Setiap kali menjelang perayaan Tahun Baru Imlek, ada perasaan senang, galau, bingung dan beragam perasaan lainnya bercampur baur. Tahun Baru Imlek identik dengan komunitas Tionghoa (dikenal juga dengan istilah "Huaren").
Pasca Kerusuhan Rasial tahun 1998 (inipun saya lebih suka gunakan istilah "Revolusi Kebudayaan 1998″ buat peringatan kita selaku Huaren bahwa tidak hanya di Tiongkok saja yang ada Revolusi Kebudayaan tapi di Indonesia kita juga ada Revolusi serupa), peringatan Tahun Baru Imlek yang biasa dirayakan setiap awal Tahun Imlek, sebenarnya bersamaan dengan Festival Musim Semi di Tiongkok.
Namun karena di Republik Indonesia tidak ada musim dingin, musim gugur ataupun musim semi, maka peringatan Tahun Baru Imlek lebih menyerupai "Hari Kumpul Keluarga Besar" karena bagi kami kalangan etnis Tionghoa, kesempatan untuk bertemu dan berkumpul dengan sebagian besar anggota Keluarga Besar baru bisa terlaksana pada saat Kumpul Keluarga - dan itu terjadi hanya pas Tahun Baru Imlek.
Mau dirayakan atau tidak, Tahun Baru Imlek identik dengan kumpul keluarga. Biasanya pada saat hari Tahun Baru Imlek, anggota keluarga yang lebih muda akan berusaha untuk mengunjungi anggota keluarga yang lebih tua. Jika orangtua masih lengkap, maka anak-anak akan berkunjung ke rumah orangtua dan berkumpul bersama di rumah orang tua. Jika kebetulan kakek nenek masih ada dan tinggal terpisah di rumah sendiri, maka inilah kesempatan untuk mengunjungi mereka sekalian bertahun baruan. Istilahnya "Pai Nien" alias "Tahun Baruan".
Terlepas dari budaya 'Bagi Ang Pao' , 'Pai Nien' sambil mendekap kedua tangan di atas dada sambil berucap 'Gong Xi Fat Chai' (diucapnya : Kung Shi Fah Chai) dan 'Tradisi Makan Bersama', beberapa tahun terakhir ini budaya kumpul bersama dengan Keluarga Besar Kakek Nenek sudah nyaris tidak terjadi karena Kakek dan Nenek baik dari pihak keluarga Papa maupun dari pihak keluarga Mama sudah pulang ke Surga.
Jadi kebiasaan kumpul bersama Keluarga besar hanya sesekali terjadi jika ada di antara keluarga Papa yang punya rumah relatif besar dan bersedia menjadi tuan rumah. Maklum, menjadi tuan rumah bagi keluarga besar pada saat Tahun Baru Imlek bukannya tidak merepotkan, namun setelah bubaran biasanya pihak Tuan Rumah yang merasa terbebani untuk urusan bersih bersihnya. Jadi, begitulah sudah beberapa tahun terakhir ini perayaan Tahun Baru Imlek hanya kami lewati dengan berdoa di Gereja dan berkunjung ke rumah Papa Mama. Papa mama hanya tinggal berdua sejak adikku meninggal karena kanker beberapa tahun yang lalu.
Tahun ini merupakan tahun ketiga perayaan tahun baru Imlek tanpa kehadiran adikku. Namun tradisi berkunjung ke rumah orang tua tetap aku pelihara.
Ironisnya kadang sebagian teman masih menganggap kita sebagai etnis Tionghoa yang eksklusif. Entah darimana istilah Tionghoa itu eksklusif.
Jujur, sejak kecil aku bersekolah di sekolah Negeri. Aku sekolah di SD Negeri Tambora, lalu meneruskan di SMP Negeri 63, dan SMEA Negeri V. Masih aku ingat waktu lulus SMP dan aku akan meneruskan ke SMEA, orangtua sudah kelabakan karena takut aku tidak diterima di SMEA Negeri karena alasan NEM (Nilai Ebtanas Murni) yang harus di atas rata-rata.
Papa sudah kelabakan mencari informasi sekolah cadangan buatku jika tidak diterima di Sekolah SMEA Negeri. Tanteku malah menyiapkan SMEA Strada sebagai cadangan. Dulu aku sempat bertanya, kenapa sih takut aku nggak diterima di sekolah SMEA Negeri ? Karena secara pribadi, aku yakin diterima tanpa harus menyogok atau cara cara kotor. Aku yakin karena waktu itu aku dengar bahwa untuk bisa masuk di SMEA Negeri V yang tergolong SMEA Negeri favorit,ada beberapa skala prioritas nilai yang bagus, dan aku yakin diterima karena nilai bahasa Inggrisku yang sering di atas rata-rata.
Terbukti, keyakinanku diterima di SMEA Negeri akhirnya menjadi kenyataan. Dulu aku sempat dengar bahwa untuk masuk SMEA Negeri favorit kadang suka dipersulit karena kami tergolong dari etnis Tionghoa. Kadang pada saat itu aku berpikir kenapa harus dipersulit buat etnis Tionghoa masuk sekolah Negeri. Dari kecil, aku selalu bersekolah di Sekolah Negeri. Aku senang bersekolah di Sekolah Negeri karena di sekolah Negeri lah aku bisa bergaul dengan teman teman yang bukan Tionghoa. Sengaja aku tidak sebut istilahnya, karena sebenarnya istilah yang membuat perbedaan tersebut sangat aku tidak sukai. Karena sebenarnya, antara etnis apapun, semuanya sama saja dan tidak seharusnya ada perbedaan di antara kita sesama umat manusia.
Jujur kalau boleh memilih pada saat akan dilahirkan, aku tidak akan memilih terlahir sebagai etnis Tionghoa. Jangan diplesetkan bahwa aku membenci jadi orang Tionghoa, cuma aku kecewa melihat masih ada orang yang bilang kalau aku Tionghoa dan ini dijadikan alasan bahwa kita berbeda. Itu kalau boleh memilih. Lha, pada saat akan terlahirkan, mana bisa kita memilih mau terlahir sebagai etnis Jawa, etnis Sunda atau etnis Batak ataupun lainnya.
Beruntung bahwa pasca Reformasi, segala bentuk produk yang mendiskriminasi etnis Tionghoa sudah pelan pelan dihapuskan. Mulai dari buku SBKRI, penandaan nomor di KTP, K1 (dulu saya sering pelesetkan dengan K5 alias pedagang pinggir jalan). Namun kadang kita masih suka menemui orang yang bilang kita ini Tionghoa. walau kalau aku balik bertanya, lalu kalau saya Tionghoa, kenapa ? Biasanya mereka akan terdiam. Nah lho.
Lha, mau kita jadi Tionghoa ataupun Batak, apa bedanya. Itu prinsipku. Bagiku, aku terlahir di bumi Indonesia, belajar di sekolah negeri kepunyaan Indonesia, bekerja dan berusaha di bumi Indonesia, bahkan memiliki teman2 sebagian besar orang Indonesia. Bagiku, mau orang Tionghoa ataupun bukan, tetap mereka temanku dan mereka juga tetap manusia ciptaan Tuhan. Karena mudah-mudahan, matipun aku pilih berada di Indonesia dan dikebumikan di bumi Indonesia. I love this country much.
Bagiku, perayaan Tahun Baru Imlek adalah perayaan kumpul keluarga. Jika kumpul keluarga besar nyaris mustahil karena tidak ada yang mau jadi tuan rumah dan tidak mau rembuk biaya bareng, maka minimal kami masih bisa kumpul keluarga dengan papa dan mama di hari Tahun Baru Imlek.
Hari ini aku sempat berpikir bahwa andai aku bukan Tionghoa. Namun akhirnya aku juga kaget mengetahui bahwa kalaupun aku bukan Tionghoa, pikiran dan pola berpikir (mindset) untuk membedakan antar sesama umat manusia itu bukan kebiasaan semua orang namun hanya kepicikan segelintir orang saja.
Yang kita harus ubah dan biasakan berpikir di antara sesama anak bangsa adalah bahwa mau kita terlahir sebagai suku apapun, kita tetap orang Indonesia. Lahir, tumbuh, berkembang biak dan meninggalpun di bumi pertiwi. Jika aku ke luar negeri, aku bangga jika ditanya bahwa Aku Orang Indonesia.
Selamat Tahun Baru Imlek. Selamat Berkumpul bersama Keluarga. Gong Xi Fat Chai, Xin Nien Khuai Le. Wang Xe Ru Ie. Nien Nien Hao... [Firdaus Juven /081513234190 / 13Jan2012]
Pasca Kerusuhan Rasial tahun 1998 (inipun saya lebih suka gunakan istilah "Revolusi Kebudayaan 1998″ buat peringatan kita selaku Huaren bahwa tidak hanya di Tiongkok saja yang ada Revolusi Kebudayaan tapi di Indonesia kita juga ada Revolusi serupa), peringatan Tahun Baru Imlek yang biasa dirayakan setiap awal Tahun Imlek, sebenarnya bersamaan dengan Festival Musim Semi di Tiongkok.
Namun karena di Republik Indonesia tidak ada musim dingin, musim gugur ataupun musim semi, maka peringatan Tahun Baru Imlek lebih menyerupai "Hari Kumpul Keluarga Besar" karena bagi kami kalangan etnis Tionghoa, kesempatan untuk bertemu dan berkumpul dengan sebagian besar anggota Keluarga Besar baru bisa terlaksana pada saat Kumpul Keluarga - dan itu terjadi hanya pas Tahun Baru Imlek.
Mau dirayakan atau tidak, Tahun Baru Imlek identik dengan kumpul keluarga. Biasanya pada saat hari Tahun Baru Imlek, anggota keluarga yang lebih muda akan berusaha untuk mengunjungi anggota keluarga yang lebih tua. Jika orangtua masih lengkap, maka anak-anak akan berkunjung ke rumah orangtua dan berkumpul bersama di rumah orang tua. Jika kebetulan kakek nenek masih ada dan tinggal terpisah di rumah sendiri, maka inilah kesempatan untuk mengunjungi mereka sekalian bertahun baruan. Istilahnya "Pai Nien" alias "Tahun Baruan".
Terlepas dari budaya 'Bagi Ang Pao' , 'Pai Nien' sambil mendekap kedua tangan di atas dada sambil berucap 'Gong Xi Fat Chai' (diucapnya : Kung Shi Fah Chai) dan 'Tradisi Makan Bersama', beberapa tahun terakhir ini budaya kumpul bersama dengan Keluarga Besar Kakek Nenek sudah nyaris tidak terjadi karena Kakek dan Nenek baik dari pihak keluarga Papa maupun dari pihak keluarga Mama sudah pulang ke Surga.
Jadi kebiasaan kumpul bersama Keluarga besar hanya sesekali terjadi jika ada di antara keluarga Papa yang punya rumah relatif besar dan bersedia menjadi tuan rumah. Maklum, menjadi tuan rumah bagi keluarga besar pada saat Tahun Baru Imlek bukannya tidak merepotkan, namun setelah bubaran biasanya pihak Tuan Rumah yang merasa terbebani untuk urusan bersih bersihnya. Jadi, begitulah sudah beberapa tahun terakhir ini perayaan Tahun Baru Imlek hanya kami lewati dengan berdoa di Gereja dan berkunjung ke rumah Papa Mama. Papa mama hanya tinggal berdua sejak adikku meninggal karena kanker beberapa tahun yang lalu.
Tahun ini merupakan tahun ketiga perayaan tahun baru Imlek tanpa kehadiran adikku. Namun tradisi berkunjung ke rumah orang tua tetap aku pelihara.
Ironisnya kadang sebagian teman masih menganggap kita sebagai etnis Tionghoa yang eksklusif. Entah darimana istilah Tionghoa itu eksklusif.
Jujur, sejak kecil aku bersekolah di sekolah Negeri. Aku sekolah di SD Negeri Tambora, lalu meneruskan di SMP Negeri 63, dan SMEA Negeri V. Masih aku ingat waktu lulus SMP dan aku akan meneruskan ke SMEA, orangtua sudah kelabakan karena takut aku tidak diterima di SMEA Negeri karena alasan NEM (Nilai Ebtanas Murni) yang harus di atas rata-rata.
Papa sudah kelabakan mencari informasi sekolah cadangan buatku jika tidak diterima di Sekolah SMEA Negeri. Tanteku malah menyiapkan SMEA Strada sebagai cadangan. Dulu aku sempat bertanya, kenapa sih takut aku nggak diterima di sekolah SMEA Negeri ? Karena secara pribadi, aku yakin diterima tanpa harus menyogok atau cara cara kotor. Aku yakin karena waktu itu aku dengar bahwa untuk bisa masuk di SMEA Negeri V yang tergolong SMEA Negeri favorit,ada beberapa skala prioritas nilai yang bagus, dan aku yakin diterima karena nilai bahasa Inggrisku yang sering di atas rata-rata.
Terbukti, keyakinanku diterima di SMEA Negeri akhirnya menjadi kenyataan. Dulu aku sempat dengar bahwa untuk masuk SMEA Negeri favorit kadang suka dipersulit karena kami tergolong dari etnis Tionghoa. Kadang pada saat itu aku berpikir kenapa harus dipersulit buat etnis Tionghoa masuk sekolah Negeri. Dari kecil, aku selalu bersekolah di Sekolah Negeri. Aku senang bersekolah di Sekolah Negeri karena di sekolah Negeri lah aku bisa bergaul dengan teman teman yang bukan Tionghoa. Sengaja aku tidak sebut istilahnya, karena sebenarnya istilah yang membuat perbedaan tersebut sangat aku tidak sukai. Karena sebenarnya, antara etnis apapun, semuanya sama saja dan tidak seharusnya ada perbedaan di antara kita sesama umat manusia.
Jujur kalau boleh memilih pada saat akan dilahirkan, aku tidak akan memilih terlahir sebagai etnis Tionghoa. Jangan diplesetkan bahwa aku membenci jadi orang Tionghoa, cuma aku kecewa melihat masih ada orang yang bilang kalau aku Tionghoa dan ini dijadikan alasan bahwa kita berbeda. Itu kalau boleh memilih. Lha, pada saat akan terlahirkan, mana bisa kita memilih mau terlahir sebagai etnis Jawa, etnis Sunda atau etnis Batak ataupun lainnya.
Beruntung bahwa pasca Reformasi, segala bentuk produk yang mendiskriminasi etnis Tionghoa sudah pelan pelan dihapuskan. Mulai dari buku SBKRI, penandaan nomor di KTP, K1 (dulu saya sering pelesetkan dengan K5 alias pedagang pinggir jalan). Namun kadang kita masih suka menemui orang yang bilang kita ini Tionghoa. walau kalau aku balik bertanya, lalu kalau saya Tionghoa, kenapa ? Biasanya mereka akan terdiam. Nah lho.
Lha, mau kita jadi Tionghoa ataupun Batak, apa bedanya. Itu prinsipku. Bagiku, aku terlahir di bumi Indonesia, belajar di sekolah negeri kepunyaan Indonesia, bekerja dan berusaha di bumi Indonesia, bahkan memiliki teman2 sebagian besar orang Indonesia. Bagiku, mau orang Tionghoa ataupun bukan, tetap mereka temanku dan mereka juga tetap manusia ciptaan Tuhan. Karena mudah-mudahan, matipun aku pilih berada di Indonesia dan dikebumikan di bumi Indonesia. I love this country much.
Bagiku, perayaan Tahun Baru Imlek adalah perayaan kumpul keluarga. Jika kumpul keluarga besar nyaris mustahil karena tidak ada yang mau jadi tuan rumah dan tidak mau rembuk biaya bareng, maka minimal kami masih bisa kumpul keluarga dengan papa dan mama di hari Tahun Baru Imlek.
Hari ini aku sempat berpikir bahwa andai aku bukan Tionghoa. Namun akhirnya aku juga kaget mengetahui bahwa kalaupun aku bukan Tionghoa, pikiran dan pola berpikir (mindset) untuk membedakan antar sesama umat manusia itu bukan kebiasaan semua orang namun hanya kepicikan segelintir orang saja.
Yang kita harus ubah dan biasakan berpikir di antara sesama anak bangsa adalah bahwa mau kita terlahir sebagai suku apapun, kita tetap orang Indonesia. Lahir, tumbuh, berkembang biak dan meninggalpun di bumi pertiwi. Jika aku ke luar negeri, aku bangga jika ditanya bahwa Aku Orang Indonesia.
Selamat Tahun Baru Imlek. Selamat Berkumpul bersama Keluarga. Gong Xi Fat Chai, Xin Nien Khuai Le. Wang Xe Ru Ie. Nien Nien Hao... [Firdaus Juven /081513234190 / 13Jan2012]