Aku dibesarkan dalam keluarga yang sangat harmonis, ayah dan ibu selalu mengajarkanku tentang sebuah kesetiaan. Mereka pernah bercerita bahwa sebelum mereka menikah, mereka mengaku telah memiliki insting yang kuat saat mereka pertama kali bertemu dan sama-sama yakin bahwa mereka kelak akan menikah, punya anak dan berbahagia sampai akhir hayatnya.
Dan benarlah apa yang mereka yakini, selama bertahun-tahun telah menjadi orang tua yang sangat baik bagi kami, membimbing kami dengan penuh cinta kasih dan kebijaksanaan.
Aku teringat suatu hari ketika aku masih berusia belasan tahun. Beberapa keluarga kami mengajak ibuku pergi ke pembukaan sebuah mall yang menjual alat-alat keperluan rumah tangga. Mereka mengatakan hari pembukaan adalah waktu terbaik untuk berbelanja barang keperluan karena sangat murah dengan kualitas yang bagus. Tapi ibuku menolaknya kerana ayahku sebentar lagi akan pulang dari kerja. Kata ibuku, "Ibu tak akan pernah meninggalkan ayahmu sendirian".
Bahkan ketika ibu mendapatkan sebuah bonus wisata ke luar negeri dari bank tempat ia menabung, ibuku tak pernah mau menggunakannya, karena ibu tak ingin melihat ayah sendiri di rumah selama beberapa hari, padahal ayahku sudah mengizinkannya dan tak mempemasalahkan kepergian ibu keluar negeri untuk berwisata, tapi ibu tetap menolaknya. Ia lebih rela kehilangan bonus tersebut daripada meninggalkan ayah sendiri di rumah.
Hal itulah yang selalu ditegaskan oleh ibu kepadaku. Apapun yang terjadi, sebagai seorang perempuan, aku wajib bersikap baik terhadap suamiku dan selalu menemaninya dalam keadaan apapun, baik miskin, kaya, sehat maupun sakit. Seorang perempuan harus menjadi teman hidup suaminya. Banyak orang tertawa mendengar hal itu. Menurut mereka, itu hanyalah kata-kata janji pernikahan, omongan kosong belaka. Tapi aku tetap mempercayai nasehat ibuku yang diberikan ibu kepadaku.
Sampai suatu hari, bertahun-tahun kemudian, kami sekeluarga mengalami kesedihan. Setelah ulang tahun ibuku yang ke-59, ibuku terjatuh di kamar mandi dan menjadi lumpuh. Dokter mengatakan kalau saraf tulang belakang ibuku tidak berfungsi lagi, dia harus menghabiskan sisa hidupnya di pembaringan karena mengalami kelumpuhan. Ibu juga harus bolak-balik ke rumah sakit untuk mencuci darahnya.
Ayahku, seorang lelaki yang masih sehat di usia tuanya, ia tetap setia merawat ibuku, menyuapinya, bercerita segala hal dan membisikkan kata-kata cinta pada ibu. Ayahku tak pernah meninggalkannya. Bahkan ia rela membawanya ke rumah sakit sendirian saat waktu mencuci darah, membopongnya dari kasur menuju mobil dan sebaliknya. Begitupun saat ibu hendak buang air, ayahlah yang selalu membantunya. Bukan keran keluarga yang lain tak mau membantu, tetapi ayah selalu mengatakan bahwa itu adalah kewajibannya.
Selama bertahun-tahun, hampir setiap hari ayahku selalu menemaninya. Ayahku pernah mengkilatkan kuku tangan ibuku, dan ketika ibuku bertanya ,"Untuk apa kau lakukan itu? Aku sudah sangat tua dan hodoh sekali". Ayahku menjawab, "Aku ingin kau tetap merasa cantik". Begitulah pekerjaan ayahku sehari-hari, merawat ibuku dengan penuh kelembutan dan kasih sayang.
Suatu hari ibu berkata padaku sambil tersenyum, "Kau tahu, Selly. Ayahmu tak akan pernah meninggalkan aku… kau tahu kenapa?" Aku menggeleng, dan ibuku berkata, "Karena aku tak pernah meninggalkannya, tak pernah seharipun meninggalkannya, kecuali saat ia berada di luar rumah untuk urusan pekerjaannya,"
Itulah kisah cinta ayah dan ibuku mereka memberikan kami anak-anaknya pelajaran tentang tanggungjawab, kesetiaan, rasa hormat, saling menghargai, kebersamaan, dan cinta kasih. Bukan dengan kata-kata, tapi mereka memberikan contoh dari kehidupannya. Dan kami berupaya untuk terus memelihara pelajaran yang telah diberikan ayah dan ibu. [Vivi Tan / Jakarta / Tionghoanews]