Ini sebuah kisah nyata yang banyak terjadi di lingkungan sekitar kita, maka kutulis kisah nyata ini agar para perempuan dapat membaca dan mengambil hikmahnya dari kejadian kakakku.
Mas Iwan adalah nama kakak tertuaku yang selama ini kupanuti sebagai kakak teladan karena ia sangat memperhatikan kami 2 orang adiknya. Tak jemu-jemunya ia mengingatkan kami untuk belajar sungguh-sungguh agar segera selesai meraih gelar S1. Bahkan tak jarang pula Mas Iwan turun langsung mengajari kami jika pelajaran kami sulit dipahami. Kami tiga saudara, Mas Iwan anak pertama, sedangkan aku sebut saja Nita anak kedua dan Andi si bungsu kami.
Perhatian Mas Iwan juga tak berubah kala Mas Iwan telah memiliki pacar yang serius, namanya Kak Sani. Kami juga menyukai Kak Sani, karena selain cantik, Kak Sani juga baik. Kak Sani juga menyayangi kami seperti adiknya sendiri, bahkan ibu juga memujinya karena Kak Sani tak segan-segan membantu ibu di dapur jika ia berkunjung kerumah. Jadi pada saat Mas Iwan menanyakan kepada aku dan Andi bahwa ia ingin menyunting Kak sani menjadi istrinya, kami semua mendukungnya.
Setelah menikah, Mas Iwan pindah kerumah kontrakan dengan alasan lebih dekat dengan kantor. Kami berbondong-bondong mengantarkannya. Bahkan kulihat ayah sempat menitikkan air mata saat kami berpamitan pulang usai mengantarkan kepindahan Mas Iwan. Kami semua berharap Mas Iwan dan Kak Sani menjadi keluarga sakinah, mawadah.
Sejak pernikahannya, memang setiap bulan Mas Iwan dan Kak Sani masih tetap datang ke rumah untuk bertemu kami semua, tak jarang Kak Sani membawa buah tangan berupa kue atau buah untuk ibu. Namun sejak pernikahan mereka Mas Iwan tak lagi pernah memberi uang untuk ibu padahal dulu sebelum menikah Mas Iwan rajin membagi uang gajinya untuk membantu ibu, maklumlah ayah hanya seorang pensiunan. Aku agak heran dengan perubahan ini, padahal Mas Iwan dan Kak Sani sama-sama bekerja dan berpenghasilan cukup. Tapi ya sudahlah mungkin pengeluaran mereka juga besar sehingga harus berhemat, pikirku.
Tepat 8 bulan setelah pernikahan Mas Iwan dan Kak Sani, aku diterima kerja yang dekat dengan rumah mereka. Aku meminta tolong kepada Mas Iwan untuk tinggal sementara di rumahnya karena aku takut terlambat tiba di kantor. Maklumlah kantorku di bilangan Sudirman dan rumah ayahku di Tangerang. Mas Iwan dengan senang hati menerimaku.
Sejak minggu pertama kepindahanku mulai kulihat tanda-tanda ganjil. Setiap pagi sebelum berangkat ke kantor tak kulihat Kak Sani menemani Mas Iwan sarapan, karena Kak Sani masih sibuk berdandan seraya menggulung rambutnya. Kemudian yang mengejutkanku saat aku mencoba menukar uang seratus ribuan dengan uang kecil kepada Mas Iwan, terceplos ucapan dari mulut Mas Iwan, “Maaf Nit, aku tak pernah pegang uang, coba tukar saja dengan Kak Sani.†Kemudian kulihat Kak Sani mengeluarkan dompetnya untuk mencari tukaran uang kecil dan Kak Sani menjawab, “Wah, pas banget uang ini 25 ribu untuk Mas Iwan sehari ini dan 50 ribu untuk beli bensin mobil.†Sambil menyodorkan sejumlah uang tersebut ke Mas Iwan. Astagafirullah, aku berucap dalam batin, masa suami sendiri yang setiap hari pergi cari nafkah kok dijatah? Terus bagaimana Mas Iwan dapat lebih longgar untuk memilih menu makan siangnya? Otomatis uang segitu, pas betul untuk makan dan parkir Mas Iwan sehari. Paling kelebihan yang bisa dikantonginya hanya tinggal seribu atau dua ribu rupiah saja.
Hingga suatu hari aku berkesempatan berdua dengan Mas Iwan, aku coba menanyakan apakah Mas Iwan memang minta dijatah harian oleh Kak Sani, karena setahuku dengan gaji Mas Iwan yang seorang manajer ia mampu menafkahi dirinya lebih dari itu. Maka meluncurlah cerita derita Mas Iwan bahwa sejak menikah dengan Kak Sani bahwa Kak Sanilah yang mengatur semua masalah keuangan rumah tangga. Mas Iwan diminta menyetor seluruh gajinya tiap bulan dan Kak Sani memberi uang harian sebesar 25 ribu rupiah saja, alasannya supaya mas Iwan tidak boros menghabiskan uang untuk hal yang tidak berguna.
Mas Iwan pernah menolak cara ini namun Kak Sani marah dan membentaknya seraya mengatakan bahwa suami memang harus bekerja mencari nafkah untuk anak istrinya. Memang benar menurutku, tapi ya sebaiknya seorang istri tidak boleh juga sewenang-wenang memperlakukan suaminya. Bayangkan saja Mas Iwan hanya makan siang menu yang di bawah sepuluh ribu terus. Pasti Mas Iwan tak percaya diri pergi makan siang bersama kawan-kawan kantornya karena jatahnya yang pas-pasan itu. Sedih sekali aku membayangkan menu Mas Iwan sehari-hari. Sedangkan aku tahu sendiri Kak Sani dapat memilih makan siangnya sesuka-sukanya.
Selain itu, Mas Iwan juga sudah tak boleh lagi berkumpul dengan teman-temannya, karena Kak Sani menuntut Mas Iwan segera pulang setelah usai kerja. Hari libur pun Mas Iwan tak dapat bersosialisasi karena Kak Sani meminta Mas Iwan untuk menemaninya belanja ke super market. Kasihan sekali Mas Iwan mempunyai istri yang dominan ngawur seperti ini..
Aku kesal dengan Mas Iwan yang tidak berani melawan perlakuan Kak Sani, alasan Mas Iwan ia hanya malas ribut saja. Namun kuyakinkan jika Mas Iwan tidak menunjukkan perlawanannya maka Mas Iwan akan terpenjara seumur hidup di pernikahannya sendiri. Mas Iwan diam merenungi kata-kataku. Sejak kutahu hidup Mas Iwan seperti itu maka segera kucari kos-kosan sendiri. Aku tak sanggup melihat penderitaan Mas Iwan di depan mataku.
Hingga suatu hari, Kak Sani menelponku seraya terisak memintaku menemuinya di sebuah kafe. Kulihat Kak Sani nampak kuyu dan terlihat sembab di kedua matanya. Begitu bertemu Kak Sani langsung memelukku dan tumpahlah derai tangisnya, dengan terbata-bata Kak Sani berkata bahwa Mas Iwan selingkuh dengan perempuan lain. “Perempuan itu kawan sekantor Mas Iwan, seorang perempuan biasa saja,†sergah Kak Sani makin tergugu. “Mas Iwan mengakuinya dan tak mau melepaskan perempuan itu, malah Mas Iwan akan meninggalkankuâ€, rengek Kak Sani makin keras.
Esoknya kutemui Mas Iwan dan kutanyakan masalah tersebut kepadanya. Mas Iwan mengakui bahkan Mas Iwan sudah teguh hati ingin meninggalkan Kak Sani. Malah pada pertemuan tersebut Mas Iwan juga mengajak perempuan selingkuhannya tersebut. Mbak Aya namanya, seorang perempuan sederhana, santun dan tampak jelas menghargai Mas Iwan. Ketika kutanyakan kepada Mas Iwan mengapa ingin meninggalkan Kak Sani yang cantik dan terpelajar tersebut, Mas Iwan menghela napas panjang seraya berkata lirih, â€Sani membelengguku, ia hanya konsentrasi pada uang yang kudapat, tak sekalipun aku dapat menikmati jerih payahku bertahun-tahun kerja karena menurutnya uang tersebut adalah milik istri. Aku yang bekerja, tapi malah tak sedikitpun uang hasil jerih payahku dapat kunikmati untuk membeli beberapa barang kesukaanku. Selain itu aku merasa dipenjara oleh istriku sendiri, aku tersiksa menikahi Sani.â€
Aku terdiam dan memahami keresahan hati Mas Iwan. Sejujurnya aku memang tak rela melihat Mas Iwan diperlakukan seperti kerbau semata, setiap pagi disuruh berangkat mencari uang setelah mendapat uang hasilnya dimiliki oleh Kak Sani dengan dalih itu adalah hak seorang istri dan Kak Sani berkeras tak mau kompromi tentang aturan tersebut. Maka talak satu dijatuhkan oleh mas Iwan dan setelah itu Mas Iwan menikahi Mbak Aya. Kulihat kehidupan rumah tangga mereka lebih berbahagia karena Mbak Aya memperlakukan Mas Iwan dengan hormat dan saling menghargai. Apalagi mereka mempunyai komitmen bersama untuk mengelola uang rumah tangga dengan cara yang lebih adil bagi keduanya. Selain itu Mas Iwan tak kehilangan sosialisasinya sebagai manusia, ia tetap dapat pergi bersama teman-temannya.
Menurutku keinginan Mas Iwan sangat lumrah sebagai seorang suami, namun entahlah Kak Sani malah menganggapnya suatu bentuk perlawanan dan ketidakadilan bagi seorang istri. Aku sendiri bingung, dimana rasa tidak adilnya bagi seorang istri jika suami ingin menikmati uangnya sedikit dan ingin bersoasialisasi dengan teman-temanya. [Vivi Tan / Jakarta] Sumber: Kisah-Nyata
Mas Iwan adalah nama kakak tertuaku yang selama ini kupanuti sebagai kakak teladan karena ia sangat memperhatikan kami 2 orang adiknya. Tak jemu-jemunya ia mengingatkan kami untuk belajar sungguh-sungguh agar segera selesai meraih gelar S1. Bahkan tak jarang pula Mas Iwan turun langsung mengajari kami jika pelajaran kami sulit dipahami. Kami tiga saudara, Mas Iwan anak pertama, sedangkan aku sebut saja Nita anak kedua dan Andi si bungsu kami.
Perhatian Mas Iwan juga tak berubah kala Mas Iwan telah memiliki pacar yang serius, namanya Kak Sani. Kami juga menyukai Kak Sani, karena selain cantik, Kak Sani juga baik. Kak Sani juga menyayangi kami seperti adiknya sendiri, bahkan ibu juga memujinya karena Kak Sani tak segan-segan membantu ibu di dapur jika ia berkunjung kerumah. Jadi pada saat Mas Iwan menanyakan kepada aku dan Andi bahwa ia ingin menyunting Kak sani menjadi istrinya, kami semua mendukungnya.
Setelah menikah, Mas Iwan pindah kerumah kontrakan dengan alasan lebih dekat dengan kantor. Kami berbondong-bondong mengantarkannya. Bahkan kulihat ayah sempat menitikkan air mata saat kami berpamitan pulang usai mengantarkan kepindahan Mas Iwan. Kami semua berharap Mas Iwan dan Kak Sani menjadi keluarga sakinah, mawadah.
Sejak pernikahannya, memang setiap bulan Mas Iwan dan Kak Sani masih tetap datang ke rumah untuk bertemu kami semua, tak jarang Kak Sani membawa buah tangan berupa kue atau buah untuk ibu. Namun sejak pernikahan mereka Mas Iwan tak lagi pernah memberi uang untuk ibu padahal dulu sebelum menikah Mas Iwan rajin membagi uang gajinya untuk membantu ibu, maklumlah ayah hanya seorang pensiunan. Aku agak heran dengan perubahan ini, padahal Mas Iwan dan Kak Sani sama-sama bekerja dan berpenghasilan cukup. Tapi ya sudahlah mungkin pengeluaran mereka juga besar sehingga harus berhemat, pikirku.
Tepat 8 bulan setelah pernikahan Mas Iwan dan Kak Sani, aku diterima kerja yang dekat dengan rumah mereka. Aku meminta tolong kepada Mas Iwan untuk tinggal sementara di rumahnya karena aku takut terlambat tiba di kantor. Maklumlah kantorku di bilangan Sudirman dan rumah ayahku di Tangerang. Mas Iwan dengan senang hati menerimaku.
Sejak minggu pertama kepindahanku mulai kulihat tanda-tanda ganjil. Setiap pagi sebelum berangkat ke kantor tak kulihat Kak Sani menemani Mas Iwan sarapan, karena Kak Sani masih sibuk berdandan seraya menggulung rambutnya. Kemudian yang mengejutkanku saat aku mencoba menukar uang seratus ribuan dengan uang kecil kepada Mas Iwan, terceplos ucapan dari mulut Mas Iwan, “Maaf Nit, aku tak pernah pegang uang, coba tukar saja dengan Kak Sani.†Kemudian kulihat Kak Sani mengeluarkan dompetnya untuk mencari tukaran uang kecil dan Kak Sani menjawab, “Wah, pas banget uang ini 25 ribu untuk Mas Iwan sehari ini dan 50 ribu untuk beli bensin mobil.†Sambil menyodorkan sejumlah uang tersebut ke Mas Iwan. Astagafirullah, aku berucap dalam batin, masa suami sendiri yang setiap hari pergi cari nafkah kok dijatah? Terus bagaimana Mas Iwan dapat lebih longgar untuk memilih menu makan siangnya? Otomatis uang segitu, pas betul untuk makan dan parkir Mas Iwan sehari. Paling kelebihan yang bisa dikantonginya hanya tinggal seribu atau dua ribu rupiah saja.
Hingga suatu hari aku berkesempatan berdua dengan Mas Iwan, aku coba menanyakan apakah Mas Iwan memang minta dijatah harian oleh Kak Sani, karena setahuku dengan gaji Mas Iwan yang seorang manajer ia mampu menafkahi dirinya lebih dari itu. Maka meluncurlah cerita derita Mas Iwan bahwa sejak menikah dengan Kak Sani bahwa Kak Sanilah yang mengatur semua masalah keuangan rumah tangga. Mas Iwan diminta menyetor seluruh gajinya tiap bulan dan Kak Sani memberi uang harian sebesar 25 ribu rupiah saja, alasannya supaya mas Iwan tidak boros menghabiskan uang untuk hal yang tidak berguna.
Mas Iwan pernah menolak cara ini namun Kak Sani marah dan membentaknya seraya mengatakan bahwa suami memang harus bekerja mencari nafkah untuk anak istrinya. Memang benar menurutku, tapi ya sebaiknya seorang istri tidak boleh juga sewenang-wenang memperlakukan suaminya. Bayangkan saja Mas Iwan hanya makan siang menu yang di bawah sepuluh ribu terus. Pasti Mas Iwan tak percaya diri pergi makan siang bersama kawan-kawan kantornya karena jatahnya yang pas-pasan itu. Sedih sekali aku membayangkan menu Mas Iwan sehari-hari. Sedangkan aku tahu sendiri Kak Sani dapat memilih makan siangnya sesuka-sukanya.
Selain itu, Mas Iwan juga sudah tak boleh lagi berkumpul dengan teman-temannya, karena Kak Sani menuntut Mas Iwan segera pulang setelah usai kerja. Hari libur pun Mas Iwan tak dapat bersosialisasi karena Kak Sani meminta Mas Iwan untuk menemaninya belanja ke super market. Kasihan sekali Mas Iwan mempunyai istri yang dominan ngawur seperti ini..
Aku kesal dengan Mas Iwan yang tidak berani melawan perlakuan Kak Sani, alasan Mas Iwan ia hanya malas ribut saja. Namun kuyakinkan jika Mas Iwan tidak menunjukkan perlawanannya maka Mas Iwan akan terpenjara seumur hidup di pernikahannya sendiri. Mas Iwan diam merenungi kata-kataku. Sejak kutahu hidup Mas Iwan seperti itu maka segera kucari kos-kosan sendiri. Aku tak sanggup melihat penderitaan Mas Iwan di depan mataku.
Hingga suatu hari, Kak Sani menelponku seraya terisak memintaku menemuinya di sebuah kafe. Kulihat Kak Sani nampak kuyu dan terlihat sembab di kedua matanya. Begitu bertemu Kak Sani langsung memelukku dan tumpahlah derai tangisnya, dengan terbata-bata Kak Sani berkata bahwa Mas Iwan selingkuh dengan perempuan lain. “Perempuan itu kawan sekantor Mas Iwan, seorang perempuan biasa saja,†sergah Kak Sani makin tergugu. “Mas Iwan mengakuinya dan tak mau melepaskan perempuan itu, malah Mas Iwan akan meninggalkankuâ€, rengek Kak Sani makin keras.
Esoknya kutemui Mas Iwan dan kutanyakan masalah tersebut kepadanya. Mas Iwan mengakui bahkan Mas Iwan sudah teguh hati ingin meninggalkan Kak Sani. Malah pada pertemuan tersebut Mas Iwan juga mengajak perempuan selingkuhannya tersebut. Mbak Aya namanya, seorang perempuan sederhana, santun dan tampak jelas menghargai Mas Iwan. Ketika kutanyakan kepada Mas Iwan mengapa ingin meninggalkan Kak Sani yang cantik dan terpelajar tersebut, Mas Iwan menghela napas panjang seraya berkata lirih, â€Sani membelengguku, ia hanya konsentrasi pada uang yang kudapat, tak sekalipun aku dapat menikmati jerih payahku bertahun-tahun kerja karena menurutnya uang tersebut adalah milik istri. Aku yang bekerja, tapi malah tak sedikitpun uang hasil jerih payahku dapat kunikmati untuk membeli beberapa barang kesukaanku. Selain itu aku merasa dipenjara oleh istriku sendiri, aku tersiksa menikahi Sani.â€
Aku terdiam dan memahami keresahan hati Mas Iwan. Sejujurnya aku memang tak rela melihat Mas Iwan diperlakukan seperti kerbau semata, setiap pagi disuruh berangkat mencari uang setelah mendapat uang hasilnya dimiliki oleh Kak Sani dengan dalih itu adalah hak seorang istri dan Kak Sani berkeras tak mau kompromi tentang aturan tersebut. Maka talak satu dijatuhkan oleh mas Iwan dan setelah itu Mas Iwan menikahi Mbak Aya. Kulihat kehidupan rumah tangga mereka lebih berbahagia karena Mbak Aya memperlakukan Mas Iwan dengan hormat dan saling menghargai. Apalagi mereka mempunyai komitmen bersama untuk mengelola uang rumah tangga dengan cara yang lebih adil bagi keduanya. Selain itu Mas Iwan tak kehilangan sosialisasinya sebagai manusia, ia tetap dapat pergi bersama teman-temannya.
Menurutku keinginan Mas Iwan sangat lumrah sebagai seorang suami, namun entahlah Kak Sani malah menganggapnya suatu bentuk perlawanan dan ketidakadilan bagi seorang istri. Aku sendiri bingung, dimana rasa tidak adilnya bagi seorang istri jika suami ingin menikmati uangnya sedikit dan ingin bersoasialisasi dengan teman-temanya. [Vivi Tan / Jakarta] Sumber: Kisah-Nyata
Berita | Internasional | Budaya | Kehidupan | Kesehatan | Iptek | Kisah
PESAN KHUSUS
Teman-teman juga bisa mengirim berita kegiatan/kejadian yang berhubungan dengan Tionghoa di kota tempat tinggal Anda atau artikel-artikel bermanfaat lainnya ke alamat email ini.
PESAN KHUSUS
Teman-teman juga bisa mengirim berita kegiatan/kejadian yang berhubungan dengan Tionghoa di kota tempat tinggal Anda atau artikel-artikel bermanfaat lainnya ke alamat email ini.