KISAH | TIONGHOANEWS


Selamat datang berkunjung dalam situs blog milik warga Tionghoa Indonesia. Disini kita bisa berbagi berita tentang kegiatan/kejadian tentang Tionghoa seluruh Indonesia dan berbagi artikel-artikel bermanfaat untuk sesama Tionghoa. Jangan lupa partisipasi anda mengajak teman-teman Tionghoa anda untuk ikutan bergabung dalam situs blog ini.

Jumat, 30 Desember 2011

KENANGANKU TENTANG HIRANYA SINGHA (SINGA EMAS)

Siang hari ini semuanya datang berkumpul disanggar untuk latihan menari. Tampak jika Ah Wen sedang sibuk merestorasi dan menghias ulang 3 kepala barongsai yang rusak parah setelah hampir seluruh paginya dihabiskan di dapur untuk membantu memasak dihari menjelang imlek. Ah Wen sangatlah sibuk disaat ia harus mengatur para penari barongsai yang sedang latihan mengembangkan gaya baru untuk penampilan mereka nantinya  walaupun kesibukan para penari tersebut tidak sebanding dengan kesibukan Ah Wen yang harus merangkap pekerjaan hingga beberapa bagian termasuk merestorasi kepala barongsai yang kini hanya bisa dilakukan sendiri ketika pamannya tidak bisa datang siang ini untuk membantunya. Untuk itulah Ah Wen hanya mengerjakan semampunya saja ketika nanti sore pamannya baru bisa datang untuk memperbaiki semua kepala barongsai yang rusak tersebut.

Berbicara soal para penari dari sanggar yang didirikan oleh ayahnya Ah Wen. Rasanya tidak begitu menarik jika tidak menceritakan latar belakangnya terlebih dahulu sebelum menceritakan kecintaan mereka kepada tarian barongsai. Para penari dari sanggar tersebut tidak lain ialah sekumpulan pemuda berbakat yang sebaya dengan Ah Wen sendiri selaku pewaris utama sanggar tersebut sekaligus mengabdikan diri mereka untuk menjadi penari barongsai. Meskipun mereka semuanya harus berasal dari kalangan yang tidak kaya raya, namun itu tidak sedikitpun membuat mereka harus disalah pahami sebagai orang yang tidak pantas dihargai. Mereka ialah penari yang sangat istimewa dan berkat ayahnya Ah Wen yang mendirikan sanggar untuk menyalurkan bakat mereka.  Kini sanggar tersebut telah menjadi sanggar yang terbaik dengan menuai sejumlah penghargaan dari sayembara tingkat daerah hingga tingkat nasional diseluruh Indonesia yang menjadi kebanggaan bagi setiap penari untuk melestarikan tarian yang walaupun dianggap cukup umum dimasyarakat, namun sangat mengagumkan dan senantiasa menginspirasikan seniman manapun untuk berekspresi.

Sementara untuk Ah Wen sendiri. Ia adalah anak bungsu dari tiga bersaudara yang mana abangnya yang tertua telah berumah tangga dan tinggal dikota Medan sementara kakak keduanya juga sudah berumah tangga dan tinggal dikota Jakarta. Tinggal Ah Wen sendiri dikota yang terbilang sederhana ini yaitu kota Binjai, kota yang sangat sederhana dimana semua keajaiban selalu bermunculan dan menginspirasikan para seniman yang istimewa untuk berekspresi.

Disanalah semuanya tentang barongsai sangat dipopulerkan dibandingkan dikota – kota lainnya selain kota Binjai yang terkenal akan kulinernya yang lezat seperti di kota Medan sendiri, Hanya dikota itulah Ah Wen bersama para sahabatnya selaku penari barongsai bisa sepenuhnya memperoleh kedudukan untuk dihargai dan dianggap istimewa sebagaimana sanggar barongsai lainnya yang juga terkenal karena prestasinya memenangkan banyak sayembara. Bahkan untuk sanggar yang telah memenangkan sayembara hingga tingkat Internasional diluar Indonesia.

Dipagi dan siang harinya keenam orang penari yang menjadi jumlah tetap dari sanggar tersebut bekerja sebagai pedagang kaki lima dipasar, pramusaji di rumah makan milik orang tua mereka dan sejumlah pekerjaan sederhana lainnya yang semuanya tampak tidak menjanjikan hidup bahagia. Namun demikian mereka tidak pernah patah semangat dan menjadi orang yang pesimis ketika mereka menyadari akan selalu ada pelarian untuk mereka dari segala kegundahan hidup yang mengusik ketenangan mereka. Menyemaikan semua impian mereka diladang harapan dan berharap hasil yang diperoleh sesuai dengan impian yang mereka semaikan ketika sejauh ini mereka tidak lagi harus hidup susah dan terabaikan sejak mereka menjadi penari barongsai yang berbakat. Mencurahkan semua ekspresi mereka dan meraih impian setinggi angkasa.

Semua itu adalah usaha untuk mengubah sebuah kesusahan menjadi kebahagiaan yang tumbuh sehari demi sehari. Dengan Ah Wen dan ayahnya yang akan selalu menjadi pelindung maupun pembimbing mereka dalam perjalanan mereka mencapai impian mereka yang pantas untuk dikagumi dan diapresiasikan. Niscaya tidak akan ada yang tidak mungkin untuk berhasil diwujudkan.

Lain lagi untuk Ah Wen yang kini telah menjadi pemegang sanggar setelah ayahnya mewariskan sanggar tersebut kepadanya. Ia adalah seorang seniman tulen yang berbakat dalam melukis maupun memerankan sang dalang untuk tarian barongsai & juga berbakat dalam bidang kerajinan tangan sehingga itulah sebabnya hanya ia yang bisa dipercayai sebagai seorang pemerbaiki kepala barongsai yang rusak selain pamannya sendiri meskipun hanya Ah Wen sendiri yang dianggap sebagai pemerbaiki yang terbaik dari yang lainnya.

Ia sangat suka membuat aneka ragam barang – barang kerajinan tangan maupun melukis sehingga secara tidak sengaja. Hal tersebut kini telah memberikannya cukup pemasukan dan ditambah dengan hasil dari pementasan tarian barongsai yang dibagikan kepadanya. Ia tentunya selalu hidup dalam kebahagiaan meskipun tidak bergelimang kekayaan, melainkan bergelimang harapan & impian yang optimis untuk meraih hari esok yang lebih baik dari hari ini. Ketika Ah Wen sangat berharap suatu hari nanti tarian barongsai bisa diangkat menjadi tema sebuah film layar lebar dengan sanggarnya yang dipilih sebagai latar dari kisah film layar lebar tersebut. Ia tidak pernah berhenti untuk berharap agar semua hal tersebut bisa terjadi di suatu hari nanti tanpa ia sadari.

Sementara itu berbicara soal keadaan Ah Wen maupun keluarganya yang dinilai oleh masyarakat masa kini terlalu kolot dan kampungan karena masih melestarikan segala hal yang berkesan etnik dan tradisional. Ah Wen tetap tidak pernah memperhatikannya meskipun ia seringkali keluar rumah dengan mengenakan kemeja Cheongsam yang tampak tradisional sebagai bentuk apresiasinya terhadap indahnya warna – warni kebudayaan etnik atau mungkin lebih memilih penampilan yang rapi, bersih, bersahaja. Kapanpun dan dimanapun ia berada. Ia hanya bisa berpesan kepada generasi muda yang tidak menyukainya agar tidak menjadi generasi yang lupa akan kebudayaan masa lalu ketika mereka lebih tertarik dengan kebudayaan modern dari negara maju dibandingkan kebudayaan di tempat kelahiran sendiri. Yang menjadi fakta mengapa tarian barongsai dimasa kini menjadi tidak seindah tarian barongsai yang pertama kalinya ditampilkan di Indonesia ini ratusan tahun yang lalu.

Ah Wen akhirnya bisa lebih bernapas lega ketika melihat hasil kerjanya sudah hampir rampung. Selain itu para penari juga tampak kelelahan seusai latihan menari. Ah Wen segera mempersilakan mereka untuk pulang kerumah karena hari ini ialah hari Sa Cap Meh, hari sebelum hari pertama imlek dan dihari inilah setiap keluarga Tionghoa yang menyemayamkan altar Sin Cu atau altar leluhur keluarga harus bersembahyang dan mengadakan kenduri untuk menyambut para leluhur. Mereka tentunya sudah tidak sabaran lagi untuk pulang kerumah dan setelah berpamitan kepada Ah Wen sendirian. Satu persatu mereka pun berlalu dari sanggar yang didirikan disamping rumahnya yang berpekarangan luas mengingat jika keluarga Ah Wen tidak tinggal diperkotaan kota Binjai melainkan diperkampungan pinggiran kota sehingga akan ada banyak ruang untuk semua kegiatan disatu lokasi saja.

Ah Wen segera kembali kedalam rumah untuk membantu menggelar semua hidangan kenduri dihadapan altar Sin Cu yang hari ini tampak bersih sekaligus megah. Ah Wen merasa sangat bahagia disaat menjelang Sin Cia tahun ini yang kebetulan jatuh di tahun Kelinci meskipun Ah Wen lahir ditahun kambing dan kelinci ialah makhluk yang paling disukainya dari sekian makhluk yang ada. Tahun lalu ialah tahun Macan dan Ah Wen tidak terlalu memikirkannya lagi setelah ia berharap untuk hari esok akan pementasan besar yang diadakan di Vihara Setia Buddha yang terletak dikota Binjai. Tentu saja ia harus mempersiapkan dirinya dengan sebaik mungkin dalam menyambut hari yang luar biasa tersebut.

Ia segera berganti pakaian kesukaannya yaitu kemeja Cheongsam berwarna kuning emas dan menata rambutnya yang senantiasa rapi dan sebahu. Para kerabat juga mulai berdatangan menyambutnya dengan hangat. Sebentar lagi upacara akan dimulai setelah sang ayah menancapkan dupa pertama diatas altar dan disusul oleh kerabat keluarga maupun anggota keluarga. Abangnya Ah Wen yang tertua juga datang bersama keluarganya meskipun tidak untuk kakaknya yang berada di Jakarta. Ia tidak bisa pulang tahun ini dan mereka sekeluarga memakluminya saja begitupun untuk keluarga abangnya yang tidak ingin menginap dirumah karena esok mereka harus bersilaturahmi sendiri – sendiri dikota Medan dan mereka akan pulang usai makan malam bersama.

Upacara akhirnya dimulai dengan dupa pertama oleh ayahnya selaku kepala keluarga dan disusul oleh para kerabat keluarga. Seluruh anggota keluarga Ah Wen dan yang terakhir ialah dupa dari Ah Wen sebagai penutup. Kasak kusuk terdengar menggema disaat menunggu selesainya upacara dan semua anggota keluarga akan makan besar bersama tanpa ditemani lagi oleh para kerabat yang datang hanya untuk mempersembahkan dupa karena mereka juga merayakannya masing – masing dirumah sendiri. Ah Wen menikmati saja makan siang yang meriah tersebut dengan kesan biasa saja ketika ia yang tidak pernah bisa akrab dengan abangnya sejak dahulu hingga saat ini harus merasa terusik disaat abangnya sama sekali tidak ingin menanggapi soal pementasan untuk esok hari dengan asyik berbasa – basi soal hal - hal yang Ah Wen anggap sebagai pengganggu kebahagiaan didalam hatinya menjelang Sin Cia. Ia yang merasa tidak diperlukan lagi diruang tamu akhirnya berpamitan untuk pergi keluar rumah membeli dekorasi maupun persiapan imlek.

Ah Wen akhirnya sampai juga di pusat perbelanjaan favoritnya yang sangat sederhana saja dikota Binjai ini. Kasak kusuk para pengunjung sangat terasa menyesaki setiap sudut tempat dan sempat membuat Ah Wen bingung akan apa yang hendak ia beli. Ia segera masuk ke pasar swalayan yang saat itu menjual banyak sekali pesiapan – persiapan imlek. Ia membeli cukup banyak barang – barang, termasuk beberapa pasang lampion merah, pernak – pernik imlek yang akan digunakan untuk menghiasi pohon bunga persik dirumahnya, bungkus angpao, beberapa pak minuman instan dan beberapa kotak kue bakul yang bukan buatan pabrik, melainkan buatan rumahan. Alasan ia membelinya karena kue bakul buatan rumahan rasanya lebih nikmat dan memuaskan walaupun agak mahal harganya.

Ia tidak segera beranjak pulang terlebih dahulu dan pergi berjalan – jalan sejenak sampai sore hari untuk melihat – lihat suasana sebelum menjelang imlek. Sangat ramai dan antusias ketika Ah Wen melihat toko – toko busana tampak dipenuhi oleh para pengunjung yang datang untuk membeli baju baru. Ah Wen tidak perlu mengkhawatirkannya lagi karena ibunya sudah menjahitkan satu stelan Cheongsam tradisional yang jauh lebih bagus dibandingkan tahun lalu untuknya dan ia merasa sangat bangga bisa mengenakan Cheongsam dihari pertama imlek ketika orang jaman sekarang tidak lagi memperhatikannya. Bagi Ah Wen ialah sebuah kehormatan untuk bisa memiliki semuanya yang tidak dimiliki oleh orang lain. Usai itu ia akhirnya beranjak pulang kembali kerumah dengan tumpangan beca mesin yang banyak tersedia diluar gedung pusat perbelanjaan.

Ibunya Ah Wen segera menyambut kepulangannya dan membantunya membawa semua barang – barang belanjaan kedalam rumah sembari berterima kasih kepada Ah Wen yang telah menggantikan dirinya berbelanja hari ini. Ah Wen bersama ibunya yang membantunya mulai sibuk untuk menghiasi pohon bunga persik setinggi 6 kaki yang baru saja dibersihkan dan dipajang diruang tamu kemudian mengganti semua lampion yang sudah usang dengan yang baru. Setelah selesai, barulah ia pergi membersihkan diri dan bersiap – siap untuk makan malam lagi. Keluarga abangnya Ah Wen tiba setelah selesai berjalan – jalan seputar kota Binjai sembari membeli banyak oleh – oleh untuk dibawa pulang ke kota Medan. Malam ini mereka akan pulang kembali usai makan malam dan tidak ada yang keberatan karena esok hari Ah Wen sekeluarga juga sibuk untuk pementasan di Vihara Setia Buddha.

Akhirnya usai makan malam, mereka sekeluarga berpamitan pulang dan rumah kembali sepi seperti biasa. Ah Wen yang masih memikirkan pementasan esok tampak berjalan kearah sebuah meja dimana diatasnya diletakkan sebuah kepala barongsai yang berwarna emas. Berbeda dari yang pernah didengar oleh Ah Wen tentang kepala barongsai legendaris yang dimiliki secara turun temurun oleh sebuah sanggar istimewa yang berada disuatu pemukiman di pinggiran kota Jakarta. Kepala barongsai yang berada dihadapannya sepintas tampak seperti kepala barongsai biasa, hanya warna emasnya maupun hiasan dekoratifnya yang terlihat sangat berkilauan maupun bentuknya yang agak berbeda walaupun tidak ada yang terlalu istimewa dari kepala barongsai emas yang dimiliki oleh keluarga Ah Wen. Hanya sejarahnya dan latar belakang dari kepala barongsai emas tersebut yang sampai saat ini masih membuat Ah Wen terkagum.

Ia memandangi dengan cukup lama kepada kepala barongsai emas tersebut sebelum akhirnya ayahnya datang dari belakang mengejutkannya. Mereka berdua pun akhirnya berbicara dalam bahasa keluarga yang berbeda dari kebanyakan bahasa etnik untuk mayoritas kaum Tionghoa di Binjai yang cenderung beretnis Teochew. Mereka sekeluarga beretnis Kanton dan bahasa yang digunakan ialah bahasa Kanton halus yang kalem ketika ayahnya bisa berbahasa beberapa bahasa etnis Tionghoa termasuk bahasa etnis Teochew, Ah Wen masih tetap mempelajarinya hingga saat ini.

Mereka saling berbicara diruang tamu, “jika kamu memang menyukainya, ayah sudah memutuskannya untuk memberikanmu hak memilikinya!” jawabnya. “benarkah, tampaknya itu terlalu berlebihan untukku seorang diri, bukankah kepala barongsai itu adalah peninggalan keluarga kita?” kata Ah Wen. “benar sekali dan kamu tidak perlu merasa keberatan karena esok kita akan memakainya untuk pementasan kita di Vihara nanti,” jawab ayahnya. “baiklah, tetapi apakah aman menggunakan kepala barongsai emas tersebut di pementasan nanti, bukankah usianya sudah tua sekali dan aku khawatir akan rusak nantinya,” kata Ah Wen. namun ayahnya hanya tersenyum kepadanya sembari meminta Ah Wen untuk tidak perlu khawatir. Ah Wen yang kebingungan hanya terdiam diruang tamu selama beberapa saat lamanya, memikirkan kembali pementasan esok siang.

Ah Wen yang merasa masih ada yang perlu dipersiapkan akhirnya segera kembali kekamarnya untuk menyiapkan busana penari dalangnya barongsai. Dijahit sendiri oleh ibunya beberapa tahun yang lalu dengan memakai bahan kain brokat berwarna emas serta disulam sendiri oleh ibunya dengan motif bebungaan warna - warni yang indah. Jelas setelah dikenakan, busana tersebut tampak sangat megah sekaligus rapi dan menawan seperti busana seorang pangeran kanak – kanak yang menawan. Tidak seperti busana penari dalangnya barongsai yang biasanya selalu terkesan kumal, tidak rapi dan berantakan. Ah Wen menginginkan penampilan yang terbaik untuk setiap pementasannya sehingga semua ini dilakukan demi menyempurnakan setiap pementasan yang diselenggarakan begitupun topengnya yang terbuat dari ukiran kayu dan desain yang pas dengan bentuk kepala si pemakainya. Kipas dari daun sejenis pohon palem yang dikeringkan dan dicat emas menjadi artibut yang harus dipegangnya selaku dalangnya barongsai.

Ia kemudian mengenakan jubahnya setelah baju dalamnya dan celana panjangnya dikenakan terlebih dahulu. Penampilannya tampak sangat menawan sesuai dengan yang telah dijelaskan sebelumnya. Topengnya yang bisa dibuka menjadi 2 bagian dikenakan diwajahnya dan setelah itu ia kemudian latihan menari sembari diiringi musik barongsai lewat tape recorder yang dinyalakan. Ia berdoa didalam hatinya agar semuanya berjalan dengan sebaik mungkin disaat ia akhirnya menyadari akan ada 2 sanggar lagi yang ikut berkolaborasi dengan sanggarnya Ah Wen dalam pementasan di Vihara Setia Buddha esok siang. Satu sanggar yang sejak dulu memang memiliki sedikit perseteruan dengan sanggarnya Ah Wen dikhawatirkan akan membawa masalah nantinya meskipun ia berusaha untuk mengabaikannya dan kembali berpikiran positif dalam langkah mensukseskan pementasan yang terbilang megah dan mengagumkan ini yang hanya ada setahun sekali, mengingat akan ada banyak sekali penonton yang menyaksikan pementasan mereka. Akhirnya Ah Wen bisa mengabaikannya dan tidur dengan tenang meskipun tidak nyenyak dan membuatnya harus terbangun disaat keluarganya belum bangun Ia hanya bisa kembali berlatih sampai keluarganya bangun semua dan bersiap – siap untuk sarapan serta memulai silaturahmi yang singkat saja dibeberapa tempat.

Ibunya Ah Wen segera menyerahkan Cheongsam kepada Ah Wen sendiri untuk dikenakan nanti yang dengan seketika membuat Ah Wen terkaget melihatnya. Yang bahkan lebih bagus dibandingkan tahun lalu. Cheongsam panjang serupa gaun dengan celana panjang didalamnya dari kain brokat berwarna gading keemasan bercorak bunga krisan emas. Bagian yang berkancing dibuat menyerong kesamping serupa desain Qi Pao dan sulaman seekor naga besar berwarna tembaga keemasan tampak menghiasi muka bajunya dengan sangat anggun sebagaimana sulaman tersebut juga disulam oleh ibunya sendiri untuknya. Ia segera mengenakannya dan tampilannya sangat anggun bagaikan seorang bangsawan dijaman dahulu kala sehingga membuat beberapa penari yang kebetulan datang untuk bersilaturahmi beserta anggota keluarga Ah Wen semuanya terpana memandangi Ah Wen yang tersenyum bahagia kepada mereka yang tampak terkaget sekaligus kagum.

Usai sarapan pagi. Ah Wen membantu membenahi barang – barang untuk pementasan nantinya keatas truk pick up yang disediakan untuk keperluan mengangkut barang – barang pementasan. Namun ia dengan segera dihentikan oleh para penari barongsai yang tidak ingin melihatnya menjadi berantakan setelah tampil begitu menawan hari ini sehingga ia akhirnya hanya membantu – bantu diruang tamu menyiapkan sajian kudapan untuk tamu sembari menunggu kedua orang tuanya selesai dan pergi bersilaturahmi bersama – sama kerumah kerabat terdekat dikota Binjai sampai sekitar pukul 2 siang mereka sudah harus kembali karena sekitar pukul 3 nanti pementasannya akan segera dibuka di Vihara Setia Buddha.

Acara silaturahminya terasa biasa – biasa saja dengan Ah Wen yang terus mendapatkan pujian akan busana yang dikenakannya hari ini juga kepada ibunya yang begitu tekun dengan pekerjaan membuatkan baju yang sangat bagus itu untuk Ah Wen. Pukul 2 sudah hampir tiba dan mereka segera pulang kembali kerumah dengan para penari yang semuanya datang dalam jumlah lengkap. Sebuah tambur besar, alat musik, panji – panji sebagai simbol penanda sanggarnya Ah Wen, kepala barongsai yang bejumlah tiga, yaitu berwarna putih dan merah dengan kepala barongsai emas yang dimaksud ayahnya kemarin malam semuanya telah selesai ditata kedalam truk yang satunya sementara yang satunya lagi untuk barang – barang yang tidak muat lagi di truk pertama dan para penari barongsai.

Cuaca hari ini cukup terik dan Ah Wen yang cemas akan para penari yang kepanasan sepanjang perjalanan meminta agar disediakan kain tenda untuk menaungi mereka yang duduk berkumpul dibelakang truk. Ah Wen segera berganti busananya dengan busana penari dalang sebagi persiapannya dan setibanya di Vihara Setia Buddha yang tampak sangat ramai dan dipadati oleh huru hara para pengunjung. Para petugas yang mensponsori pementasan ini segera membukakan jalan untuk kedua truk tersebut masuk sekaligus membantu menurunkan barang – barang dari dalam truk.

Disana Ah Wen dan kelompoknya dibawa kesebuah lokasi dimana sanggar lain yang ikut pementasan ini berkumpul untuk bersiap – siap. Yang sudah ditempati lebih dahulu oleh kedua sanggar yang dimaksud. Kedua sanggar tersebut jelas tampak berbeda satu sama lain. Sanggar pertama ialah sanggar sederhana seperti sanggar Ah Wen yang hanya membawakan tarian naga sementara sanggar kedua ialah sanggar besar yang selain membawakan tarian barongsai juga sekaligus membawakan tarian naga dengan pertunjukan mereka yang senantiasa kolosal dimata para penonton maupun penggemar sanggar tersebut.

Dengan jumlah anggota tetapnya yang kini dikabarkan telah mencapai 30 orang. Sanggar tersebut tentu sudah pernah memenangkan banyak sayembara tingkat Internasional hingga ke Taiwan & Beijing sekalipun. Yang dengan seketika membuat Ah Wen menjadi gugup disaat melihat ada 3 pasang kepala barongsai yang masih sangat baru beserta 3 orang dalangnya yang mereka sertakan dalam pementasan ini, 3 buah tambur besar dengan sekumpulan pemain musiknya yang tidak tanggung – tanggung jumlahnya yang juga dengan seketika membuat gugup sanggar penari naga tersebut yang sama – sama sederhana seperti sanggarnya Ah Wen.

Ah Wen dan sanggarnya yang tampak sangat sederhana itu tidak begitu diterima kehadirannya oleh sanggar yang dianggap paling besar tersebut dan sebaliknya diterima dengan ramah tamah untuk sanggar penari naga yang juga meminta kerja sama dengan sanggarnya Ah Wen. Jelas saja Ah Wen merasa sangat gembira dan kedua sanggar yang sederhana tersebut memanfaatkan waktu yang singkat untuk bekerja sama sebelum pementasan dimulai. Alunan musik tambur yang dipakai untuk mengiringi tarian barongsai terdengar menggema membahana mengguncang seluruh pelataran Vihara oleh sanggar yang kolosal tersebut sebagai pembukanya. Yang dipilih untuk menari dihadapan altar utama Vihara tersebut serta memperoleh inisiasi pemberkatan oleh kepala pendeta Vihara tersebut ternyata sanggarnya Ah Wen dan bersama sepasang barongsai yang berwarna merah dan emas. Mereka mulai menari sebagai wujud penghormatan kepada para dewa yang bersemayam di Vihara tersebut.

Ah Wen sungguh tidak menyangka jika sanggarnya yang terpilih untuk menari didalam Vihara dan alasannya terdengar cukup sederhana saja dari sang kepala pendeta dan para pengurus Vihara yang bersejarah dikota Binjai tersebut, yaitu melihat penampilan Ah Wen maupun sanggarnya sejak awal yang tidak biasanya serta kesahajaan dan kerendahan hati mereka yang pantas untuk dihargai. Walaupun pada akhirnya hal tersebut malah memicu rasa tidak puas dari sanggar yang kolosal itu mengingat usaha mereka untuk menggunakan kepala barongsai yang terbaru dan yang terbaik dalam penampilan mereka dihadapan altar para dewa menjadi sia - sia sehingga semakin terlihat rasa kecewanya disaat Ah Wen kembali berkumpul di lokasi semula. Seluruh anggota sanggar tampak tidak puas dan berusaha untuk menyingkirkan kelompok Ah Wen maupun kelompok tarian naga yang bekerja sama dengan Ah Wen saat pertunjukan nanti dipelataran Vihara dengan cara – cara yang curang.

Pelataran kemudian disiapkan untuk ketiga sanggar yang menampilkan kebolehan mereka hari ini. Dimulai dari yang paling pertama sanggar yang kolosal tersebut dengan ketiga pasang barongsainya bersama 3 orang dalangnya dan berkolaborasi dengan tarian naga yang berkelompok kecil karena hanya dibawakan oleh 8 orang saja. Musik yang mereka tampilkan tentunya agak sedikit dilebih – lebihkan dengan sahutan – sahutan bersemangat berpadu alunan tambur maupun simbal dan gong. Yang jelas penampilan mereka memang selalu spektakuler bagaikan pementasan yang sesungguhnya diatas panggung dan membuat gugup kedua sanggar yang sederhana tersebut untuk tampil. Para penonton yg hadir tampak begitu menggebu – gebu dengan angpao yang mengalir tiada henti kepada para barongsai yang sibuk meraup semua angpao – angpao rejeki tersebut yang banyak sekali jumlahnya.

Berikutnya ialah kolaborasi antara 2 sanggar menjadi satu. Hanya saja untuk tarian naganya menjadi lebih banyak jumlah penarinya karena naganya yang lebih besar dari yang sebelumnya. Ketiga barongsai bersama Ah Wen sendiri yang menjadi dalangnya memulai pertunjukan mereka yang ternyata tidak kalah dengan pementasan yang sebelumnya. Para penonton yang terpukau dengan penampilan Ah Wen sebagai dalang yang tidak biasanya membuat kerumunan menjadi semakin padat dan berdesakan demi melihat lebih dekat.

Kamera milik para penonton tampak berusaha untuk mengabadikan penampilannya yang benar – benar tidak biasa dan tentu saja angpao rejeki mengalir lebih banyak kepada ketiga barongsai yang sederhana itu dibandingkan dengan yang sebelumnya. Peristiwa tersebut semakin membuat kesal seluruh anggota dari sanggar yang kolosal tersebut, ketika mereka semuanya menyadari ada kehadiran pesaing yang tidak mereka senangi sedang menghalangi – halangi tujuan besar mereka sejak awal, yang akan mereka lampiaskan nanti disaat kolaborasi bersama sebagai penutup acara pementasan hari ini.

Masalah mulai bermunculan disaat kolaborasi ketiga sanggar menjadi satu, yaitu ketika ketiga barongsai dari sanggarnya Ah Wen harus bersaing untuk mendapatkan angpao dari para penonton. Ketiga pasang barongsai yang jumlahnya lebih banyak daripada ketiga barongsainya Ah Wen akhirnya melancarkan serangan mereka yang terlihat kentara untuk menjatuhkan semua barongsainya Ah Wen disaat berebutan angpao dari para pengunjung.

Ketiga barongsainya Ah Wen yang sudah terkepung dan tidak berdalih hanya tampak menari – nari ditengah pelataran disaat ada satu saja dari ketiga barongsainya Ah Wen yang maju kehadapan penonton dan ingin mengambil angpao dari para penonton segera diserobot lebih dahulu oleh barongsai lain dari sanggar tersebut yang akhirnya merasa puas disaat serangan mereka berhasil diakukan. Para penonton yang tampak sedikit keheranan menjadi enggan untuk memberikan angpao lagi disaat melihat pementasannya yang mulai berjalan dengan tidak semestinya hingga pementasan selesai dengan sebuah penutupan yang dilakukan oleh sanggar yang kolosal tersebut tanpa mau mengalah sedikitpun.

masalah akhirnya memuncak disaat pemimpin dari sanggar tersebut marah – marah dengan beberapa penari barongsainya Ah Wen yang dituduh merasa tidak puas dan sengaja menjatuhkan kepala barongsai mereka dari atas truk meskipun itu hanya sebuah kejadian yang tidak disengaja karena Ah Wen yang melihatnya sendiri bagaimana jatuhnya beberapa dari semua kepala barongsai mereka yang ditumpuk – tumpuk dengan tidak semestinya didalam sebuah truk yang sempit bersama tambur dan peralatan lainnya ditambah dengan salah satu dari ketiga dalangnya yang merasa tidak puas ketika Ah Wen tanpa sengaja menubruknya hingga jatuh disaat pementasan tadi. Perkelahian hampir saja terjadi begitu saja dari pihak mereka yang tampak cukup agresif hari ini sementara semua penari barongsainya dan Ah wen sendiri harus bersabar demi menjaga suasana sukacita dari hari pertama imlek ini, walaupun Ah Wen sempat beradu mulut dengan pemimpin sanggar tersebut yang keras kepala demi membela anggota penari barongsainya yang tidak bersalah apapun sampai sanggar tarian naga yang tadi bekerja sama dengannya segera melerainya sampai kedua orang tuanya Ah Wen datang dan menyudahi masalahnya.

Setibanya kembali dirumah, para penari mengadukan semuanya kepada ayahnya Ah Wen selaku pemimpin utama sanggar dengan Ah Wen yang menerangkan setiap kejadiannya dengan jelas. Ayahnya hanya terdiam dan dengan sabar mengatakan semuanya kepada mereka sekaligus merasa kagum dengan usaha mereka mengalahkan amarah mereka dihari pertama imlek yang penuh kemenangan ini. Tidak ada kata – kata kecewa dan hanya penjelasan jika sanggar tersebut sejak dahulu memang terkenal keras dan suka bersaing dengan sanggar lainnya, mengingat bagaimana perkembangan mereka yang sudah sangat maju. Para penarinya tadi mungkin sudah terlalu diperdaya oleh uang angpao yang diberikan kepada mereka sehingga mereka bersikap cukup agresif karena mereka menganggap pementasan tadi hanya sebagai ajang untuk bersaing dan menjadi pemenangnya selain tadi karena sanggarnya yang tidak terpilih untuk menari didalam Vihara meskipun mereka sudah mempersiapkan semuanya. Oleh karena itu semua kekesalan tersebut dilimpahkan kepada sanggarnya Ah Wen  yang sejak awal sudah dianggap sebagai halangan yang harus disingkirkan.

Pembicaraan akhirnya disudahi begitu saja setelah para penari diijinkan pulang. Ah Wen yang merasa kelelahan memutuskan untuk tidur sejenak hingga malam tiba. Ah Wen tentu merasa tertekan saat menghadapi masalah tadi siang dan sepanjang waktu istirahatnya, ia mendapat mimpi yang tidak menyenangkan sampai ia dibangunkan ibunya yang telah menyiapkan makan malam. Ia tidak ingin lagi membicarakan masalah tadi siang dan saat itu suasana rumah sungguh sepi tanpa kehadiran para penari yang semuanya sudah pulang kerumah untuk merayakan Imlek masing – masing. Ah Wen mendatangi sanggarnya setelah ia selesai menyembahyangi altar leluhur keluarganya untuk melihat hasil pekerjaan pamannya yang tidak sempat ia perhatikan. Tidak ada jadwal apapun untuk 2 hari kedepan dan selama 2 hari itulah sanggar Ah Wen benar – benar beristirahat dari semua jadwal sampai pada pementasan mereka 2 hari mendatang di Vihara Dewi Kwan Im, sebuah vihara yang sangat dimuliakan oleh Ah Wen sekeluarga sejak dahulu hingga saat ini.

Disaat itu pula, Ah Wen mendengar suara dering lonceng sepeda diluar sanggar dan ternyata salah satu anggota penari barongsainya datang mengunjunginya. Ia bernama Ah Hong dan usianya sebaya dengan Ah Wen sendiri. Ia adalah anggota termuda dari keenam anggota penari lainnya dan Ah Wen menganggapnya sebagai saudaranya sendiri mengingat ia berasal dari keluarga yang tak mampu dan banyak berhutang dengan keluarganya Ah Wen sebelum bergabung bersama. Ah Wen tahu ia pasti sedang merasa bosan dan ingin mengajak Ah Wen berbincang – bincang dengannya.

Ah Wen yang juga ingin menyampaikan sesuatu akhirnya bersama – sama masuk kedalam sanggar yang serba terbuka dikelilingi kepala – kepala barongsai beraneka warna yang semuanya terbungkus plastik dan tersusun rapi sesuai dengan usianya, panji – panji yang ditata disebuah rak kayu, sebuah altar kecil untuk menyemayamkan patung dewa Kwan Kong yang ditandai dengan sebuah lintingan hio lingkar besar berbentuk corong terbalik menggantung didepan altar, sebuah tambur besar dan alat musik lainnya dengan sebuah lemari kaca sederhana untuk menyimpan busana penari barongsai disudut ruangan. Ayahnya Ah Wen keluar untuk melihat siapa yang datang sebelum Ah Hong memberikan salam kepada sang pemilik sanggar yang paling dituakan.

“Apakah kamu masih merasa kesal dengan peristiwa tadi siang?” tanya Ah Hong. “Aku tidak merasa kesal. Untuk apa kamu datang malam ini?” tanya Ah Wen. “Aku hanya merasa bosan dirumah. Mengingat disini lebih menyenangkan, dan aku hanya ingin berbincang – bincang mengenai sanggar tadi siang yang mencari masalah dengan kita,” jawab Ah Hong. Ah Wen hanya mendesah sejenak disaat ia harus kembali mengingat bagaimana memuakkannya wajah dari pemimpin sanggar itu yang beradu mulut dengannya. Ia hanya mengatakan sedikit saja mengenai sanggar tersebut dan karena masih banyak yang ingin mereka bicarakan, Ah Hong sudah memutuskan untuk menginap saja dirumah sekaligus sanggarnya Ah Wen yang dia anggap sebagai tempat yang paling menyenangkan dari semua tempat yang ada. Kedua orang tuanya Ah Wen tidak keberatan sedikitpun, begitupun dengan Ah Wen yang merasa bosan dan kesepian sehingga kedatangan Ah Hong dianggap sebagai hal yang menyenangkan.

Keesokan harinya disaat Ah Wen berjalan – jalan dikota untuk menikmati suasana dihari imlek kedua, ia menemukan sebuah keramaian ditengah – tengah pusat perbelanjaan dikota Binjai yang tampak sangat meriah. Ah Wen mendekati keramaian itu dan ia kembali menemukan para penari barongsai dari sanggar yang berseteru dengan sanggarnya kemarin. Hari ini mereka tampak mempertunjukkan kebolehan mereka yang mengundang decak kagum para penonton. Pertunjukan itu meliputi atraksi lompat tiang yang tampak berbahaya hingga bermacam akrobat yang dianggap masih mustahil untuk dipertunjukkan oleh sanggar yang sederhana semacam sanggarnya Ah Wen atau sanggar lainnya kecuali untuk sanggar mereka yang menurut kabarnya telah berganti nama dari “Istana Singa” menjadi “Jin Shi Zi Wang” yg berarti “raja singa emas”. Ah Wen terkaget saat menyaksikan semua atraksi fantastis mereka yang selama ini hanya bisa ditonton di film layar lebar saja, tidak percaya jika ternyata sanggar itu jauh lebih mengagumkan daripada yang selama ini ia ketahui.

Pertunjukan mereka diakhiri dengan antusias para penonton yang mengebu – gebu dan Ah Wen yang merasa tidak ingin melihat mereka lebih lama lagi akhirnya meninggalkan mereka semuanya sebelum ia pergi ke pasar swalayan untuk berbelanja. Ia kembali berpapasan dengan para penari barongsai yang sedang beristirahat sebelum mereka melewati wawancara nantinya ditempat semula usai mempertunjukkan atraksi mereka didepan penonton. Namun Ah Wen tidak mengatakan apapun atau menanggapi mereka yang hendak mengusik ketenangannya. Ah Wen berusaha mengabaikannya dan melarikan diri dari mereka yang tampak tidak bersahabat dengannya. Ia merasa kesal dengan apa yang telah terjadi tadi dan akhirnya ia pulang kembali kerumah dengan belanjaannya, didalam hatinya, ia masih merasa tidak percaya dengan apa yang ia lihat tadi meskipun semuanya itu nyata dan ia masih berusaha untuk menenangkan pikirannya dari ketegangan hari ini.

Malam harinya Ah Wen yang masih merasa gelisah dalam tidurnya mendapat mimpi yang tidak menyenangkan lagi. Seperti sebuah pertanda, ia melihat kepala barongsai emas milik sanggarnya hancur setelah dilindas sebuah truk container karena terjatuh dari atas truk pick-up ditengah perjalanan menuju ke Vihara Dewi Kwan Im esok harinya, kemudian para anggotanya saling menyalahkan satu sama lain akibat hancurnya kepala barongsai emas hingga pementasannya yang menjadi kacau balau dan mengecewakan para penonton. Ia terbangun dengan ketakutan yang masih menghantui pikirannya ditengah subuh yang sunyi. Setelah itu ia tidak bisa tertidur lagi hingga pagi hari tiba dan ia tampak tidak nyaman sepanjang hari. Ayahnya merasa cemas dan bertanya kepadanya apa yang terjadi meskipun ia tidak ingin menceritakan apa yang menjadi pertanda jelek untuk pementasan esok hari.

Ah Wen yang merasa kebingungan dan cemas akhirnya pergi ke sebuah rumah ibadat agama Buddha bernama Caitya Grha Āryāvalokiteśvara. Sebuah rumah ibadat kecil yang berada cukup jauh dari rumahnya dan merupakan rumah ibadat yang dibangun khusus bagi umat Buddhis Mahayana dan Tantrayana untuk memuja Avalokiteśvara Bodhisattva yang biasanya lebih dikenal dalam versi Tionghoanya sebagai Dewi Kwan Im. Ia berpikir ia akan berdoa saja disana sembari bertanya kepada kepala pandita pemilik rumah ibadat tersebut mengenai pertanda jeleknya. Usai makan siang, dengan sepedanya Ah Wen menempuh perjalanan panjang sampai ia tiba ditempat tersebut yang tampak sangat sejuk. Dibangun didalam kompleks perumahan, halamannya cukup luas dengan taman yang indah dan bangunan utamanya serupa rumah Villa berarsitektur tradisional Bali. Disaat ia memasuki ruang ibadahnya yang sangat bersih sekaligus megah dan indah dengan harum semerbak dupa, ia mendengar kidung lagu mantera Buddhis yang sangat merdu mengalun pelan memenuhi ruang ibadah yang sangat suci suasananya. Ia berdoa dalam hati sembari bersujud tiga kali dihadapan altar tanpa mempersembahkan dupa atau lilin sebagaimana tidak ada persembahan dupa dan lilin seperti vihara lainnya.

Tidak seperti sosok Dewi Kwan Im yang selama ini Ah Wen kenal. Ia memandang serius kepada altar yang tampak sangat megah itu sembari bersujud dan masih merasa asing dengan penggambaran Avalokiteśvara Bodhisattva bertangan seribu lewat patungnya yang berwarna emas berkilau dan bertatahkan permata setinggi 33 inci yang diletakkan ditengah – tengah altar, bersama sejumlah patung Buddha yang beraneka wujud dan aneka macam benda pemujaan yang semuanya terbuat dari logam mulia dan permata berharga.

Jelas semuanya terlihat sangat indah sekaligus asing dan membuatnya bertanya – tanya sampai ia bertemu dengan kepala pandita yang kebetulan berada disana. Ah Wen menjelaskan semuanya kepada pandita itu sebelum akhirnya kepala pandita memintanya untuk tidak perlu khawatir. Ah Wen merasa bingung dengan sikap kepala pandita yang malah menyuruhnya untuk tidak cemas sehingga Ah Wen kembali menegaskan. Kepala pandita akhirnya menjelaskan hal – hal yang bisa menenteramkan hatinya sebelum akhirnya Ah Wen diberikan sebuah benda kecil serupa jimat oleh kepala pandita yang berpesan kepadanya untuk meletakkan jimat itu kedalam kepala barongsai emas yang Ah Wen khawatirkan. Ah Wen berterima kasih sebelum akhirnya ia pulang kembali kerumah dan melakukan apa yang dikatakan oleh kepala pandita kepadanya.

Malamnya ia tidak bermimpi apapun usai melakukan apa yang dikatakan oleh kepala pandita kepadanya. Tidak ada seorangpun yang mengetahuinya dan esok paginya, dengan perasaan yang tidak nyaman, Ah Wen mulai bersiap – siap mengenakan busananya sembari menanti – nanti para penari barongsai yang tampak antusias dengan pementasan nanti siang. Ah Wen berlatih sejenak disanggar bersama para penarinya dan Ah Hong yang merasa penasaran melihat Ah Wen termenung memandang kepala barongsai emas yang sudah dimasukkan kedalam truk pick-up bersama 2 kepala barongsai lainnya mencoba bertanya kepadanya. Namun Ah Wen tidak ingin menceritakannya dan meminta Ah Hong untuk kembali berlatih bersama. Mereka semuanya akan berangkat pada pukul 12 tengah hari nanti dan pukul 2 nanti mereka akan mementaskan pertunjukan mereka di Vihara Dewi Kwan Im.

Ditengah perjalanan, Ah Wen yang masih gelisah tidak pernah berhenti untuk menoleh kebelakang, berjaga – jaga apakah pertanda itu akan menjadi kenyataan atau tidak. Ia berharap jika jimat kemarin memang benar – benar bisa diyakini kebenarannya. Para penari yang semuanya sudah siap tampak antusias dan berbincang – bincang disepanjang perjalanan sampai suatu kejadian yang mengejutkan segera terjadi membuat Ah Wen terkejut setengah mati dan pertanda jeleknya memang benar – benar terjadi. Kepala barongsai yang semula diam tiba – tiba tergelincir dari atas tambur dan seketika kepala barongsai emas itu jatuh menggelinding ditengah jalan. Ah Wen berteriak kepada ayahnya untuk menghentikan mobilnya dan kepala barongsai itu masih menggelinding kesana kemari setelah berkali – kali diserobot oleh lalu lalang kenderaan.

Para penarinya dan Ah Wen segera turun untuk mengejar – ngejar kepala barongsai yang masih menggelinding jauh sampai akhirnya berhenti didepan sebuah truk container bermuatan penuh yang sedang melaju kencang, siap menggilas kepala barongsai emas itu menjadi serpihan. Ah Wen dan para penari yang terlambat menangkap kepala barongsai itu hanya bisa pasrah memandang truk yang sedang melaju kencang itu sampai suatu keajaiban terjadi, meyakinkan Ah Wen jika jimatnya memang benar – benar berkhasiat. Truk itu perlahan – lahan melambat dan segera berhenti tepat didepan kepala barongsai itu tanpa menyentuhnya sedikitpun. Ah Wen menjadi semakin terkejut dengan keajaiban yang terjadi.

Supir truk itu segera turun dan membantu para penari membawa kembali kepala barongsai emas itu ke tempat semula. Meskipun telah diserobot oleh kenderaan, kepala barongsai emas itu tidak rusak atau penyok sedikitpun. Ah Wen tidak ingin menjelaskan apapun akan keajaiban yang baru saja terjadi dan peristiwa yang mengejutkan itu berlalu begitu saja setibanya mereka di Vihara Dewi Kwan Im. Para pengurus vihara beserta para penonton yang antusias menyambut kedatangan mereka dengan sukacita dan Ah Wen yang merasa sangat berterima kasih lebih dahulu masuk kedalam ruang sembahyang untuk memberikan sembah sujudnya kepada Dewi Kwan Im yang telah menolongnya dari bencana hari ini. Para penari merasa kebingungan dengan sikap Ah Wen dan ia tidak menjelaskan apapun tentang apa yang ia lakukan tadi. Ia merahasiakannya begitu saja dari siapapun, begitupun dengan kedua orang tuanya yang kebingungan dengan semua kejadian dihari ini.

Pementasannya berlangsung dengan sangat meriah didalam Vihara dan para penonton yang antusias memberikan banyak angpao rejeki kepada mereka semuanya yang bersudi untuk menari di Vihara yang sederhana ini, ketika sanggar lainnya masih sibuk memikirkan bayarannya. Namun hanya sanggar Ah Wen yang paling rendah hati menerima tawaran mereka yang sederhana itu dan diakhir pementasan yang mengundang decak kagum semua orang, ayahnya maupun Ah Wen menyumbangkan semua bayaran mereka kepada vihara tersebut sebagai tanda terima kasih dari Ah Wen yang berhutang budi kepada Dewi Kwan Im dan Avalokiteśvara Bodhisattva yang telah membantunya dan sanggarnya untuk bisa menari di Vihara hari ini setelah dibebaskan dari halangan. Ah Wen akhirnya menceritakan semuanya dan kisahnya sempat membuat haru banyak orang yang mendengarnya.

Esok harinya, setelah pementasan di Vihara Dewi Kwan Im yang begitu berkesan kemarin. Pagi hari Ah Wen mengajak kedua orang tuanya untuk mengunjungi rumah ibadat tersebut setelah ia menceritakan semuanya. Kepala pandita yang merasa gembira mendengar ceritanya mempersilakan sanggar barongsai Ah Wen untuk mempertunjukkan tarian mereka 3 hari kemudian di rumah ibadatnya dalam rangka merayakan kedatangan seorang Bhiksu dari Dharamsala, India Utara ke Indonesia. Kepala pandita sangat berterima kasih atas kemurahan hati mereka menawarkan diri untuk menghibur para hadirin dan Bhiksu yang datang jauh – jauh dari India. Kepala pandita menolak jimat yang dikembalikan Ah Wen kepadanya dan memintanya untuk tetap menyimpannya sebagai cinderamata.

Sekembalinya dari rumah ibadat, tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain berekreasi dan beristirahat. Ah Hong berniat mengajak Ah Wen hari ini untuk bertamasya ke pantai. Namun karena tidak ada transportasi kesana, akhirnya mereka berdua hanya berjalan – jalan di kota Medan dengan transportasi angkutan kota dan mengunjungi sebuah pusat berbelanjaan yang paling besar dikota Medan. Usai itu mereka kembali mengunjungi Lapangan Merdeka untuk menyaksikan kemeriahan dari pesta Imlek yang diselenggarakan disana. Para pengunjung yang membludak sempat membuat mereka berdua merasa tidak nyaman. Tetapi karena ada atraksi barongsai yang ikut dipertunjukkan disana, mereka memutuskan untuk melihat atraksi tersebut yang dikabarkan sangat luar biasa.

Ah Wen kembali terkaget ketika ia melihat lagi – lagi sanggar raja singa emas mempertontonkan kebolehannya dikota Medan. Tentu jauh lebih gegap gempita dan meriah dari yang selama ini mereka pertunjukkan dikota asalnya. Atraksi yang lebih menantang dipertontonkan kepada para penonton dan lebih banyak akrobat yang mereka tampilkan hari ini. Yang jelas membuat mereka semakin angkuh dan yang terbaik, ketika Ah Wen hanya bisa melihat kemegahan mereka dengan rasa tidak percaya. Namun semua itu ialah kenyataan dan Ah Wen harus mempercayainya. Ah Hong tidak mengatakan apapun dan hanya menyaksikan pertunjukan mereka yang gegap gempita diiringi sorakan bersemangat para penonton, Sang pembawa acara dengan bersemangat terus menerus menyemangati mereka yang saat itu sedang melakukan atraksi lompat tiang dengan sebuah menggunakan kepala barongsai emas yang membuat Ah Wen terkaget saat melihatnya.

Berbeda dengan kepunyaan sanggarnya Ah Wen. Kepala barongsai emas milik mereka ialah duplikat dari kepala barongsai emas milik suatu sanggar yang legendaris dikota Jakarta dan Ah Wen hanya pernah mendengarnya dari cerita – cerita. Namun belum pernah melihatnya, sehingga disaat ia melihat duplikatnya yang sama persis dengan yang aslinya, bentuknya sangat indah dan mengagumkan, dengan segala kemewahan menghiasi kepala barongsai itu. Membuat atraksi mereka menjadi semakin memukau dan mengundang antusias para penonton yang terkagum – kagum melihat penampilan mereka dengan kepala barongsai emas tersebut, diiringi alunan musiknya yang luar biasa. Membuat Ah Wen terkaget dan terpana.

Barongsai emas itu masih mempertunjukkan kebolehannya dihadapan para penonton. Ah Wen masih menonton pertunjukan mereka yang spektakuler itu, mencoba mempelajari sedikit keahlian mereka sampai pertunjukan mereka selesai dan diganti dengan hadirnya seorang penyanyi. Para penonton masih merasa kurang puas, meskipun pementasannya sudah berakhir. Ah Wen akhirnya meninggalkan tempat tersebut bersama Ah Hong ketika mereka menyadari malam semakin larut dan mereka harus pulang kerumah. Para penari barongsai itu juga sedang berkemas dan siap meninggalkan lokasi pesta, sebelum sesuatu yang tidak bisa dipercayai terjadi dihadapan Ah Wen dan sahabatnya. Para penonton yang semakin membludak datang silih berganti memadati lokasi pesta, disaat Ah Wen & sahabatnya sedang berjalan keluar menembus keramaian sampai didepan pintu gerbang, menanti angkutan kota yang akan membawa mereka pulang kembali kerumah.

Truk pick-up yang mengangkut semua barang – barang pementasan dan kepala barongsai milik mereka akhirnya pergi meninggalkan lokasi pesta, setelah semuanya selesai dibereskan, Ah Wen melihat sendiri sebagaimana sanggar tersebut berkembang sampai sebegitu majunya. Dengan 3 buah truk pick-up bermerek Ford yang masih tampak baru dan bagus, mereka mengangkut semua peralatan pementasan mereka dengan penuh kebanggaan dan kepuasan, ketika sampai hari ini Ah Wen harus menyadari jika sanggarnya hanya memiliki sebuah truk rombengan dan usang milik ayahnya, untuk mengangkut semua peralatan pementasan mereka. Namun ia tidak pernah menaruh rasa cemburu melihat kesuksesan sanggar itu yang sampai saat ini masih tidak menyadari kesalahan mereka terhadap Ah Wen, sampai sebuah peristiwa yang mengejutkan terjadi dihadapan Ah Wen sendiri.

Kebiasaan buruk mereka yang sering menumpuk – numpuk kepala barongsai didalam bak truk mereka yang sempit itu akhirnya membawa petaka ditengah jalan. Kepala barongsai emas yang diletakkan dipuncak tumpukan kepala barongsai lainnya tanpa disadari tergelincir begitu saja ditengah jalan saat tidak ada satupun anggota penari yang menyadarinya. Tersandung – sandung ditengah jalan, hingga Ah Wen yang melihatnya dengan tidak percaya terlompat kaget disaat sebuah suara derakan keras telah meremukkan kepala barongsai emas yang indah itu menjadi segunduk rombengan yang tak berbentuk setelah sebuah truk container bermuatan penuh melindas kepala barongsai itu tanpa ampun.

Mereka baru menghentikan mobil truk mereka setelah menyadari apa yang telah terjadi dibelakang mereka. Kerumunan orang – orang memadati kepala barongsai yang hancur itu dan beberapa mendesah kaget seolah – olah tidak percaya.

Pemimpin sanggar itu membuka kerumunan dan ia hampir terjatuh pingsan disaat ia melihat kepala barongsai yang sudah tidak berbentuk itu, terbaring ditengah jalan. Para anggotanya mulai menyalahkan satu sama lain, sebelum perkelahian kecil terjadi antara beberapa anggota yang agresif dan tidak menerima apa yang telah terjadi. Ah Hong yang merasa ini bukan saat yang tepat untuk menonton kejadian semacam itu, akhirnya segera membawa pergi Ah Wen sahabatnya kedalam angkutan kota yang berhenti untuk mereka berdua. Didalam angkutan kota, mereka berdua masih tidak bisa mempercayai apa yang baru saja mereka lihat. Para penumpang mulai turun satu persatu meninggalkan mereka berdua didalam angkutan kota yang kini sedang menuju ke kota Binjai, ditengah malam yang semakin larut.

Sepanjang malam, Ah Wen tidak tidur memikirkan kejadian tadi. Sesekali ia merasa bersyukur kepada Dewi Kwan Im. Ketika musibah yang menakutkan ini gagal menimpa sanggarnya. Ia tidak menceritakannya kepada siapapun keesokan harinya. Sampai kabar itu mulai tersiar, bagaikan angin yang bertiup dari satu sanggar ke sanggar lainnya. Para anggotanya yang kebetulan datang untuk latihan di sanggar merasa terkejut disaat mereka ikut mendengar perbincangan ayahnya Ah Wen dengan pemimpin sanggar tarian naga yang pernah berkolaborasi dengan sanggar mereka di Vihara Setia Buddha pada hari pertama Imlek. Ah Wen yang tiba – tiba keluar dari dalam sanggar, segera mengejutkan mereka semuanya yang sedang mengerumuni teras rumah sembari menguping pembicaraan diruang tamu. Namun Ah Wen yang sudah memahaminya akhirnya menjelaskan kejadiannya secara nyata ketika Ah Hong memintanya untuk menceritakannya kepada para penari yang merasa penasaran dengan nasib malang yang menimpa sanggar raja singa emas itu.

Ah Wen menjelaskan hikmah dibalik kisah itu dan mengatakan alasan mengapa mereka perlu mempertunjukkan tarian mereka di rumah ibadat yang pernah dikunjunginya, sebelum ia mendapatkan sebuah jimat yang menangkal musibah serupa menimpa sanggarnya. Para penari yang sudah memahaminya akhirnya kembali latihan dengan Ah Wen yang kembali bersemangat, mencoba mengajari mereka teknik baru dari hasil telaahnya terhadap pementasan sanggar raja singa emas kemarin dikota Medan. Tidak ada komentar apapun sampai akhirnya ayahnya Ah Wen keluar untuk melihat para penari yang hari ini tampak begitu bersemangat dibandingkan hari sebelumnya, begitupun Ah Wen yang tidak berbeda jauh dari para penari. Ia dengan bersemangat menjelaskan & membantu para penari melakukan apa yang hendak ia ajarkan kepada mereka dengan sabar. Senyuman ayahnya Ah Wen tampak menyiratkan kepuasan hati melihat kesuksesannya mengelola sanggarnya, sembari berdoa didalam hatinya untuk pementasan berikutnya.

Tidak ada yang mengetahui kelanjutan dari kisah tragis sanggar raja singa emas lagi. Semuanya berlalu begitu saja, dan hari ini adalah hari istimewa bagi sanggar Ah Wen. hari dimana mereka akan menari di rumah ibadah yang dimaksud, sekaligus menyambut kedatangan Bhiksu dari India tersebut. Semua peralatan telah dimuat didalam truk dan yang terakhir ialah kepala barongsai emasnya. Ah Wen yang hari ini telah mempersiapkan dirinya dengan sebaik mungkin, memulai pementasan hari ini dengan bersembahyang bersama – sama dihadapan altar leluhur dan dewa pelindung sanggarnya Ah Wen. Hari yang cerah mengawali perjalanan mereka ke tempat suci tersebut. Berharap jika tarian barongsai bisa diterima oleh umat Buddhis dari rumah ibadat tersebut.

Suasana yang cukup ramai memadati rumah ibadat yang kecil itu. rangkaian bebungaan segar menghiasi teras rumah ibadat, dengan dekorasi bebungaan yang lebih banyak lagi menghiasi altar dalam ruang ibadahnya. semua pengurus rumah ibadat, kepala pandita dan umat dari rumah ibadat itu menyambut dengan sukacita kedatangan mereka, diikuti seorang Bhiksu yang merasa sangat terkejut sekaligus gembira dengan kehadiran mereka. Tidak ada aturan apapun. Mereka mementaskannya dihadapan altar diikuti dengan inisiasi kepala pandita dan Bhiksu yang mengalungkan sehelai kain selendang putih ke tanduk kepala barongsai emas sebagai tanda terima kasih dan pemberkatan darinya.

Angpao masih tetap diberikan oleh para umat, pengurus dan kepala pandita. Pementasan mereka hari ini tentunya telah sangat menghibur semuanya yang hadir dan khususnya kepada sang Bhiksu yang sangat berterima kasih atas kejutan sanggarnya Ah Wen kepadanya, Beliau tentunya tidak pernah melihat tarian barongsai sebelumnya selama hidupnya dan mengaku sangat terhibur dengan tarian itu. Sanggarnya Ah Wen diberikan kesempatan untuk ikut mendengar ceramah sekaligus menerima pemberkahan dari sang Bhiksu. Meskipun tanpa honor atau bayaran. Ah Wen merasa sangat bahagia ketika ia bisa melakukan sesuatu yang mulia kepada sanggarnya yang sederhana dengan keikhlasan.

Hari Imlek akhirnya berakhir begitu saja usai pementasan dirumah ibadat tersebut. Ah Wen kembali meneruskan pekerjaannya membuat barang – barang kerajinan tangan, kue - kue dan makanan ringan untuk dijual ditoko kelontong ayahnya, sekaligus menjaga toko itu disaat ayahnya sedang tidak ada disana. Sementara itu para penari kembali melanjutkan pekerjaan mereka masing – masing. Kadangkala jika ada waktu senggang, mereka akan berkumpul disanggar untuk latihan sembari berbicara bersama – sama. Tidak ada yang ingin mengungkit kembali soal kejadian yang menimpa sanggar raja singa emas lagi sampai pada suatu hari sebelum menjelang Cap Go Meh, sebuah hal yang sulit dipercayai terjadi begitu saja.

Ah Wen saat itu masih berada ditoko kelontong ayahnya. Hari sudah beranjak sore dan Ah Wen akan menutup toko segera sebelum pulang kembali kerumah. Tiba – tiba seseorang yang sangat Ah Wen kenali, datang menemuinya yang sedang menghitung uang didalam laci untuk dibawa pulang. Seseorang itu tidak lain adalah pemimpin kedua dari sanggar raja singa emas, dan maksud kedatangannya sempat membuat Ah Wen terkaget. Sembari membawa sekeranjang jeruk untuk Ah Wen, orang itu menceritakan semuanya dan meminta maaf kepadanya dan sanggarnya yang pernah mereka perlakukan dengan semena – mena saat pementasan. Ah Wen yang memahaminya hanya menerima pemberian itu dan memaafkan mereka semua tanpa mengatakan apapun. Orang itu berlalu dari depan toko dan segera masuk kedalam mobil truk yang pernah ia lihat di Medan untuk mengangkut barang pementasan.

Ah Wen menceritakan semuanya disaat ayahnya melihat sekeranjang jeruk itu. Ayahnya juga merasa tidak keberatan dan menerima saja pemberian. Sesekali muncul perasaan iba. Namun semuanya sudah terjadi, dan tampaknya sanggar raja singa emas memang tidak pernah mempermasalahkannya. Bagi mereka. Hancurnya sebuah kepala barongsai tentu tidak sebegitu menggemparkan dibandingkan tidak mendapatkan honor sepeserpun untuk setiap penampilan fantastis mereka. Itulah yang berhasil Ah Wen pahami melihat kesuksesan mereka yang diatas sanggar lainnya. Ia berharap sanggarnya tidak perlu belajar untuk menjadi seperti mereka yang haus akan uang, ketenaran, dan kerelaan melakukan apa saja demi mengejar sebuah nama.

Hari Cap Go Meh akhirnya tiba juga. Sanggar Ah Wen tidak mementaskan apapun dan rencananya, mereka semua akan mengunjungi pesta Cap Go Meh di kota Medan yang diselenggarakan mulai dari pukul 10 pagi hingga pukul 10 malam. Pesta yang megah itu bukan hanya melibatkan penari barongsai dan tarian naga. Adapula pawai unik yang menampilkan para pemain sendratari tradisional Teochew dengan kostum tokoh pewayangan khas budaya Tionghoa yang indah menawan. Ah wen memfoto pawai itu dan semuanya yang ia anggap menawan didalam pesta Cap Go Meh tahun ini dikota Medan. Mereka semuanya menikmati acara yang disajikan dalam pesta itu dan melewati semua acara hingga selesai.

Puncak acara telah tiba dan setelah penutupannya yang terkesan megah, semua penonton mulai beranjak pulang kerumah. Tetapi tidak untuk seseorang yang datang terlambat dalam menyaksikan acara yang telah usai ini. Orang itu datang jauh – jauh dengan berjalan kaki dan sendirian. Harapannya untuk ikut memeriahkan pesta itu sangat besar. Namun yang ia dapatkan tidak satupun dari harapannya. Ah Wen merasa iba dan ia ingin menghampiri orang itu. Tapi ia tidak mengenal orang itu dan akhirnya Ah wen hanya bisa melihat orang itu beranjak pergi dengan langkahnya yang penuh kekecewaan. Seketika Ah Wen merasa tersentuh dengan nasib orang itu dan ia bisa membayangkan siapadan bagaimana orang itu sebenarnya. Baik diluar maupun didalam rumah. Didalam pikirannya, ia masih membayangkan kekecewaan orang itu pada pesta yang meriah ini, yang tidak dipersembahkan untuk dirinya.

Malam Cap Go Meh sudah berlalu. Maka dengan begitu berakhirlah semua kebahagiaan hari Imlek tahun ini. Tetapi tidak untuk Ah Wen dan sanggarnya yang selalu memberikannya energi untuk menghadapi kerasnya hidup. Ditambah sekarang dengan keinginan Ah Wen untuk mewujudkan semua impiannya. Rasanya Ah Wen hanya bisa selalu membayangkannya dalam remang – remang khayalannya yang sepintas begitu rumit dan beraneka bentuk. Berharap suatu hari keremangan itu bisa menghilang dan diganti dengan terang yang memperlihatkan semua impian telah menjadi kenyataan.

Yang sekarang Ah Wen pikirkan ialah seseorang itu. Kemanakah ia akan pergi dan dimana ia berada setelah pulang kembali kerumah. Ia tidak dapat mengetahuinya sedikitpun. Semuanya telah berlalu dan selesailah kisah ini yang masih menyimpan satu bagian yang tidak dapat diungkapkan lebih jauh lagi. Yaitu bagian kisah dari seseorang yang terlambat itu di penghujung pesta Cap Go Meh yang pulang dengan kekecewaan dan penyesalan.

ARTIKEL YANG BERKAITAN

Mari kita dukung kiriman artikel-artikel dari teman-teman Tionghoa, dengan cara klik "SUKA" dan teruskan artikel kesukaan Anda ke dalam facebook, twitter & googleplus Anda.

TERBARU HARI INI

ARTIKEL: INTERNASIONAL

ARTIKEL: BUDAYA

ARTIKEL: KEHIDUPAN

ARTIKEL: KESEHATAN

ARTIKEL: IPTEK

ARTIKEL: BERITA