Aku berdiri di pinggir jalan pada malam itu. Dengan rasa kelelahan menunggu Tante datang menjemputku dan Ibuku, aku memandang jalanan Jakarta yang ramai dilintasi mobil lalu lalang. Saat itu tahun 1990-an. Jakarta tidak seperti sekarang, sedikit lebih dingin dan damai. Sedamai hatiku yang masih anak ingusan.
Aku masih berdiri di pinggir jalan itu, jalan yang hingga detik ini aku tidak tahu nama jalannya, apalagi daerahnya. Yang aku ingat hanyalah terdapat ruko tepat di belakang posisiku berdiri, dengan lampu temaram seadanya, dan di depanku terdapat jalan tol yang dilintasi kendaraan bermotor plus kepulan asap di atasnya.
Yang terpikir dalam benakku saat itu adalah "betapa enaknya tinggal di Jakarta". Enak karena aku tidak merasakan suasana seperti ini di kampungku di Sumatra, suasana penuh semangat dari para penduduk Jakarta demi mencari sesuap nasi. Suasana kemajuan, bukan terpuruk dalam hidup yang standar-standar saja. Suasana yang menjanjikan kekayaan, kebahagiaan, serta akses hidup yang lebih mudah.
Tanpa aku sadari, di sela-sela lamunanku melihat lalu lalang kendaraan, aku berdoa dan berjanji, suatu hari aku harus tinggal di Jakarta. Karena di kampungku, tinggal di jakarta merupakan suatu kebanggaan, kemajuan, dan salah satu keberhasilan dalam hidup.
Lima belas tahun sudah berlalu. Lamunanku tentang cita-cita masa kecil itu terjadi persis saat aku berdiri di pinggir jalan raya Jakarta dengan raut wajah kelelahan setelah menapaki perjalanan dari kantor menuju rumah. Wajah lelah seorang gadis yang tumbuh sempurna di bawah asuhan kasih sayang ibu. Hanya yang membedakan adalah aku tahu di jalan apa aku berdiri, dengan suasana Jakarta yang jauh lebih ramai dan padat kendaraan tentunya.
Seketika rasa lelahku hilang, berganti menjadi senyuman karena tanpa aku sadari, Tuhan mengabulkan cita-cita masa kecilku menjadi nyata. [Jelia Sim / Kupang]