Akung memendam kekecewaan yang mendalam. Setelah jam 12 malam anggota keluarganya satu per satu mengucapkan selamat imlek padanya, ia membagi-bagikan angpao, namun bayangan Lukman tetap tak kelihatan. Wajah Akung tampak begitu kelam, entah karena menahan emosi, atau karena kenangan pahit di masa lalu.
………
Larung itik sudah menjadi acara tetap bagi Yogi dan Imei. Itik-itik itu dilarungkan di danau dan mereka kembali sendiri ke kolam. Banyak itik berwarna putih, tapi hanya sepasang yang paling bersih. Yogi membuatkan kandang khusus buat pasangan itik itu. Setiap kali melihat bulu itik itu kotor, ia mencucinya dengan sabun dan mengeringkan dengan kain bersih. Yogi memperlakukan kedua itik itu bagai belahan jiwanya.
Sore itu kembali Imei mencuri waktu potong kangkungnya untuk berduaan dengan Yogi. Mereka menatap sepasang itik putih di kolam yang sedang berkejaran. Suasana kolam yang romantis membuat mereka lupa waktu. Menjelang magrib Akung pulang dari penggilingan dan memergoki mereka.
"Apa yang kalian perbuat di sini, heh !" bentak Akung. Wajah Imei pucat-pasi ketika tatapannya beradu dengan bola mata Papanya yang melotot lebar bagai ingin meloncat keluar dari pelupuknya.
"Keparat ! Sudah dilarang berkali-kali, masih juga berani, heh !" maki Akung keras.
"Aku yang mengajak Imei, Paman. Jangan menghukum Imei!" Yogi maju menghadang di depan Imei seakan-akan ingin melindungi kekasihnya.
"Apa hakmu mengatur aku !" bentak Akung. Seketika Yogi terdiam. " Pulang !" telunjuk Akung terarah pada anaknya. Dengan lutut gemetar Imei ikut Akung pulang. Yogi tak bisa berbuat apa-apa selain menatap dengan perasaan terpana. Ia memukul-mukul kepalanya dengan kesal karena tahu Imei bakal mendapat sabetan lagi.
Sesampainya di rumah, Imei langsung jatuh berlutut di depan meja sembahyang. Akung mengambil penggaris dan berjalan mondar-mandir di hadapan anaknya. Imei pasrah dan bersiap menerima pukulan. Tangannya kini sudah agak kebal terhadap sabetan. Terkadang pukulan Akung hanya membuatnya agak bengkak, tidak melepuh lagi.
"Tidak, ini terlalu enak bagimu! " Akung ngomong sendirian. Ia meletakkan penggaris dan berjalan ke mesin jahit. Tangannya menyambar gunting. Wajah Imei langsung memucat. Ketika Akung berjalan ke arahnya, wajah Akung terlihat bagaikan Malaikat Akherat.
"Jangan, Pa! Tolong jangan ! Ampun, Pa!!!! Ampun !!!!" jerit Imei memohon-mohon sambil beringsut menjauh. Kalau Papanya memegang gunting, tujuannya hanya satu: rambutnya!
"Kamu ingin diam menerima hukuman atau kubunuh anak Sobirin itu !" Akung membentak keras. Seketika Imei tak berdaya. Ia tak punya pilihan selain menangis di dalam hati. Sekilas ia teringat pesan Lukman sebelum pergi, melawanlah, jangan diam saja ! Tapi Imei tak berani melawan. Sejak kecil ia diajari patuh terhadap orang tuanya, sudah 18 tahun ia pasrah, tak mungkin keberaniannya muncul secara tiba-tiba. Akung meraih sebuah kursi dan duduk di depan anaknya. Rambut Imei di jambak dengan keras. Akung menjepit kepala anaknya dengan paha sehingga Imei tak bisa berkutik. Imei merasa kepalanya bagai terjepit pintu. Hentakan gunting mulai mencabik-cabik mahkota kecantikannya. Air matanya meleleh melihat gumpal demi gumpal rambutnya terserak di atas lantai. Sakitnya tak sesakit terkena sabetan, tapi pedihnya terasa hingga ke ulu hati, menyentak hingga ke kalbu yang paling dalam. Imei tersedu-sedan. Dalam pikirannya hanya muncul satu kata: gundul ! Besok seluruh warga Kertosari akan melihat kepalanya yang gundul! Besok seluruh warga Kertosari akan menertawakannya plontos. Tega sekali Akung mengambil mahkota kecantikannya.
Lan Nio menyaksikan adegan itu dengan hati yang pilu dan tangisan yang cuma bisa dikeluarkan di dalam hati. Kalau ia membela, kegilaan suaminya akan semakin menjadi-jadi. Ia memuntir-muntir kain lap sebagai gambaran suasana hatinya.
Setengah jam kemudian Akung melepaskan jepitan. Imei segera berlari ke cermin. Dilihatnya kepalanya masih berambut, tapi cepak mirip anak lelaki. Imei kembali menangis tersedu-sedu.
"Hahaha… Mulai sekarang aku punya anak lelaki lagi! Mulai sekarang Ikling yang memotong kangkung. Dan mulai sekarang, sepulangnya dari sekolah, kamu harus membantuku di penggilingan! Kalau Lukman tak pulang selamanya, mulai sekarang kamu harus bersikap seperti laki-laki !" Tawa Akung terdengar bagaikan orang gila. Semua bergidik mendengarnya. Akung mengembalikan gunting ke tempat semula, kemudian berjalan keluar. Malam itu Akung tak kembali untuk makan malam. Tengah malam bunyi botol pecah kembali bergema.
Setelah Akung keluar, Imei berlari menubruk Lan Nio dan menangis sejadi-jadinya. Lan Nio cuma bisa mengelus sisa-sisa rambut anaknya dengan hati yang sama pilunya. Kenapa semua ini harus terjadi ?
Imei mengumpulkan rambutnya yang berserakan di lantai. Semalaman Ia menangisi rambutnya. Dari kecil ia menyukai rambut panjang dan jarang memotongnya. Kini mahkota kecantikannya hilang. Kini ia mirip itik jelek tak berbulu.
Paginya ia bersiap berangkat ke sekolah. Sekolahnya hanya tinggal 3 bulan. Tamat SMA tak mungkin melanjutkan lagi. Lukman saja tak diijinkan melanjutkan, apalagi dirinya yang perempuan. Lan Nio mengambil gunting dan merapikan bekas potongan rambut anaknya yang tidak rapi. Imei kini benar-benar mirip anak lelaki.
"Aku sekarang mirip laki-laki, ya, Ma ?" tanya Imei ketika mematut-matut dirinya di cermin. Wajahnya sendu dengan kelopak mata membengkak besar.
"Itu tak mengurangi kecantikanmu, anakku…" hibur Lan nio.
"Papa menghendaki aku menjadi anak laki-laki, aku harus patuh. Mulai sekarang aku akan bersikap seperti anak laki-laki." ucap Imei tak berdaya.
"Tak semua omongan Papamu harus kamu patuhi, anakku. Kamu tetap anak perempuan. Dalam banyak hal kamu tak mungkin seperti anak laki-laki. Papamu gila, lebih gila dari Amung !"
"Omongan Papa merupakan kekuasan tertinggi di rumah, Mama. Papa telah membesarkanku dengan bersusah payah. Aku harus patuh. Aku harus menurut…" guman Imei bagai orang tak bermaya. Lan Nio memeluk anaknya. Hujan tangisan pun turun dengan derasnya.
Pagi itu Imei tak bertemu Yogi di jalanan. Rumah Yogi terkunci rapat. Menjelang tiba di pertigaan barulah ia melihat Yogi yang sedang jongkok di pinggir sawah. Begitu melihat rambut Imei, Yogi langsung tahu apa yang terjadi. Ia menyongsong ke arah Imei dan menatapnya dengan tatapan kelu. Ia memegang rambut Imei dengan tangan gemetar dan hati teriris-iris.
"Aku hanya membawa kepedihan dalam hidupmu, Mei… Kasihan kamu seorang diri menanggung akibat dari perbuatan kita. " ucap Yogi menyesali.
"Tak apa-apa, Yo. Rambutku masih bisa tumbuh lagi. Asal bukan cinta kita yang dipotong Papa…" Kata Imei berusaha tegar.
"Papamu tak bisa memotong cinta kita, takkan bisa !" ucap Yogi keras.
"Kamu harus hati-hati, Yo, aku takut ia menyuruh orang memotong lehermu," kata Imei kuatir, ia teringat ancaman Papanya semalam.
"Kalau leherku dipotong, tidak apa-apa, Mei. Yang penting cintaku tak ikut terpotong. Cintaku hanya akan terpotong jika Imei mengatakan tidak mencintaiku lagi."
Imei merasa hatinya sangat sejuk, sesejuk embun pagi, sesejuk angin yang bertiup semilir di kepalanya yang kini berambut tipis.
"Cinta Imei hanya untuk Yogi, selamanya untuk Yogi…" ucap Imei lirih. Yogi tahu ia tak harus mengatakan apa-apa. Tatapan Imei mengartikan segalanya.
Mula-mula Imei takut menjadi bahan ledekan teman sekolahnya. Tapi, ketika teman-temannya melihat wajah Imei yang memelas, matanya yang bengkak, dan mengetahui penyebabnya, tak ada yang meledeknya. Semuanya ikut bersimpati terhadap kisah kasih pasangan ini.
Pulang sekolah Imei langsung menuju penggilingan. Akung menyuruhnya makan. Setelah itu Imei diajari pembukuan penggilingan. Sore-sore Akung mengawal anaknya pulang sampai ke rumah. Kini kebebasan Imei benar-benar terbabat habis. Hari-hari monoton berjalan sama setiap harinya.
Sejak itu acara larung itik berakhir. Sehari-hari Imei hanya bisa menatap sepasang itik putih berenang di kolam dari kejauhan. Setelah tamat SMA pertemuannya dengan Yogi semakin sulit. Tahun itu merupakan tahun tersulit dalam kehidupannya.
………
Sebulan dua kali Imei bersembahyang ke kelenteng, (tgl 1 & tgl 15 penanggalan lunar). Kadang-kadang ia bertemu Sun Ni. Suatu hari mereka terserempak secara tak sengaja. Imei tak berusaha menghindar. Sun Ni kelihatan gelisah, tangannya sibuk meremas kancing bajunya.
"Ada kabar tentang… Liok Man ?" tanya Sun Ni setelah keduanya berdiri berhadapan agak lama. Imei tak ingin menyakiti hati Sun Ni. Ia hanya menggeleng.
"Kamu orang yang paling dekat dengan Abang Liok, apa yang dikatakannya tentang… saya ?" tanya Sun Ni.
"Apakah itu penting ?" Imei balik bertanya.
"Penting, sangat penting." Sun Ni menundukkan kepala. Ini mungkin ajaran Ong Sui. Tapi mungkin juga karena Sun Ni sangat mencintai Lukman. Imei tetap menegakkan kepala. Ia diajari Papanya tetap menegakkan kepala jika berhadapan dengan orang setaraf atau rekan bisnis. Ini sangat berbeda dengan kebanyakan anak gadis yang diajarkan tunduk atau bersikap malu-malu jika berhadapan dengan orang lain. [Deri Chua / Jakarta / Tionghoanews]
Sambungan: 1A/1B, 2A/2B, 3A/3B, 4A/4B, 5A/5B, 6A/6B, 7A/7B, 8A/8B, 9A/9B, 10A/10B, 11A/11B, 12A/12B, 13A/13B, 14A/14B, 15A/15B