Bisa dibilang dapat rumah kost yang ini kejadiannya serba kebetulan. Sebulan sebelum pindah ke tempat baru, saya rajin mengikuti milis buat warga Indonesia di tempat tujuan. Milis buat bahasan hidup sehari-hari, dari tiket pulang kampung yang murah, cari kerja, sampai bahasan sederhana seputar tempat buat beli panci. Kadang-kadang ada anggota yang share soal landlord dan rumah kost juga… mostly yang bernada keluhan. Ini tak ayal bikin serem, secara saya pindah ke sana seorang diri.. kalau ada kasus mah rese. Landlord nilep deposit, rumah kost diisi sejuta umat kaya kandang ayam, biaya listrik bengkak karena penghuni lain boros, belum lagi kasus-kasus yang sampai dibawa ke polisi..walah. Berasa mau pindah ke sarang penyamun beneran. Kalau mau pindah ke level apartemen atau kondo, tak kuat di kantong je. Dengan budget yang ada, yang terbayang emang sarang penyamun itulah.
Sampai akhirnya sebelum libur panjang datang, ada satu member yang pasang iklan mengenai rumah kost. Area di dekat kota, tempat nyaman, tinggal berdua saja dengan ibu kost, kamar yang disewakan cuma satu dari tiga kamar yang ada. Harga tidak tercantum, kalau minat hubungi penghuni lama. Waktu itu saya tidak buru-buru mengirimkan e-mail berhubung libur hampir menjelang. Baru setelah aktivitas berjalan normal saya mengirimkan pesan singkat. Kali-kali kamar yang tempo hari masih ada. Dan si mbak, kita panggil saja dia Dina, memberikan kabar baik. Dia pindah bulan berikutnya, bulan di mana saya akan hijrah ke sana.
Foto kamar pun dengan senang hati dikirim via e-mail. Harga menyusul dua hari kemudian setelah dia tanyakan ke pemilik rumah, secara dia menyewa untuk dua orang sementara saya membutuhkan harga untuk penghuni tunggal. Cocok di kantong, cocok di mata..jadilah saya pindah ke situ.
Saya dan Dina tidak pernah bertemu muka. Kami berkomunikasi via e-mail dan SMS saja. Dia pergi di hari saya sampai di tempat itu. Sebelumnya saya sempat bertanya alasan kepindahannya. Dia berkata bahwa dia pengantin baru dan suaminya juga telah mendapat pekerjaan di sana. Mereka akan menyewa apartemen sendiri untuk memulai hidup berdua. Alasan mengapa Dina dengan senang hati mengiklankan kamar kost yang telah dihuninya hampir tiga tahun itu karena ia cocok dengan si pemilik rumah. Biasanya unit atau kamar sewaan berpindah tangan melalui jasa agen yang membutuhkan komisi tidak sedikit dari dua belah pihak. Kerelaannya buat pasang pengumuman, menghabiskan waktu dan dana untuk berkontak dengan saya hanya demi membantu si ibu kost mendapatkan penghuni pengganti membuat saya sampai kepada kesimpulan bahwa rumah kost ini patut dicoba.
Dan memang rumah kost ini adalah satu-satunya rumah yang saya kunjungi dan langsung saya terima tanpa banyak syarat. Kami bahkan tak punya kontrak, ini rumah kost suka-suka. Kalau mau cabut, jangan lupa kasih tahu sebulan di muka.
Dapur dan alat-alat elektronik di sana boleh dipakai. Toilet ada di dapur, bebas dipakai sendiri. Jangan lupa disiram. Hehehehe…begitulah awal romansa saya dengan si ibu dan rumahnya.
Ibu kost tinggal seorang diri saja. Suaminya sudah meninggal, ia tidak punya anak. Itu adalah sepotong pesan yang saya terima dari Dina ketika saya mencari secuil info mengenai ibu kost ketika saya masih di Jakarta. Di benak saya, mungkin si ibu kost sudah lumayan berumur… namun nyatanya ia jauh lebih muda dari yang saya perkirakan. Sebatas kepala empat, berperawakan cukup besar, tutur katanya kalem dan ia seorang yang ringan tangan (di konteks membantu ya, bukan hobi mukulin anak kost. hehe).
Ia tidak bekerja, kesehariannya berlalu di depan tivi kabel yang menayangkan siaran-siaran oriental. Daya tahannya menonton tivi paling tidak 15 jam dalam sehari. Menyantap makan siang dan malam pun harus di depan pesawat tivi kesayangannya. Normalnya menjelang pukul tiga pagi ibu kost baru berangkat ke pulau kapuk dan saat itu barulah semuanya menjadi benar-benar sunyi.
Malam pertama pindah ke rumah itu saya merasa jengah harus bolak-balik ke toilet buat pipis dan harus melewati ruang nonton tivi buat menuju dapur… secara si ibu engga tidur-tidur dan saya beser mulu. Halah. Tapi setelah seminggu di sana rasanya menjadi terbiasa. Ia biasa melihat saya terkantuk-kantuk saat dini hari menuju kamar kecil, dan saya biasa mendengar celotehan televisi sebagai suara makhluk hidup lain yang membuat rumah itu semarak. Kami berbicara dan ngobrol, tapi tidak terlalu sering. Selesai kongkow-kongkow ibu kost akan balik ke ruang nonton, dan saya masuk kamar. Saban hari relatif sama.
Mengenai suaminya saya tidak pernah bertanya. Tidak ada keberanian, meskipun kadang ada keinginan untuk tahu lebih banyak kalau si ibu tiba-tiba menyertakan kata-kata seperti pernah ke rumah makan A dengan suaminya, pernah diajak suaminya berkunjung ke tempat wisata B, dll. Saya tidak pernah tahu apa penyebab kepergiannya, sejak kapan ia hidup sendiri, hanya bisa menduga-duga sang waktu dari foto-foto perkawinan mereka yang terpajang rapi di depan televisi dan juga di kamar tidurnya.
Pernah sekali waktu menjelang hari arwah, saya melihatnya duduk di ruangan yang sama sambil menggulung uang-uangan yang akan dibakar untuk arwah di dunia lain. Ini tradisi turun-temurun di kalangan kaum Chinese, meskipun dewasa ini tidak semua orang masih menjalani ritual bakar uang. Dipercaya, uang yang kita siapkan di dunia ini setelah dibakar akan diterima utuh oleh anggota keluarga yang telah berpulang sebagai alat pembayaran di dunia lain. Makanya angka yang tertera di situ juga fantastis…seratus juta..satu miliyar…ato entah berapa lagi angka nol-nya. Makin banyak makin baik.
Bagi saya ini lebih kearah tradisi. Namun hari itu, ketika melihat si ibu menggulung lembar demi lembar uang arwah menjadi setumpuk tatanan rapi dengan wajah khidmat (tetap sambil nonton tivi), entah mengapa saya merasa sedih dan sangat hampa. Apa rasanya hidup sendiri tanpa ada sanak keluarga yang mendampingi, seorang diri beranjak senja, melewati waktu dalam sepi hanya berteman dengan siaran tivi. Ah sedih sekali. Tidak sadar saya memalingkan muka, berpura-pura tidak melihat apa yang sedang ia lakukan. Mungkin salah satu sebab ia menyewakan hanya satu kamar di rumah yang luas ini dengan harga murah adalah untuk sekedar menambah penghuni dan mengusir senyap.
Ia tidak mengharapkan materi berlimpah dan tidak perlu bekerja untuk melunasi cicilan. Namun hidup mapan tanpa ada orang lain untuk berbagi, ternyata seperti ini rasanya…hik. Saya berlalu dalam diam, mencuri pandang sekali lagi ke jari-jemarinya yang bergerak lincah membuat uang-uang itu tergelung rapi. Cincin di jari manisnya seakan ikut menari, tanda setia yang tidak pernah luput menemaninya kemana pun ia pergi.
Begitulah… jadi penghuni kost satu-satunya, kadang-kadang bikin perasaan jadi lebih melankolis. Kehebohan jarang terjadi…kecuali kalau lagi diserbu kecoa. Ini dia nih musuh bebuyutan yang nggak tahu kenapa, dimanapun saya berada pasti sempet saja datang bertandang, baik hidup ataupun mati. Yang paling horror tuh kalo kecoa nya beraksi di kamar tidur. Gak tanggung-tanggung, di dalam laci dan menggerayangi barang-barang pribadi pula. Konon menurut si ibu kost, penghuni lama suka makan dan nyemil di dalam kamar…jadi di kamar ini mestilah ada sarang kecoanya. Once in a while you will meet one, sambungnya dengan nada tenang. Seolah-olah ada kecoa gentayangan segala ukuran bagian dari bonus bulanan. Kalau di waktu-waktu ini saya suka sebel sama ibu kos. Yang boneng dong buuu….udah cape-cape beberes terus kecoanya muncul lagi dan lagi…huaaaaa!
Barang-barang yang sudah kena serangan kecoa terpaksa direndem pake air mendidih, atau kalo bisa bungkusnya dibuang. Tapi serangan yang terakhir ini bener-benar bikin suntuk. Tewas di laci paling bawah. Tepat di atas laci itu tempat saya taruh baju dan lingerie. Enggak kebayang kalau kecoanya tewas atau piknik diantara pakaian dalam terus apa jadinya, biarpun saya nggak berhasil menemukan jejak-jejak mereka di sana. "Buang lingerie lama, beli baru sono… " saran seorang teman dengan wajah jahil dan senyuman rese. Ah, praktisnya memang begitu, tapi kalau inget harganya enggak rela juga. Masa iya dibuang…apa baiknya direbus saja semua bahan dan laci-laci itu? Padahal panci saya cuma satu, itu pun buat masak mi instan doang. Sial, kecoa bikin hidup jadi tak tenang. Uuuugh.
Kasus kecoa selesai (untuk sementara) dengan cara tebar racun kecoa disela-sela lemari dan perabotan. Dalam hati getir juga siy….wanita usia dua puluh sekian seperti saya, mestinya sering-sering tebar pesona di kalangan rekan pria bukan tebar racun buat bantai kecoa. Haiya, cape deh. Resiko anak kost tongpes kali yah. Sekarang sudah pasrah dan terima nasib kalo dikunjungi si kecoa. At least ibu kost ku berbaik hati meringkus dan membereskan TKP yang dijadikan lahan bunuh diri sama kecoa-kecoa berani mati itu.
Bonus lain yang membuatku sempat terbengong-bengong adalah lolongan orang gila. Gak bohong sodara-sodara, orang gila yang teriak dan melolong-lolong pilu. Seringnya sih setelah hari berganti gelap dan saya sudah ada rumah. Jam beraksi enggak jelas, kalau si pelaku lagi stress mungkin. Pertama kali dengar suara ini saya pikir binatang liar…tapi makin didengar makin nyata kalau itu jeritan dan raungan histeris laki-laki. Suaranya bergema di dinding-dinding gedung, putus asa namun tak tampak secuilpun jejak nyata di sana.
Saya keluar dan melongok keluar jendela. Sepi tak ada orang. Saya hampiri ibu kost, saya tanya mengenai suara lolongan itu. Dia menyahut pendek kalau itu orang gila. Lantas mengapa tak ada yang protes, apa tetangga sekitarnya tidak terganggu? Dugaanku jarak si orang gila dan rumah kami tidak terlalu dekat tapi suaranya begitu jelas terdengar. Apa komentar orang-orang yang tinggal di sebelah mereka? Ibu kos mengangkat bahu…nanti juga biasa, ucapnya dengan cengiran harap maklum dan terima kasih.
Lewat beberapa minggu di sana, saya tak lagi terganggu dengan raungan si tetangga gila. Kadang sesaat sebelum saya tertidur dia beraksi. Toh ini tidak menghambat saya buat beranjak lenyap ke alam lain. Hanya sayup-sayup pikiran saya berkata…mungkin efek dari resesi ekonomi…salah satu fakta nyata yang dibicarakan teman dalam perjalanan pulang kemarin bahwa jumlah orang stress meningkat. Atau mungkin ia kehilangan orang yang penting dalam hidupnya….dan tangis pilunya sayup-sayup menghilang ketika saya menutup mata. Ada sedikit rindu menyeruak di dada, ntah mengapa mendadak teringat kepada keluarga di rumah.
Tapii…kalau si tetangga melolong pas Senin pagi buta waktu saya terkantuk-kantuk menyiapkan sarapan sebelum berangkat kerja, rasanya saya mau ikutan melolong juga saking kesalnya. Ooom! Plis dunk jangan Senin buta gini! Saya melongok ke luar jendela…bener-bener pengen bales teriak tapi enggak jadi takut diciduk satpam. Oh ya, durasi lolongan juga enggak jelas. Kadang 5 menit kadang lebih. Kadang putus sambung macam aliran listrik. Yah saya hanya bisa berharap semoga dia memperoleh pengobatan dan dapat kembali pulih. Sampai hari ini sesekali saya masih mendengarnya meratap.
Kisah asrama antar penghuni kost jelas nihil dalam kasus saya. Mau bawa pulang tamu tak diundang, juga tak mungkin, wong ibu kost nya mangkal di depan kamar saya terus. Pesawat tivi nya kan di situ. Kecuali kalau tamu gelap itu sejenis kalong yang bisa terbang beberapa lantai ke atas dan masuk lewat jendela.
Makhluk halus juga nihil. Gak ada kejadian-kejadian gaib. Padahal menurut fakta area ini dulunya lahan makam sebelum berubah fungsi jadi area tempat tinggal. Tapi memang dari dulu indera keenam saya jongkok, jadi otomatis enggak peka. Kadang-kadang saja kalau lagi browsing internet dan ketemu topik atau image-image yang agak-agak gimanaa gitu…. jadi sedikit meremang bulu kuduk.
Contohnya, kemaren ini saya menemukan website tentang seorang pembuat boneka. Bukan sembarang boneka, tapi boneka-boneka porselen yang harganya aduhai. Sang seniman berasal dari tanah Siberia…mungkin ada hubungan antara dunia mistis alam peri dengan negeri Eropa Timur? Ah tidak tahu lah…yang jelas dalam salah satu karyanya mengenai Snow White dia menuliskan pandangannya bahwa besar kemungkinan kalau pangeran yang menghampiri Snow White yang terbujur kaku itu adalah seorang Necrophilia, alias orang yang punya ketertarikan seksual dengan mayat. Di karya seninya itu Snow White berwajah sangat rupawan, tapi dengan sedikit efek rusak di bagian badan. Toh sang pangeran tetap memandang penuh cinta dan pasang kuda-kuda buat mendekat.
Ini pandangan baru buat saya. Selama ini dunia modern menjadikan dongeng terlihat sangat bersahabat, sementara kalau ditelaah lebih jauh lagi cerita-cerita yang sudah bertahan ratusan tahun tersebut punya keganjilan yang cukup seram. Dan di rumah kost yang sepi selepas dunia menjadi sunyi, pikiran tersebut menari-nari liar mencari pembenaran.
Wakaka..sudah dulu ya. Nanti ditimpukin. Dasarnya mau cerita rumah kost…tapi buntut-buntutnya malah bahas topik-topik tak diundang. Memang di tempat yang sangat-sangat tenang seperti ini, terasa lebih mudah buat konsentrasi ke bahasan-bahasan khusus. Untuk berdoa pun nuansanya bersahabat sekali. Pejamkan mata, padamkan lampu dan pendarkan lilin. Tuhan hanya sejauh doa, benarlah adanya. [Airei Chen / Jakarta / Tionghoanews]