Tapi saat aku melihat tetangga-tetanggaku yang telah kuliah, kok sepertinya asyik sekali. Dan akhirnya aku mengenyampingkan semua keragu-raguanku. Maka jadilah akhirnya aku kuliah
Aku memang tak diterima di perguruan tinggi negeri, seperti kubilang tadi, otak ini terlalu bebal untuk bisa masuk perguruan tinggi negeri. Sebagai penggantinya aku memilih perguruan tinggi swasta yang keberadaannya tak diketahui banyak orang.
Selain murah, di kampus ini sepertinya kuliah bukan sesuatu yang mutlak, sehingga aku tak terlalu di pusingkan dengan ilmu-ilmu yang harus aku pelajari. Aku memang tak termotivasi untuk menimba ilmu, niatku sejak awal memang hanya ingin bergaya mengikuti trend yang sedang berlaku dikalangan anak muda.
Alhasil, hari-hariku di kampus lebih banyak nongkrongnya dari pada belajarnya. Lumayanlah, aku bisa memandangi mahasiswi-mahasiswi sok sibuk yang berseliweran di depan mataku. Di kampus ini aku juga ditakdirkan bertemu dengan seorang dosen yang di mataku terlihat begitu anggun dan cantik, ia masih muda, perkiraanku usianya tak lebih dari 24 tahun, sebut saja namanya Rini (bukan nama sebenarnya).
Sejak mendapat kuliah dari bu dosen cantik ini aku mendadak jadi rajin kuliah, khususnya mata kuliah yang diberikan oleh Bu Rini, selebihnya ya seperti biasa, nongkrong di kantin sambil membayangkan bisa berjalan berduaan dengan Bu Rini sambil bergandengan tangan, menikmati indahnya alam semesta yang diciptakan Tuhan buat manusia.
Terkadang saat menerima mata kuliahnya, aku cuma bisa terkagum-kagum memandangi wajahnya yang sepertinya memancarkan sinar kemesraan buatku. Akibatnya tak sedikitpun mata kuliah yang ia berikan menempel di otakku. Setiap kali bertemu dengannya, yang ada di otakku hanya pikiran mesum tak berkesudahan. Sampai-sampai teman-teman kuliah menganjurkan aku untuk memeriksakan otakku ke psikiater.
Hingga suatu saat aku berusaha untuk bisa lebih dekat dengannya. Dengan alasan mengejar mata kuliahnya yang tertinggal, aku meminta tambahan waktu kuliah untukku. Dan secara tak terduga ia bersedia memberikan waktu yang kupinta, dengan syarat kuliah tambahan ia berikan di rumahnya. "Pucuk dicinta, ulam tiba," pikirku saat itu. Aku memang mencari-cari kesempatan untuk bisa berkunjung ke rumahnya.
Pertama kali mengununjungi rumahnya, aku tak merasakan hal istimewa, rumah itu biasa-biasa saja, cuma saja apa yang ada dibayanganku tentangnya jauh dari kenyataan. Rini ternyata tinggal sendiri di rumah yang ia kontrak.
Padahal rumah itu terlalu besar untuk ditinggali sendiri, di samping rumah itu ada sebuah salon kecantikan yang entah milik siapa, tapi melihat dari pagarnya yang menyatu dengan rumah Rini, aku berfikir mungkin itu usaha sampingan yang dijalankan oleh Rini.
Semakin sering aku mengunjungi rumahnya semakin sering pula aku mendapatkan hal-hal ganjil, mulai dari tatapan para tetangga Rini yang sepertinya menatap dengan pandangan mata aneh, di rumah Rini aku juga kerap menemukan benda-benda yang biasa dipakai laki-laki. Ada sepatu, kain sarung, peci bahkan pakaian dalam laki-laki, "sebenarnya siapa sih dosenku ini, apa semua itu milik sanak familinya, atau milik suaminya, padahal ia mengaku tak memiliki suami, jangan-jangan ia berprofesi ganda,"
Rasa curiga akhirnya membuatku berencana menyelidikinya, mengintai rumahnya saat libur kuliah. Saat itu aku memang tak pernah memergoki ada tamu laki-laki yang datang berkunjung ke rumahnya, aku juga tak melihat Rini beraktifitas di rumahnya. Yang kulihat hanya beberapa perempuan datang ke salon di samping tempat tinggal Rini.
Sehingga pada kesempatan berikutnya, aku sengaja datang lebih awal untuk kembali menerima tambahan waktu kuliahku di rumahnya. Saat aku datang ia masih berada di kamar mandi. Karena rasa penasaran ditambah otak mesumku yang kembali muncul, aku akhirnya memberanikan diri untuk mengintipnya. Saat mataku menempel pada lubang kunci kamar mandinya, aku mendadak tersentak dan melangkah mundur dengan cepat dan selanjutnya meninggalkan rumahnya
Apa yang kusaksikan saat itu jelas membuatku sangat terkejut, Rini yang selama ini kuanggap sebagai perempuan cantik yang terhormat ternayata hanyalah tipuan belaka. Betapa tidak, aku dengan mata kepalaku sendiri menyaksikan ada sesuatu yang menggantung diantara kedua pahanya saat aku mengintipnya, Rini bukanlah seorang perempuan, ternyata ia seorang waria. Walau bagaimanapun aku tak ingin rahasianya terbongkar, karena perasaan takut dan malu aku memutuskan untuk berhenti kuliah dan menghilang darinya. [Vivi Tan / Jakarta / Tionghoanews]