Menikah, memiliki anak-anak dan keluarga, tentu menjadi idaman setiap perempuan. Begitu juga denganku. Sejak aku menginjak usia remaja bayang-bayang memiliki suami yang baik, tampan dan bertanggung jawab terhadap aku dan anak-anak selalu menjadi impianku setiap hari. Apa lagi aku dibesarkan di tengah-tengah keluarga yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan agama, walaupun tak bisa dibilang sebagai keluarga yang religius.
Saat aku kuliah, bayangan tersebut ternyata semakin mendekati kenyataan. Hal itu bermula saat aku berkenalan dengan seorang laki-laki tampan dan berasal dari keluarga yang cukup terpandang di kota kami, sebut saja namanya Hendra (bukan nama sebenarnya). Sejak perkenalan itu aku memang memendam hasrat untuk memilikinya. Sampai saat yang kupikir tepat utnuk mengunkapkan perasaanku itu.
Dan aku merasa jadi perempuan paling beruntung manakala Hendra juga ternyata memiliki perasaan yang sama seperti yang aku miliki. Maka jadilah hari itu hari yang amat bersejarah dan kelak akan mengubah seluruh mimpi-mimpi dan bayanganku akan kesuksesan dalam menjalani kehidupan, khususnya kehidupan rumah tanggaku.
Pernikahanku sendiri berlangsung setelah kami menjalani masa pacaran selama lebih dari lima tahun. Dalam masa pacaran itu aku mengenal Hendra sebagai sosok yang sangat sulit dicari kelemahannya, seolah ia tak pernah berbuat salah, namun sebenarnya ia seringkali menyakiti hatiku, entah disengaja atau tidak. Dan aku terlanjur jatuh cinta kepadanya, benar-benar jatuh cinta.
Awalnya perjalanan rumah tangga kami begitu bahagia, namun setelah kami dikarunia satu orang anak, secara perlahan kebahagiaan itu berangsur-angsur memudar. Hal itu disebabkan Hendra mulai tertarik dengan sebuah ajaran kepercayaan yang aku nilai begitu menyesatkan, dan membuat keadaan keluarga kami menjadi tak nyaman.
Sebagai seorang istri, aku memang tak bisa mengingkari apa yang menjadi keinginan suami dan aku terpaksa mengikuti apa yang menjadi perintahnya,mengikuti ajaran-ajarannya walau aku tahu hal itu bakal membuat rumah tangga kami hancur berantakan. Hampir sepuluh tahun aku jalani kehidupan yang serba ganjil, walau secara ekonomi kami memang tak kekurangan suatu apapun.
Sampai kami dikarunia dua orang anak, aku masih tetap bisa bertahan. Dua orang anak-anakku juga terpaksa mengikuti ajaran yang diajarkan oleh ayahnya. Terus terang aku kasihan melihat anak-anakku dikucilkan oleh teman-teman sebayanya. Pernah mereka menangis karena terus mendapat ejekan dari teman-temannya, yang menyebut mereka sebagai anak-anak keturunan penghuni neraka.
Demikian juga dengan aku, lama-kelamaan aku dikucilkan oleh lingkungan dimana kami tinggal. Mereka tak mau lagi bergaul dan melarang keluarga mereka untuk bergaul dengan keluarga kami. Keadaan itu jelas membuat aku semakin merasa tersiksa. Pernah aku mengusulkan untuk pindah dari daerah tersebut, namun yang kuterima malah ancaman dari suamiku dan angota-anggota aliran tersebut. Mereka bilang keputusan untuk tetap tinggal atau pindah tergantung petunjuk yang mereka dapatkan.
Sampai akhirnya aku akan melahirkan anak yang ketiga, keadaan kami masih tetap seperti dulu bahkan mungkin lebih parah. Aku yang telah melihat anak-anaku tumbuh pada tempat yang tidak semestinya mulai merasa khawatir dengan perkembangannya kelak. Ditengah-tengah kegundahan itu, tiba-tiba saja aku dikejutkan dengan perintah dari suamiku yang menyuruhku untuk membuang anak ketigaku tersebut. Lagi-lagi hal itu ia putuskan setelah mendapat "petunjuk".
Rasa lega dan kecewa saat itu berkecamuk dalam hatiku, lega karena aku tahu pasti anakku tak akan pernah merasa tersiksa seperti saudara-saudaranya saat ini, kecewa karena ia adalah darah dagingku yang harus aku pelihara sebaik-baiknya. Aku akhirnya memang tetap membuang anakku tersebut. Setelah dengan pertimbangan yang matang aku letakan ia didepan sebuah rumah yang menurutku akan bisa memelihara bayi tersebut menjadi manusia yang berguna.
Sampai saat ini aku masih mengawasi perkembangannya, kini ia menjadi seorang gadis yang cantik, menggunakan jilbab dan memiliki pendidikan yang terarah. Saat rindu aku sengaja berada disekitar rumah itu untuk sekedar memandanganya dari jauh, pernah suatu kali ia malah menyapaku dengan sangat santun, dan aku hanya bisa berlinangan air mata mendapati itu semua, andai ia tahu bahwa aku adalah ibu kandunganya...... [Vivi Tan / Jakarta] Sumber: Facebook
Saat aku kuliah, bayangan tersebut ternyata semakin mendekati kenyataan. Hal itu bermula saat aku berkenalan dengan seorang laki-laki tampan dan berasal dari keluarga yang cukup terpandang di kota kami, sebut saja namanya Hendra (bukan nama sebenarnya). Sejak perkenalan itu aku memang memendam hasrat untuk memilikinya. Sampai saat yang kupikir tepat utnuk mengunkapkan perasaanku itu.
Dan aku merasa jadi perempuan paling beruntung manakala Hendra juga ternyata memiliki perasaan yang sama seperti yang aku miliki. Maka jadilah hari itu hari yang amat bersejarah dan kelak akan mengubah seluruh mimpi-mimpi dan bayanganku akan kesuksesan dalam menjalani kehidupan, khususnya kehidupan rumah tanggaku.
Pernikahanku sendiri berlangsung setelah kami menjalani masa pacaran selama lebih dari lima tahun. Dalam masa pacaran itu aku mengenal Hendra sebagai sosok yang sangat sulit dicari kelemahannya, seolah ia tak pernah berbuat salah, namun sebenarnya ia seringkali menyakiti hatiku, entah disengaja atau tidak. Dan aku terlanjur jatuh cinta kepadanya, benar-benar jatuh cinta.
Awalnya perjalanan rumah tangga kami begitu bahagia, namun setelah kami dikarunia satu orang anak, secara perlahan kebahagiaan itu berangsur-angsur memudar. Hal itu disebabkan Hendra mulai tertarik dengan sebuah ajaran kepercayaan yang aku nilai begitu menyesatkan, dan membuat keadaan keluarga kami menjadi tak nyaman.
Sebagai seorang istri, aku memang tak bisa mengingkari apa yang menjadi keinginan suami dan aku terpaksa mengikuti apa yang menjadi perintahnya,mengikuti ajaran-ajarannya walau aku tahu hal itu bakal membuat rumah tangga kami hancur berantakan. Hampir sepuluh tahun aku jalani kehidupan yang serba ganjil, walau secara ekonomi kami memang tak kekurangan suatu apapun.
Sampai kami dikarunia dua orang anak, aku masih tetap bisa bertahan. Dua orang anak-anakku juga terpaksa mengikuti ajaran yang diajarkan oleh ayahnya. Terus terang aku kasihan melihat anak-anakku dikucilkan oleh teman-teman sebayanya. Pernah mereka menangis karena terus mendapat ejekan dari teman-temannya, yang menyebut mereka sebagai anak-anak keturunan penghuni neraka.
Demikian juga dengan aku, lama-kelamaan aku dikucilkan oleh lingkungan dimana kami tinggal. Mereka tak mau lagi bergaul dan melarang keluarga mereka untuk bergaul dengan keluarga kami. Keadaan itu jelas membuat aku semakin merasa tersiksa. Pernah aku mengusulkan untuk pindah dari daerah tersebut, namun yang kuterima malah ancaman dari suamiku dan angota-anggota aliran tersebut. Mereka bilang keputusan untuk tetap tinggal atau pindah tergantung petunjuk yang mereka dapatkan.
Sampai akhirnya aku akan melahirkan anak yang ketiga, keadaan kami masih tetap seperti dulu bahkan mungkin lebih parah. Aku yang telah melihat anak-anaku tumbuh pada tempat yang tidak semestinya mulai merasa khawatir dengan perkembangannya kelak. Ditengah-tengah kegundahan itu, tiba-tiba saja aku dikejutkan dengan perintah dari suamiku yang menyuruhku untuk membuang anak ketigaku tersebut. Lagi-lagi hal itu ia putuskan setelah mendapat "petunjuk".
Rasa lega dan kecewa saat itu berkecamuk dalam hatiku, lega karena aku tahu pasti anakku tak akan pernah merasa tersiksa seperti saudara-saudaranya saat ini, kecewa karena ia adalah darah dagingku yang harus aku pelihara sebaik-baiknya. Aku akhirnya memang tetap membuang anakku tersebut. Setelah dengan pertimbangan yang matang aku letakan ia didepan sebuah rumah yang menurutku akan bisa memelihara bayi tersebut menjadi manusia yang berguna.
Sampai saat ini aku masih mengawasi perkembangannya, kini ia menjadi seorang gadis yang cantik, menggunakan jilbab dan memiliki pendidikan yang terarah. Saat rindu aku sengaja berada disekitar rumah itu untuk sekedar memandanganya dari jauh, pernah suatu kali ia malah menyapaku dengan sangat santun, dan aku hanya bisa berlinangan air mata mendapati itu semua, andai ia tahu bahwa aku adalah ibu kandunganya...... [Vivi Tan / Jakarta] Sumber: Facebook
Berita | Internasional | Budaya | Kehidupan | Kesehatan | Iptek | Kisah
PESAN KHUSUS
Ingat ! Anda juga bisa mengirim berita kegiatan/kejadian yang berhubungan dengan Tionghoa tempat tinggal anda atau artikel-artikel bermanfaat ke alamat email: tionghoanews@yahoo.co.id
PESAN KHUSUS
Ingat ! Anda juga bisa mengirim berita kegiatan/kejadian yang berhubungan dengan Tionghoa tempat tinggal anda atau artikel-artikel bermanfaat ke alamat email: tionghoanews@yahoo.co.id