Sejak awal, aku memang telah menduga bahwa perkawinan yang didasarkan atas perjodohan semata tidak akan membawa kebahagiaan dan kelanggengan. Aku yang saat ini telah berumah tangga selama dua tahun dan telah dikaruniai satu orang anak tetap saja tak bisa mencintai Yani (nama samaran) istriku yang kunikahi dua tahun silam. Dan akibatnya, ketika aku menemukan seseorang yang tiba-tiba menggugah hatiku, semua orang termasuk istri dan mertuaku tak bisa membendung hasratku untuk menikah kembali.
Pekerjaanku memang hanya sebagai seorang surveyor sebuah bank swasta di Jakarta, namun dari pekerjaan itu aku bisa mencukupi semua kebutuhan anak dan istriku. Dan dari pekerjaan itu pula aku akhirnya bertemu seseorang yang secara luar biasa telah membuatku merasa sangat nyaman dan tentram saat aku dekat dengannya.
Hani (bukan nama sebenarnya) sebenarnya masih terdaftar di Sekolah Menengah Atas Negeri, namun dengan usia yang masih sangat belia, Hani tidaklah seperti gadis sebayannya. Tutur kata serta pemikirannya tampak lebih dewasa dari apa yang terlihat secara fisik. Dan itu yang membuatku merasa tertarik, tidak seperti istriku yang sangat pasif dalam segala hal dan itu membuatku muak hingga aku tak memiliki semangat dan motifasi dalam menjalani kehidupan.
Hubunganku dengan Hani berawal saat orang tua Hani hendak mengajukan kredit pada bank dimana aku bekerja, dan karena urusan tersebut aku dan hani jadi sering bertemu. Pertemuan-demi pertemuan akhirnya memunculkan perasaan saling tertarik, dan Hani ternyata menerima aku apa adanya termasuk ketika aku mengaku telah memiliki anak dan istri, dan keadaan rumah tanggaku yang tak bahagia. Orang tua Hanipun menudukung sepenuhnya niatku untuk melanjutkan hubungan dengan Hani.
Bergitupun terhadap Yani dan mertuaku, aku jelaskan kepada mereka bahwa aku ingin menikahi perempuan yang aku cintai. Dan terhadap rencanaku itu mereka menolaknya dan mencoba memisahkan kami berdua dengan cara-cara yang amat kotor seperrti meneror dan mengancam, bahkan Hani harus keluar dari sekolahnya akibat pengaduan yang dibeberkan istriku, bahwa Hani adalah perempuan yang berprofesi sebagai PSK. Namun Hani tetap tegar dan sabar dalam menghadapi tuduhan dan terror, bahkan ia menasehatiku agar aku kembali kepada istriku dan meminta maaf.
Ketegaran, kesabaran dan kedewasaan Hani justru semakin membuatku yakin, bahwa Hani akan menjadi seorang istri yang dapat diajak bekerja sama dalam mebina rumah tangga. Dan sejak peristiwa itu, Hani yang semula sedikit menjauh, kembali mau melakukan komunikasi setelah aku meyakinkan Hani bahwa aku secepatnya akan menceraikan istriku.
Rencanaku tersebut ternyata membuat istriku kembali mendatangi Hani yang sedang berada di rumah. Saat itu Yani bukan saja mencaci maki Hani, tapi juga sudah melakukan perbuatan kasar dengan menampar dan meludahi wajah Hani berkali-kali. Setegar-tegarnya Hani, mendapat perlakuan kasar seperti itu, Hani mengadu kepadaku dan berharap aku segera menikahinya atau meninggalkannya.
Saat itu, aku memang tak bisa berbuat banyak selain memohon kesabarannya. Disela isak tangisnya, aku memeluknya perlahan dan tampa diduga, Hani justru membalasnya dengan rangkulan yang kuat seakan-akan ia tak lagi ingin berpisah denganku, saat itu aku merasa bahwa Hani mencoba memancing hasratku, namun aku menolaknya.
Dipertemuan berikutnya, Hani kembali menggoda hasratku, ia sengaja membasahi tubuhnya dengan air hujan yang saat itu turun dengan deras. Saat masuk kerumah yang saat itu sepi, ia dengan seenaknya membuka bajunya yang basah, hingga kulit putih dan bersih itu tampak menggoda. Sesaat kemudian ia memelukku sambil berbisik bahwa ia menginginkan anak dariku.
Semakin lama, godaan itu semakin membuatku terlena. Disaat berikutnya aku tak lagi dapat menahan gejolak dan hasrat kelelakianku. Sedetik kemudian terjadilah perbuatan yang seharus boleh aku lakukan setelah aku menkahinya, anehnya setelah perbuatan itu, Hani malah tersenyum gembira dan berkata bahwa kelak ia akan memiliki anak yang kelak akan merawat dan mengurusnya, dan aku hanya terenyuh sambil menatapnya dengan pandangan penuh tanya.
Satu bulan sejak saat itu, aku mendapatkan kabar dari Hani, bahwa ia telah mengandung. Perasaan bahagia, cemas, panic dan entah apa lagi, berkecamuk menjadi satu. Dan perasaan tersebut berubah menjadi kesedihan dan putus asa yang teramat sangat, ketika aku mendapati rumah Hani sudah tak berpenghuni.
Ketika aku bertanya kepada tetangga sebelahnya, Hani beserta keluarganya telah pindah satu hari yang lalu, satu hari saat Hani memberi kabar bahwa ia hamil. Dan aku baru menyadari makna senyum Hani saat itu, senyum selamat tinggal. Masih terkiang ditelingaku saat Hani berkata bahwa aku harus kembali kepada istriku dan meminta maaf, dan sepertinya permintaan itu tak kan pernah aku lakukan, sebaliknya aku berharap ia mau kembali kepadaku, karena aku pasti akan menikahinya sesuai dengan janjiku, kekasihku… kembalilah……. [Vivi Tan / Jakarta]
Pekerjaanku memang hanya sebagai seorang surveyor sebuah bank swasta di Jakarta, namun dari pekerjaan itu aku bisa mencukupi semua kebutuhan anak dan istriku. Dan dari pekerjaan itu pula aku akhirnya bertemu seseorang yang secara luar biasa telah membuatku merasa sangat nyaman dan tentram saat aku dekat dengannya.
Hani (bukan nama sebenarnya) sebenarnya masih terdaftar di Sekolah Menengah Atas Negeri, namun dengan usia yang masih sangat belia, Hani tidaklah seperti gadis sebayannya. Tutur kata serta pemikirannya tampak lebih dewasa dari apa yang terlihat secara fisik. Dan itu yang membuatku merasa tertarik, tidak seperti istriku yang sangat pasif dalam segala hal dan itu membuatku muak hingga aku tak memiliki semangat dan motifasi dalam menjalani kehidupan.
Hubunganku dengan Hani berawal saat orang tua Hani hendak mengajukan kredit pada bank dimana aku bekerja, dan karena urusan tersebut aku dan hani jadi sering bertemu. Pertemuan-demi pertemuan akhirnya memunculkan perasaan saling tertarik, dan Hani ternyata menerima aku apa adanya termasuk ketika aku mengaku telah memiliki anak dan istri, dan keadaan rumah tanggaku yang tak bahagia. Orang tua Hanipun menudukung sepenuhnya niatku untuk melanjutkan hubungan dengan Hani.
Bergitupun terhadap Yani dan mertuaku, aku jelaskan kepada mereka bahwa aku ingin menikahi perempuan yang aku cintai. Dan terhadap rencanaku itu mereka menolaknya dan mencoba memisahkan kami berdua dengan cara-cara yang amat kotor seperrti meneror dan mengancam, bahkan Hani harus keluar dari sekolahnya akibat pengaduan yang dibeberkan istriku, bahwa Hani adalah perempuan yang berprofesi sebagai PSK. Namun Hani tetap tegar dan sabar dalam menghadapi tuduhan dan terror, bahkan ia menasehatiku agar aku kembali kepada istriku dan meminta maaf.
Ketegaran, kesabaran dan kedewasaan Hani justru semakin membuatku yakin, bahwa Hani akan menjadi seorang istri yang dapat diajak bekerja sama dalam mebina rumah tangga. Dan sejak peristiwa itu, Hani yang semula sedikit menjauh, kembali mau melakukan komunikasi setelah aku meyakinkan Hani bahwa aku secepatnya akan menceraikan istriku.
Rencanaku tersebut ternyata membuat istriku kembali mendatangi Hani yang sedang berada di rumah. Saat itu Yani bukan saja mencaci maki Hani, tapi juga sudah melakukan perbuatan kasar dengan menampar dan meludahi wajah Hani berkali-kali. Setegar-tegarnya Hani, mendapat perlakuan kasar seperti itu, Hani mengadu kepadaku dan berharap aku segera menikahinya atau meninggalkannya.
Saat itu, aku memang tak bisa berbuat banyak selain memohon kesabarannya. Disela isak tangisnya, aku memeluknya perlahan dan tampa diduga, Hani justru membalasnya dengan rangkulan yang kuat seakan-akan ia tak lagi ingin berpisah denganku, saat itu aku merasa bahwa Hani mencoba memancing hasratku, namun aku menolaknya.
Dipertemuan berikutnya, Hani kembali menggoda hasratku, ia sengaja membasahi tubuhnya dengan air hujan yang saat itu turun dengan deras. Saat masuk kerumah yang saat itu sepi, ia dengan seenaknya membuka bajunya yang basah, hingga kulit putih dan bersih itu tampak menggoda. Sesaat kemudian ia memelukku sambil berbisik bahwa ia menginginkan anak dariku.
Semakin lama, godaan itu semakin membuatku terlena. Disaat berikutnya aku tak lagi dapat menahan gejolak dan hasrat kelelakianku. Sedetik kemudian terjadilah perbuatan yang seharus boleh aku lakukan setelah aku menkahinya, anehnya setelah perbuatan itu, Hani malah tersenyum gembira dan berkata bahwa kelak ia akan memiliki anak yang kelak akan merawat dan mengurusnya, dan aku hanya terenyuh sambil menatapnya dengan pandangan penuh tanya.
Satu bulan sejak saat itu, aku mendapatkan kabar dari Hani, bahwa ia telah mengandung. Perasaan bahagia, cemas, panic dan entah apa lagi, berkecamuk menjadi satu. Dan perasaan tersebut berubah menjadi kesedihan dan putus asa yang teramat sangat, ketika aku mendapati rumah Hani sudah tak berpenghuni.
Ketika aku bertanya kepada tetangga sebelahnya, Hani beserta keluarganya telah pindah satu hari yang lalu, satu hari saat Hani memberi kabar bahwa ia hamil. Dan aku baru menyadari makna senyum Hani saat itu, senyum selamat tinggal. Masih terkiang ditelingaku saat Hani berkata bahwa aku harus kembali kepada istriku dan meminta maaf, dan sepertinya permintaan itu tak kan pernah aku lakukan, sebaliknya aku berharap ia mau kembali kepadaku, karena aku pasti akan menikahinya sesuai dengan janjiku, kekasihku… kembalilah……. [Vivi Tan / Jakarta]