Hingga suatu ketika aku terpaksa mencuri beberapa rupiah uang bapakku untuk membeli sesuatu yang sangat aku inginkan. Sialnya bapak segera menyadarinya dan kemudian memanggil kami berdua untuk memastikan siapa yang mencuri uang tersebut. Bapak membuat kami sangat ketakutan karena ia membawa sebuah rotan kecil untuk memukul kami. "Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, sehingga ia siap memukulkan rotannya pada kami berdua.
Namun tiba-tiba adikku berteriak. "Aku yang mencuri uang itu. pak!". Dan selanjutnya rotan itu menghatam tangan adikku hingga beberapa kali. Pukulannya membuat adikku berteriak kesakitan dan menangis. Sesudahnya, beliau duduk di atas ranjang batu bata dan memarahi kami. "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? Kamu layak dipukul, kamu pencuri tidak tahu malu!"
Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tangannya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, aku tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata. "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi." Aku masih selalu membenci diriku, karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku.
Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 10 tahun. Aku berusia 15. Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten, sementara aku diterima masuk perguruan tinggi.
Namun masalah kembali muncul, bapak dan ibu mulai mengeluh dengan biaya yang harus dikeluarkan setiap bulannya. "Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?" Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan bapak dan berkata. "Pak, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, saya telah cukup membaca banyak buku."
Bapak mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu lemah? Bahkan jika berarti bapak mesti mengemis di jalanan, bapak akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!" Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata. "Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya, kalau tidak kamu tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini," ucapku lemah.
Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas. Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku. "Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang." Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku dan menangis dengan air mata bercucuran, sampai akhirnya suaraku hilang.
Sampai akhirnya aku menikah dan suamiku mendapat promosi menjadi seorang pimpinan, ia masih menjadi seorang buruh. Ia juga menolak ketika suamiku mengajaknya bekerja di perusahaan untuk menjadi asistennya. "Kak, aku ini tidak memiliki pendidikan yang cukup untuk menjadi asisten, apa jadinya nanti perusahaan yang suami kakak pimpin, aku tak ingin melihat kakak justru menjadi hancur akibat kebodohanku, biarlah aku tetap menjadi seorang buruh." Berlinang air mataku ketika mendengar itu. "Lalu dengan apa aku harus membalas semua kebaikanmu?" tanyaku. "Dengan menjaga nama baik suami kakak dan keluarganya," jawabnya tegas.
Sampai akhirnya aku mendengar kabar bahwa adikku sakit dan aku bergegas pulang kampung untuk menjenguknya. Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, kaki dan tangannya yang terbungkus gips akibat tertimpa reruntuhan kosntruksi. Seratus jarum terasa menusukku dan kembali air mata ini mengalir dengan deras. Tapi adikku masih tetap tersenyum di antara bibirnya yang semakin memucat. "Kakak tak perlu menangis. Justru aku yang seharusnya bersedih, karena aku belum berhasil menuntaskan apa yang menjadi keinginanku."
Aku termangu, selanjutnya dari bibirnnya meluncur sebuah cerita masa kecil yang aku sendiri tak lagi mengingatnya. Saat aku duduk di bangku SMP dan ia di bangku SD, kami selalu berangkat sekolah bersama, karena jarak yang sangat sangat jauh hingga membutuhkan waktu satu jam untuk menempuhnya. Dan ia mengingatkanku kembali saat aku harus menggendongnya selama satu jam itu untuk sampai di rumah. "Masih ingat kak, ketika kakiku terluka dan kakak harus menggendongku saat pulang dan kakak sampai tak sanggup lagi berdiri, sejak saat itu aku berjanji, untuk selalu menjaga kakak dan membahagiakan kakak selama aku masih hidup."
Dua hari kemudian, ia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Aku masih teringat kata-katanya, bahwa ia takut tak akan bisa lagi membahagiakanku jika ia telah tiada. Di hadapan pusaranya air mata ini kembali mengalir dengan deras. "Aku bahagia Dud, aku bahagia memiliki adik sepertimu, yang begitu banyak berkorban untukku, sementara aku cuma bisa memberikanmu airmata dan doa, semoga engkau berbahagia di sana." [Vivi Tan / Jakarta]
--
Berita | Internasional | Budaya | Kehidupan | Kesehatan | Iptek | Kisah | Kontak
PESAN DARI ADMIN
Mari kita dukung artikel-artikel kiriman dari teman-teman Tionghoa dengan cara klik "SUKA", kemudian teruskan ke dalam jejaring sosial anda "Facebook, Twitter, Google+, Dll". Ingat ! Anda juga bisa mengirim artikel ke dalam situs blog ini melalui email ini.