Namun ternyata cinta kakakku terhadap Deni mengalahkan segalanya, ia sengaja mengorbankan diri dengan cara menyerahkan mahkotanya kepada Deni agar orang orang tua kami mau menikahkan mereka berdua. Karena terpaksa akhirnya pernikahan itu terwujud juga, walau mungkin dengan kerelaan yang setengah hati.
Dan ternyata apa yang dikhawatirkan kedua orang tua kami benar-benar menjadi kenyataan. Tiga bulan setelah menikah, Deni terlibat urusan dengan pihak kepolisian karena tertangkap basah tengah berjudi sabung ayam. Untuk urusan itu kakakku terpaksa membayar uang tebusan yang lumayan besar. Namun kejadian itu tak membuat Deni menjadi jera, ia malah lebih 'gila' dalam berjudi karena merasa ada yang mau membayar uang tebusan saat ia tertangkap.
Tapi anehnya keadaan tersebut tak lantas membuat kakakku berfikir dan memaknai apa yang dinasehati ayah dan ibu. Ia justru semakin bertekad untuk mempertahankan rumah tangganya, kakakku beralasan bahwa ia akan bisa membuat Deni sadar dengan kelakuannya. Kakakku juga beranggapan, bahwa ia cuma membutuhkan waktu untuk bisa menyadarkan Deni dari kebiasaan buruknya itu.
Namun sampai akhirnya kakakku dikaruniai seorang putri, kelakuan Deni tak pernah berubah bahkan lebih buruk dari sebelumnya. Bukan hanya judi yang ia lakukan, main perempuan, mabuk-mabukan sudah menjadi kesehariannya. Efek dari itu semua, Deni tak segan-segan menjual apa saja yang ada di rumah, bukan saja milik kakakku yang ia jual, bahkan barang-barang berharga milik orang tua kamipun Deni berani menjualnya.
Karena tak tahan dengan kelakuan Deni dan sikap keras kepala kakakku, orang tua kami akhirnya memutuskan untuk pindah rumah ke kampung halaman, sementara rumah yang saat itu kami tinggali diserahkan sepenuhnya kepada kakakku, dengan harapan ia bisa mengelola tempat kos-kosan peninggalan keluarga. Orang tua kami tak ingin lagi turut campur dengan apa yang selanjutnya terjadi.
Semenjak kami pindah, kekerasan-kekerasan mulai terkadi, Deni mulai berani memaki-maki kakakku bahkan tak segan melakukan kekerasan fisik. Aku memang tak melihat langsung kekerasan yang dilakukan Deni terhadap kakakku, tapi aku bisa melihat perubahan pada diri kakak saat ia datang ke kediaman kami. Terkadang aku melihat wajahnya sedikit lebam di bagian dagu atau pipinya, tarkadang aku melihat jalannya yang terpincang-pincang karena merasakan sakit di bagian pinggulnya.
Dan sekali lagi ia menunjukan sifat keras kepalanya kepada kami, ia tetap berkeras tak mau bercerai dengan Deni, entah apa yang ada dalam pikiran kakakku itu. Terkadang aku dibuat sangat kesal bahkan benci saat ia hanya bisa mengadu dan menangis di hadapan ayah dan ibu. Tapi jika diberi nasehat ia justru melawannya. Tak jarang ibu ikut menangis melihat penderitaannya sekaligus sikap keras kepalanya.
Keadaan tak pernah berubah sampai mereka di karuniai tiga orang buah hati. Biaya rumah tangga tergantung sepenuhnya dari hasil menyewakan kamar-kamar yang ada di rumah dan warung kecil-kecilan yang dibuka oleh kakakku, sementara Deni masih dengan kebiasaan lamanya. Deni mulai berani merongrong orang tua kami dengan meminta bagian dari beberapa petak sawah yang dimiliki ayah untuk dijual dengan alasan untuk membiayai sekolah anak-anaknya. untunglah ayah tak mengabulkan permintaannya.
Konsekwensinya, Deni nekat menggadaikan sertifikat rumah yang saat itu ia tinggali dan dampaknya amat buruk. Setahun kemudian rumah itu disita karena kakakku tak mampu lagi membayar angsuran pinjaman yang lumayan besar setiap bulannya. Saat mendengar hal itu ibu langsung jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia, sementara ayah yang selama ini bersabar akhirnya meledak dan memaksa kakakku untuk tinggal bersama kami dan meninggalkan Deni.
Dalam keadaan yang demikian kacau itu, kakakku masih saja menolak untuk meninggalkan Deni, ia berkeras hati untuk tetap tinggal bersama Deni apapun yang terjadi. Saat ini kakakku memang masih tetap bersama Deni dan tinggal dirumah kontarakan yang sangat sederhana, setiap hari kesengaraan selalu menyertai kehidupan mereka, anak-anak mereka tak lagi bisa melanjutkan pendidikannya.
Sementara ayah dan aku tak mau lagi berbuat apa-apa, walau terkadang kakakku pulang untuk meminta sedikit bantuan. Namun hati ayah sudah terlanjur membatu, ia sudah tak mau lagi memberikan bantuan apapun untuk kakakku. Terkadang aku tak tega melihat kakakku datang sambil menangis, tapi apa mau dikata kekerasan hatinya dan cintanya kepada Deni mengalahkan segalanya. Aku cuma bisa mendoakan agar mereka diberi kekuatan dalam menjalani kehidupannya. [Vivi Tan / Jakarta / Tionghoanews.com]