan bahwa Guo Liuk Kwan mungkin adalah salah satu tokoh dalam pemberontakan melawan VOC pada tahun 1741-1742 yang dikenal dengan sebutan "Perang China". Pasukan Tionghoa dipukul mundur oleh VOC lalu mundur ke Tegal. Dari Tegal mereka terus didesak. Dalam keadaan pasukan yang tercerai berai itulah Guo Liuk Kwan kemudian tidak tentu rimbanya.
Cerita lain mengatakan, bahwa Guo Liuk Kwan sempat tinggal di daerah Tegal, dia membantu rakyat setempat membangun daerah tersebut, dengan mengajarkan cara-cara bertani dan bernelayan. Pada masa tuanya, karena mengingat masa lalunya, beliau ingin mengenang kembali pelayarannya. Maka pada suatu hari ia pergi berlayar secara diam-diam dan kemudian tidak kembali lagi sejak itu.
Karena telah berjasa besar, masyarakat setempat menganggap beliau telah mendapatkan Tao-nya serta mencapai tingkat Cen Ren (Dewa), maka kemudian dibangunlah Cen Ren Miaw di Tegal untuk memuja dan mengenangnya.
Pada tahun 1837 bulan kedua Imlek seluruh bangunan diperbaiki dan direnovasi oleh Kapiten Tan Kun Hway dan sejak itu namanya berubah menjadi Cek Hay Kung. Salah satu klenteng Ze Hai Zhen Ren juga dibangun di Banjar oleh Tan Se Guan (putra Tan Kun Hway).
Selain itu untuk memperingati saat beliau pergi, setiap tahun dilakukan sebuah upacara untuk mengantar Ze Hai Zhen Ren ke pantai tempat dia pergi berlayar. Upacara sembahyangan tersebut dilakukan di pesisir pantai dengan menempatkan patung Ze Hai Zhen Ren menghadap ke arah laut. [Tiffanny Chen / Batam / Tionghoanews]