Perkenalanku dengan Fanny berawal saat aku masih kuliah di sebuah perguruan tinggi di Jakarta, saat itu Fanny bekerja di bagian tata usaha di kampus itu, sehingga kami jadi seringkali bertemu. Di mataku, Fanny adalah sosok perempuan yang keibuan, ramah dan memiliki jiwa sosial yang sangat tinggi.
Hal itu bisa dilihat dalam kehidupan sehari-harinya, Fanny seringkali perduli dengan mahasiswa yang memiliki kesulitan. Dibalik semua kebaikannya, ia memilki sifat ambisius dalam segala hal. Namun semua itu tak menghalangiku untuk meneruskan hubungan kami yang semakin akrab itu ke arah yang lebih serius. dan akhirnya kami sepakat untuk menuju gerbang rumah tangga.
Awal perjalanan rumah tangga kami memang berjalan dengan sangat indah, sebagian besar persoalan bisa kami lalui dengan baik dan lancar, semuanya kami hadapi dengan perasaan suka cita. Walaupun demikian ada 'riak-riak kecil' yang selalu mengganggu kami dalam mengarungi bahtera rumah tangga dan menurutku hal itu menjadi sesuatu yang wajar dalam kehidupan berumah tangga.
Persoalan-persoalan besar mulai muncul saat pernikahan kami memasuki tahun kedua. Apalagi ketika ia mulai mangandung anak pertama kami. Karena merasa kasihan aku memutuskan untuk melarangnya bekerja. Tapi larangan tersebut ia abaikan. Fanny berpendapat, aku tak akan sanggup mencukupi kebutuhan rumah tangga, "Memangnya gaji kamu cukup untuk biaya kehidupan kita berdua?" tanyanya saat itu.
Saat itu aku memang cukup tersinggung dengan kata-katanya tersebut, tapi aku berupaya bersabar dan memberinya kesempatan untuk tetap bekerja sampai usia kandungannya berjalan tujuh bulan. Sejak perselisihan itu, perilaku Fanny mulai berubah, ia sepertinya berusaha untuk lebih dominan dalam mengatur segala hal, rasa hormat terhadapku sedikit-demi sedikit mulai memudar. Ia selalu mengungkit apa saja yang menjadi kesalahanku dan selalu merasa kurang dengan apa yang telah aku berikan.
Puncak perselisihan mulai terjadi ketika ia telah melahirkan, dan aku melarangnya untuk kembali bekerja. "Ngga masalah ko, yang penting kamu harus bisa mencukupi semua kebutuhan kita, kalau ternyata koko tidak sanggup memenuhi permintaanku, aku akan kembali bekerja," katanya dengan sikap yang menantang.
Sebenarnya apa yang menjadi keinginannya bisa aku kabulkan semuanya, namun karena sifatnya yang ambisius, ia sepertinya tak bisa lagi melihat kenyataan dan selalu merasa kekurangan, sehingga ketika usia anak kami baru empat bulan ia memutuskan untuk kembali bekerja dan menyerahkan perawatan bayi kami kepada baby sister. Namun justru setelah ia kembali bekerja keadaan jadi bertambah runyam.
Fanny jadi tak fokus dalam memperhatikan perkembangan anaknya, berangkat pagi hari dan pulang larut malam menyebabkan ia tak sempat untuk memberikan kasih sayangya, apa lagi memberi anaknya ASI. Aku mencoba memberinya pengertian, tapi ia malah menyalahkan aku dengan apa yang terjadi saat itu. "Koko, kalau saja dulu ko ngga pernah ngelarang aku bekerja, mungkin ngga bakalan seperti ini situasinya," ucapnya berang.
Dan itulah pertengkaran sekaligus pertemuan terakhirku dengan Fanny, karena esoknya ia tak pernah muncul lagi di rumah hingga saat ini. Aku sudah mencoba menanyakan keberadaan istriku kepada orang tuanya, namun justru orang tuanya malah menyalahkan dan meminta pertanggungjawabanku atas menghilangnya Fanny. Aku memang tak bisa menyalahkan Fanny, jika ia begitu berang kepadaku, tetapi aku menyesalkan sikapnya yang tak perduli dengan darah dagingnya sendiri.
Terkadang hatiku merasa sangat teriris saat anakku menanyakan mamanya. Aku memang berusaha untuk menutupi semuanya. Namun hal itu tak selamanya bisa aku pertahankan, karena anakku semakin lama semakin dewasa. Hampir selama delapan tahun itu anakku tak pernah bertemu ibunya sampai akhirnya ia meninggal dunia karena sakit.
Aku sendiri memutuskan untuk tak menikah lagi dan berharap Fanny mau memaafkan kesalahanku dan bertemu denganku kembali serta memberinya kabar, bahwa anak yang telah ia lahirkan telah berpulang membawa banyak pertanyaan tentang mamanya. [Julia Koh / Jakarta / Tionghoanews]