Dalam buku Wisdom, ia menceritakan bagaimana dulu ayahnya melarang dirinya bermain musik karena sebagai seniman hidupnya pasti tak bakal terjamin. Maklum mereka keluarga miskin. Itulah sebabnya sang ayah menginginkannya menjadi pengusaha agar bisa kaya. Beruntung sang ibu membela. "Bocah ini adalah hadiah Tuhan, dan tugas kita sebagai orangtua menuruti keinginannya." Di tengah keterbatasan hidupnya, sang ibu membanting tulang demi mewujudkan cita-cita sang anak. Beruntung aku juga memiliki ibu seperti itu. Bagiku ia lentera hidupku, benteng gading, pohon sukacitaku, dan bejana yang patut dihormati.
Pagi ini saat berangkat ke kantor aku mampir ke sebuah floris, memesan buket bunga untuk dikirim ke Yogya sebagai ucapan ultah Ibu. Di trotoar depan toko bunga itu pandanganku terantuk pada seorang gadis cilik yang sedang terisak menangis. Kutanya mengapa, ia menjawab lirih, "Saya ingin membeli seikat bunga mawar merah untuk Mama. Tapi uang saya tidak cukup."
"Oh begitu. Baik, mari masuk akan kubelikan bunga yang kau inginkan," jawabku sambil menggandengnya masuk toko.
Setelah membelikan gadis itu seikat mawar merah, aku memesan bunga dna memberikan alamat rumah ibuku. Merasa iba, kutawarkan pada gadis cilik ini untuk mengantarnya pulang. "Baik Pak. Terima kasih mau mengantarkan saya." Di luar dugaan, ia menunjukkan jalan menuju ke sebuah pemakaman. Sesampainya di sana ia meletakkan bunganya di atas gundukan tanah merah yang masih baru.
Melihat pemandangan ini hatiku terharu sekaligus juga teriris. Di punggung gadis cilik yang sedang bersimpuh di depan pusara itu tampak sekelebat bayangan renta wajah ibuku, sendirian nun jauh di rumah sana. Selepas mengantarkan gadis tersebut, aku bergegas kembali ke toko bunga. Tanpa pikir panjang kubatalkan kiriman bunga. Sebagai gantinya kubeli sebuah buket bunga yang paling bagus. Sambil menelepon kantor minta cuti sehari, lantas tancap gas menuju bandara. Akan kuantar sendiri bunga untuk Ibu. [Meilinda Chen / Jakarta / Tionghoanews]