Padahal kalau kita datang ke Taman Makam Pahlawan Kalibata ada makam seorang dari etnis Tionghoa di sana yaitu John Lie atau Laksamana Muda TNI (Purnawirawan) Jahja Daniel Dharma. Pada tanggal 9 November 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, selaku Kepala Negara, menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepadanya.
Pada awal kemerdekaan Indonesia bahkan banyak juga etnis yang disebut asli Indonesia ternyata memihak Belanda dan menentang kemerdekaan Indonesia. Wakil Van Mook sebagai juru runding mewakili pihak Belanda selama tahum 1945-1949 adalah Abdul Kadir dari etnis Jawa.
Jadi persoalannya bukan pada ia etnis asli Indonesia ataukah etnis pendatang melainkan seberapa besar ia mencintai Indonesia dan seberapa besar pengorbanannya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
John Lie berjasa dalam bolak balik menembus blokade Belanda dalam masa-masa awal kemerdekaan Indonesia di saat kas Negara kosong dan membutuhkan devisa. Ia juga menembus blokade untuk menjual komoditas-komoditas dari Indonesia dan membawa pulang ke Indonesia bahan-bahan yang dibutuhkan Indonesia seperti pangan, senjata, dan obat-obatan. Paling sedikit sebanyak 15 kali John Lie melakukan operasi "penyelundupan".
Berkali-kali kapal kecilnya yang bernama outlaw dikejar-kejar tentara Belanda tapi selalu lolos. Ia sangat terkenal karena licin bagai belut dan susah ditangkap. Ia pernah sekali ditangkap oleh perwira Inggris tapi di Singapura ia dibebaskan karena tidak terbukti melanggar hukum.
Ini sebuah prestasi luar biasa karena persenjataan dan kapal laut Belanda jauh lebih canggih dari kapal laut Republik Indonesia.
Pada tahun 1950 ketika ia berada di Bangkok, ia dipanggil pulang oleh KSAL Subiyaktountuk ikut memberantas Republik Maluku Selatan (RMS) dan berhasil. RMS yang mau memisahkan diri dari Indonesia berhasil dikalahkan oleh Tentara Nasional Indonesia.
Tokoh-tokoh Tionghoa yang nasionalis pada masa Orde Baru sengaja ditutup-tutupi dan tidak diberitahukan kepada khalayak ramai. Ekspresi kebudayaan etnis Tionghoa dilarang. Imlek dilarang. Nama-nama Tinghoa dilarang.
Pada masa awal Orde Baru banyak etnis Tionghoa yang dituduh PKI. Bahkan di beberapa penjara ada etnis Tionghoa yang tidak beragama mengaku-ngaku beragama Hindu supaya tidak dicap PKI. (Untuk lebih lanjut baca Agung Pribadi, "Legalisasi Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam GBHN 1978″ Skripsi Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1997).
Jadi kalau kita ingin menjadi bangsa yang besar. Kebenaran sejarah janganlah ditutup-tutupi. Kedewasaan bangsa kita akan terlihat dari keterbukaan sejarah. Juga jangan terjadi pemitosan terhadap sejarah. [Natalia Lim / Cirebon / Jabar Tionghoanews]